KETIKA KUTUKAN DAN KEBERUNTUNGAN BERJALAN BERIRINGAN.
Oneshot special kuroo birthday.
2000+ words, written in bahasa.
M/f pair, kuroo x reader.
Happy reading <3
Di dunia yang saat ini mereka tempati, ada yang namanya kutukan dan keberuntungan. Setiap orang, pasti mendapatkan keduanya. Yang mana yang mereka dapat terlebih dahulu tergantung bagaimana mereka berperilaku.
Di umurnya yang ke sebelas, Kuroo Tetsurou mendapat kutukan pertamanya. Kutukan yang sukses membuatnya membenci hari ulang tahunnya sendiri. Tak ada yang lebih buruk dari bertambahnya umur bagi Kuroo.
Sebuah buku dilempar dari jarak yang tak terlalu jauh, tepat mengenai belakang kepala pemuda yang tengah menenggelamkan kepalanya diatas meja.
“Si goblok dicari kemana-mana taunya molor disini.” Si surai coklat–Oikawa Tooru berujar.
Rambut hitam mencuat itu tak sedikitpun bergerak walau sudah mendapat omelan serta hantaman sebuah buku yang tidak terlalu besar tetapi sedikitnya pasti memberi sakit.
“Kepala lo batu apa baja sih? Dilempar buku kayak gak kerasa apa-apa gitu.”
“Bacot anjir. Sana lo balik ke kelas, ngapain ngeliatin gue molor?” Kuroo berujar kesal.
Oikawa mendelik, sebal sekali dengan kebiasaan kawannya yang satu ini. “Balik ke kelas, ada murid baru.”
Dalam diamnya, Kuroo kebingungan. Hubungan adanya murid baru dengan dirinya apa? Jujur saja ia tak peduli sama sekali.
“Gak peduli.”
“Coba liat dulu ke kelas, siapa tau dia bisa jadi temen akrab lo? Atau bisa bawa semangat baru buat lo?”
“Gak.”
Percuma saja bagi si surai hitam, mau seberapa banyak orang baru yang dikenalkan padanya, ia tak akan mendapat apapun kecuali rasa takut.
Rasa takut akan melupakan momen kebersamaan mereka.
Maka lebih baik tak mengenal siapapun kecuali yang terlanjur masuk layaknya Oikawa dan Bokuto Koutarou–teman mereka yang satunya lagi. Mereka sudah biasa dilupakan dan mereka maklum.
Kuroo tersentak kala Oikawa menariknya secara paksa supaya bangkit lalu berjalan keluar dari perpustakaan. Tubuh kurusnya menarik-narik Kuroo yang jelas sekali dua kali lipat lebih besar darinya.
“Awas tangan kerempeng lo itu patah.”
Satu delikan dilempar Oikawa. “Bodo amat kalo patah nanti lo yang tanggung jawab, suruh siapa keras kepala.”
Kelas yang ramai menjadi penyambut Oikawa dan Kuroo. Semua mata tertuju pada mereka yang menjadi orang terakhir yang datang sebelum Pak guru pengajar mata pelajaran Matematika wajib.
Diam-diam Kuroo melirik gadis yang diduganya sebagai si murid baru sebelum mencapai bangkunya sendiri. Gadis itu menyadarinya, kemudian melempar satu senyum simpul.
Jarum jam berputar lambat, Kuroo mengetuk-ngetuk jarinya ke meja mengundang desisan kesal dari teman sebangkunya yakni Oikawa.
“Berisik anjing.”
Tak mengindahkan ucapannya, Kuroo malah semakin keras mengetukkan jarinya. Oikawa melempar tatapan tajamnya sebelum beranjak pindah ke bangku lain demi mendapat ketenangan.
Kuroo terkekeh kala merasa berhasil menjahili temannya yang satu itu. Tanpa niat mengerjakan tugas seperti yang lain, Kuroo kembali menenggelamkan kepalanya diatas meja. Tugasnya akan ia kerjakan di rumah nanti.
Seperti ditarik paksa kembali ke kenyataan, suara bangku ditarik menggagalkan Kuroo yang nyaris sekali masuk ke alam mimpi. Ia sudah siap menyumpah serapah jika pelakunya adalah
Bokuto atau Oikawa.
Sumpah serapahnya tertahan diujung lidah kala seorang gadis yang beberapa saat lalu melempar senyum simpul padanya lah yang menjadi pelaku.
Hening menguasai keduanya. Kuroo tak paham apa tujuan gadis ini duduk di sebelahnya padahal ia tak sama sekali memancarkan sinyal keramahan sejak memasuki kelas.
“Hai, nama lo Kuroo Tetsurou kan?”
Kuroo mengangkat salah satu alisnya heran. “Lo udah tau, ngapain nanya lagi? Balik sana ke bangku lo, gue mau tidur.”
“Gue gak nyangka lo orangnya jutek, you seem like a funny person.”
Lelaki itu lebih tak menyangka akan ada seseorang yang mengatakan hal itu padanya. Ia mengalihkan pandangannya keluar, memandang lorong sepi yang sama sekali tak menarik, hanya sebagai pengalihan.
“I used to be that kind of person.”
“Hah?” Pertanyaan itu untuk memastikan kalau kamu tak salah dengar.
Satu decakan lolos dari belah bibirnya. “Nevermind.” Katanya datar. “Nama lo siapa?”
Kamu tersenyum tipis seraya memperkenalkan diri. “Salam kenal.” Dan Kuroo tak mengerti kenapa kamu terlihat begitu gembira pada perkenalan pertama kalian.
Tak ada yang mengira bahwa perkenalan singkat di hari itu akan mengantarkan kalian berdua pada sebuah kisah baru yang harus kalian tulis sendiri. Sedih, senang, penuh tawa atau duka, semua tergantung kamu dan Kuroo sebagai si pemilik cerita.
Kamu merasa kalau pertemuan pertama kalian adalah awal mula bagaimana kisah ini dimulai, kisah antara kamu dan Kuroo yang lama kelamaan, secara natural, menjadi lebih spesial dari sekedar teman sekelas.
Pada tiga bulan pertama, Kuroo masih menjadi Kuroo yang menutup kepribadian aslinya. Ia masih saja dingin, bahkan cenderung menghindarimu.
Kapanpun kamu mengajaknya berbicara, jawabannya hanya sekedar satu atau dua kata. Kala kalian berada di situasi yang memungkinkan untuk saling berbicara mengenai banyak hal, Kuroo hanya diam kalau tak ada hal penting yang ingin dibicarakannya.
Kamu juga tak paham dengan dirimu sendiri. Kenapa harus segigih ini mendekati Kuroo? Sekilas ia nampak sama saja dengan teman kelasmu yang lainnya, bahkan kalau diukur dari ketampanan, masih terlihat tampan temannya yaitu Oikawa.
Hanya saja kamu merasa ada sesuatu yang menarik hatimu untuk mendekatinya. Kamu ingin mengenalnya lebih jauh. Lebih dari sekedar nama dan hobinya, lebih dari sekedar makanan kesukaan atau tempat favoritnya.
Bagi Kuroo, kamu gadis aneh yang tak memiliki kata menyerah di kamus hidupnya. Dikelilingi banyak orang, disayang oleh siapapun yang mengenalmu padahal belum lama kamu masuk ke sekolah ini, tapi masih saja mengejar dirinya yang terlalu jauh dari kata istimewa.
Ribuan kali Kuroo menarik diri darimu, ribuan kali pula kamu menariknya lebih dekat. Kuroo tak tahu kenapa harus dirinya yang kamu pilih untuk dikejar, kenapa tak Oikawa saja yang lebih tampan darinya, atau Bokuto yang lebih menyenangkan, kenapa harus Kuroo Tetsurou si pemuda dengan penampilan berantakan dan kebiasaan bolosnya yang sudah terkenal di kalangan siswa maupun guru.
Bahkan sebuah batu yang sangat keras, jika terus-menerus dijatuhi oleh air, lama-kelamaan akan menciptakan lubang. Balok es sebesar dan sekokoh apapun, jika terus menerus diberi kehangatan, akan mencair juga.
Maka di bulan keempat, Kuroo mulai membuka dirinya. Membiarkanmu terlibat sedikit demi sedikit dalam cerita hidupnya. Lalu di bulan keenam, jawabannya akan pertanyaan-pertanyaan acak darimu tidak lagi singkat, tatapan matanya padamu tak lagi dingin, dan senyumnya padamu tak lagi tertahan, semua usahamu tak lagi sia-sia.
“Kok lo bisa-bisanya bilang gue keliatan kayak orang yang menyenangkan waktu pertama kenalan dulu?”
Tanganmu berhenti bergulir pada layar ponsel lalu menatapnya sebelum menjawab. “Gue gak sengaja liat lo ngejailin Oikawa sebelumnya, sampe pindah bangku gitu.”
Tawanya mengudara, ternyata karena hal itu. “Lo orang pertama yang bilang gitu ke gue setelah sekian tahun lamanya. Selain Oikawa sama Bokuto tentunya.”
Kamu menyimpan ponsel ke dalam tas kemudian tersenyum mengejek, “gue harus tersanjung atau gimana?” Mengundang kekehan ringan dari sang surai malam.
Taman kota yang selalu ramai di sore hari kamu nikmati dengan bersantai seraya berbincang ringan dengan Kuroo. Rencana ini sudah kalian susun sejak dua minggu lalu, tapi baru terealisasi sekarang.
“Terus lo kenapa mesti pura-pura jutek ke orang lain? Temen kelas aja kayaknya pada gak kuat deket-deket sama lo.”
Kuroo memainkan helai rambutmu penuh kelembutan. “I'll tell you later.”
“Oh! Bentar lagi kan ulang tahun lo, nanti lo ceritainnya pas hari itu aja. Gimana?”
Hari ulang tahun, hari yang paling Kuroo benci. Alasan utama mengapa ia menutup dirinya dari orang lain. Mengingatnya saja Kuroo enggan, tapi melihatmu berbinar membocorkan rencana untuk hari ulang tahunnya membuat Kuroo merasa kebenciannya sedikit berkurang.
Ada waktu tiga bulan tersisa sampai 17 November atau hari ulang tahun Kuroo. Tahun ini ia bertekad untuk menghabiskannya dengan kebahagiaan yang sebagian besar berasal dari dirimu, ia tak mau memikirkan kebenciannya–setidaknya sampai hari itu datang.
Ia akan memanfaatkan waktunya sebaik mungkin, keberuntungan yang secara tidak langsung diberikan padanya tak boleh Kuroo sia-siakan.
17 November, hari yang paling kamu nantikan. Sebaliknya untuk Kuroo, hari yang paling tak ia inginkan.
Sejak semalam, kamu tak bisa tidur memikirkan akan melakukan apa saja untuk membuat Kuroo menjadi raja dalam sehari pada hari ulang tahunnya.
Pagi ini, kamu, Kuroo, Oikawa, dan Bokuto makan bersama sesuai kesepakatan yang sudah kalian buat seminggu yang lalu.
“Nih bro kadonya, gue sama Oikawa patungan.” Bokuto menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus kertas koran tanpa niat.
“Lo baru bayar 25% ya brengsek. Kalo lo gak bayar, bakal gue tagih sampe akhirat.” Lelaki itu berujar sebal sementara yang diancam hanya cengengesan saja.
“Thank you bro, tapi ini isinya bukan bom panci kan?”
“Bukan sih, paling bom atom.”
Gelak tawa memenuhi meja kalian berempat. Kehadiran Bokuto dan Oikawa memang selalu sukses meramaikan suasana.
“Kado lo mana? Kasihin sekarang dong, gue pengen lihat apa isinya.” Ujar Bokuto padamu.
Kamu menggerakan telunjuk ke kanan dan kiri tanda menolak. “No no no, kado gue cuma Kuroo yang boleh liat.”
“Halah pasangan bucin.”
Seiring dengan naiknya sang mentari, kamu dan Kuroo melakukan banyak hal menyenangkan. Semuanya atas request Kuroo. Makanan yang ingin ia makan bersamamu, permainan yang ingin ia mainkan bersamamu, lagu yang ingin ia nyanyikan untukmu, tempat yang ingin ia perlihatkan padamu, serta kebahagiaan yang ia ingin kamu merasakannya.
Ketika jingga mulai mendominasi, kalian memilih tempat yang mungkin menurut sebagian besar orang biasa saja, cenderung membosankan. Tapi bagi kalian, tempat ini bermakna, saksi bagaimana kisah sederhana ini dimulai.
Kuroo duduk diatas meja, bersandar pada tembok di belakangnya sementara kamu duduk di bangku yang sama seperti pertama kali kamu mengobrol dengan lelaki itu.
“Lo tau kan kalau di kehidupan kita ada yang namanya kutukan dan keberuntungan?” Melihat anggukanmu, Kuroo melanjutkan. “Gue dapetin kutukan gue di ulang tahun ke sebelas. Penyebabnya adalah gue bunuh temen gue. Gue biarin dia jatuh dari tempat yang lumayan tinggi kedalem sungai. Daripada nolongin, gue malah pergi ninggalin dia karena takut. Bodoh.”
Air muka Kuroo berubah murung, kamu meraih tangannya untuk memberi usapan ringan bermaksud menenangkan.
“Kutukannya, gue bakal lupa sama kenangan atau memori satu tahun lalu yang gue anggap indah setiap gue ulang tahun. Yang artinya, gue cuma bisa inget kebahagiaan gue selama satu tahun dan gak lebih. Itulah kenapa gue gak mau membuka diri sama orang lain, karena gue cuma bakal lupain mereka nantinya.”
“Tapi lo kan bisa bikin memori indah lagi setelahnya?”
Kuroo tertawa miris. “Terus gue bakal lupa lagi kalo gue ulang tahun, percuma. Gue benci sama ulang tahun gue ya karena ini, karena ulang tahun gue cuma bikin gue lupa sama kebahagiaan apa yang pernah gue dapet setahun belakangan. Ulang tahun gue, yang renggut kebahagiaan gue.”
Rasanya, kamu ingin menangis sekarang juga. Kamu tak bisa membayangkan hidup sebagai Kuroo yang harus lupa akan kebahagiaannya sendiri, di hari yang harusnya penuh kebahagiaan juga.
“Tapi sekarang, for the first time setelah hari itu, gue nikmatin hari ulang tahun gue. Gue seneng bisa kenal sama lo dan rayain ulang tahun kali ini sama lo, semuanya jadi seribu kali lebih spesial.” Kuroo melemparkan senyum terbaiknya yang sukses membuat air matamu benar-benar mengalir.
Kamu mengeluarkan kotak kecil dari dalam tasmu, isinya sepotong kue coklat yang sengaja kamu simpan untuk momen terbaik, dan menurutmu kinilah saatnya.
“Gue kaget lo bisa nyimpen itu kue tanpa penyok atau rusak.” Kuroo terkekeh.
“Iya dong, spesial nih. Ayo tiup lilinnya, jangan lupa make a wish.”
Kuroo menutup matanya. “Gue harap lo selalu diberkahi dengan kebahagiaan. Kedatangan lo ke hidup gue udah gue anggap sebagai keberuntungan yang belum gue dapatkan selama ini, semoga keberuntungan juga selalu menyertai lo. Semoga sinar kita gak pernah redup, meskipun nantinya kita harus bersinar sendiri-sendiri tanpa satu sama lain.” Ditiuplah lilin kecil itu, bersamaan dengan turunnya air matamu yang semakin deras.
Kamu menyimpan kuenya kemudian memeluk Kuroo dengan erat. “Lo juga keberuntungan terbesar gue, Kuroo. Bahkan kalo kehadiran lo di hidup gue itu sebuah kutukan, gue bakal dengan senang hati menerima. Kalo gue harus relain semua keberuntungan gue buat lo, bakal gue lakuin. I want you to be happy too, Kuroo.”
Elusan Kuroo di belakang kepalamu terasa sangat lembut, ia mencium puncak kepalamu penuh sayang. “Harusnya gue yang ngomong kayak gitu. Masa gue kalah romantis dari lo?” Ujarnya diiringi tawa ringan.
Dari dalam tasmu, dikeluarkan sebuah buku berukuran sedang. “Ini kado buat lo.” Kamu memberikannya pada Kuroo.
Kuroo membuka lembarnya satu persatu, memperhatikan dengan detail tiap foto dan tanggal yang tertera disana. Buku itu berisi kenanganmu dengan Kuroo sampai saat ini.
Menurut Kuroo, inilah hadiah terbaik yang tak pernah ia dapatkan. “Makasih banyak, gue bakal jaga buku ini baik-baik.”
Bukannya menjawab, kamu malah menatap matanya dengan serius, sampai membuat Kuroo merasa kedua mata itu akan menusuk matanya dalam sekejap.
“Kalo besok lo lupa sama semua kenangan indah kita, gak apa-apa. Kita bakal buat lebih banyak lagi. Tahun depan, kalo lo lupa lagi, kita buat jauh lebih banyak lagi. Berapa kali pun, ayo buat kenangan indah lagi.”
Kini, ucapanmu lah yang berhasil menarik air mata si raja yang tengah berulang tahun. Sekali lagi, didekapnya tubuhmu dengan hangat, disalurkannya rasa kasih sayang yang terlampau besar.
“I love you.” Bisiknya penuh ketulusan.
“I love you too, birthday boy.”
Malam itu, Kuroo mengira bahwa ada dua keberuntungan yang akhirnya saling bertemu dan berbagi kasih.
Tapi kutukan dan keberuntungan yang beriringan ini memang selalu jahat padanya, pada orang-orang yang disayanginya.
Ketika Kuroo mengira gadis itu adalah keberuntungan besar yang diberikan padanya, memang benar adanya. Hanya, situasinya kini berbalik.
“Eh? Emangnya di kelas ini ada yang namanya Kuroo Tetsurou? Gue baru tau, kalo gitu, ayo kenalan.”
Kini, gadisnya lah yang harus menerima kutukan karena pertemuan keduanya.
Yang lebih menyakitkannya lagi, kutukannya hanya menghapuskan Kuroo dari ingatan gadis yang sangat ia cintai itu–keesokan hari tepat setelah Kuroo berulang tahun, ketika kutukan mengenai ingatannya akan memori indah yang akan hilang dalam satu tahun terakhir, terhapuskan.
FIN.