eight balls of sunshines
Sudah hampir lima belas menit Eita dan Koutaro hanya terdiam keheranan karena presensi tiga bocah yang berada di depan mereka. Tadi sih tiga-tiganya menangis, kini sudah kembali diam. Mungkin lelah, mungkin juga merasa tak ada gunanya terus menangis, sebab kedua orang dewasa itu juga tak dapat bertindak apapun.
“Menurut lo kita sebaiknya gimana?” tanya Eita pada akhirnya.
Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Mereka berdua panik, bingung, dan gelisah tentunya. Semoga apa yang mereka pikirkan bukanlah kejadian yang sebenarnya. Semoga memang ada yang sengaja membawa anak diam-diam meskipun rasanya mustahil. Tapi apapun dapat terjadi kan?
“Lo udah tanya di grup?” kini giliran Koutaro yang bertanya.
“Oh iya. Gue belum ada kepikiran nanya di grup yang besar, barusan panik langsung hubungi grup kita.”
“Yaudah lo tanyain aja dulu.”
Eita mengeluarkan ponselnya. Mengetikan satu dua kalimat sebelum menekan tombol kirim di grup gabungan. Tak lama kemudian, pintu dibuka dengan heboh diikuti teriakan Koushi yang menggema.
“SIAPA YANG BAWA ANAK KESINI?!”
Bukan karena teriakan pun gebrakannya, yang membuat Eita dan Koutaro terkejut adalah presensi makhluk hidup lain yang kini berada bersama masing-masing dari kembaran mereka.
“Apa lagi ini Ya Tuhan...”
“Mas gue gak nyangka lo tiba-tiba udah punya dua anak aja,” ujar Koutaro dramatis.
Shinsuke mendelik, ia menurunkan satu bocah dalam gendongannya lalu melepaskan genggaman yang satunya lagi. Koushi hanya membawa satu bocah, sudah ia lepaskan genggamannya sedari tadi.
Total ada enam anak kecil yang kini memandang sepasang anak kembar itu dengan tatapan polos. Sepertinya kemungkinan 'ada yang nyelundupin anak' tadi sudah tidak memungkinkan. Sebab jumlahnya terlalu banyak untuk dibawa satu orang jika benar begitu kemungkinannya.
“So this isn't dream?” monolog Koushi.
“Aww!!” gaduhnya kemudian sebab bocah berambut abu-abu maju kemudian mencubit pahanya demi menyadarkan bahwa yang di hadapkan padanya adalah realita.
Terdengar helaan nafas dari Shinsuke kemudian sebelum suaranya terdengar. “As we can see, this is real. Kita gak lagi halu gue yakin. Diliat dari baju mereka yang super kedodoran, warna rambut, dan garis wajah yang walaupun ada yang gak begitu mirip, kita udah tau kan pastinya siapa bocil-bocil ini?”
Eita, Koushi, pun Koutaro membalas dengan hening. Shinsuke pun melanjutkan, “susah dipercaya. Feels like dream for sure, but we can't do anything. Semuanya udah kejadian, gak tau gimana caranya. Tinggal keputusan kita selanjutnya mau gimana?”
“Bawa mereka balik lah. Mau gimana lagi? toh mau lanjutin liburan juga kayaknya agak gak mungkin dengan kondisi mereka yang kayak gini. Jujur aja lah udah sama keluarga mereka, lagian gak ada jalan lagi kan?” Eita angkat suara.
“Aku gak mau! Aku suka ada disini, jangan bawa aku pulang!” protes bocah berambut hitam berantakan yang tidak lain adalah Tetsurou. (versi kecil).
“Ogah ogah. Main suka aja lu cil, ada disini juga belum ada 24 jam,” sahut Koutaro sewot.
Tetsurou mencebikkan bibirnya kemudian memalingkan wajahnya seraya mendengus karena sebal dengan respon yang diberikan oleh Koutaro.
“Aku juga mau disini saja! memangnya di rumah aku dimana ya?” kini giliran Rintarou kecil yang bersuara.
“Lah nanya gue, mana gue tau lah.” disahuti oleh Eita.
Rintarou mendelik. “Aku gak ajak kamu ngobrol. Orang dewasa kenapa sih suka marah-marah terus sama kita? kita kan anak-anak harusnya orang dewasa baik sama anak-anak.”
Sepasang saudara kembar itu bungkam. Sebelum sempat ada lagi konversasi, suara tangisan kembali terdengar. Setelah dihitung kembali, memang ada yang kurang disini. Maka Eita dan Koutaro bergegas berlari keluar untuk mengecek satu kamar yang nampaknya mereka sempat lupakan.
Tak lama kemudian, keduanya datang dengan bocah berambut coklat yang masih sesenggukan dengan tangan sibuk menyeka air matanya sendiri. Sementara pada gendongan Koutaro ada bocah berambut hitam yang nampak kalem.
“Kamu menangis?” tanya enam bocah lainnya sejurus setelah Tooru kecil turun dari gendongan Eita.
Tooru kecil menjawab dengan anggukan. Lalu dengan ajaib, keenamnya bergerak bersamaan untuk menenangkan Tooru. Ada yang melalui kata-kata sekenanya khas anak kecil, ada pula yang mengelus rambutnya lembut dan memegang tangannya seperti berusaha melindungi.
Shinsuke, Koushi, Koutaro dan Eita akhirnya memutuskan untuk membicarakan hal ini di sofa yang berjarak beberapa meter dari delapan bocah yang barusan berkenalan lalu akrab begitu saja layaknya teman lama. secara teknis, mereka memang teman lama sih?
“Gimana? mau lanjutin aja ini liburan terus nunggu keajaiban mereka balik lagi ke semula apa pulang aja ceritain apa adanya ke keluarga mereka?” Eita lebih dulu angkat suara.
“Jujur gue gak mau balik karena after all this time, akhirnya kita bisa liburan. Lagian cuma seminggu, kita urus aja?” Koutaro berpendapat.
“Lagaknya kayak udah pernah ngurus anak,” Shinsuke menyahut.
“Emang pernah??”
“Sependapat. Karena gue gak tau mau ngomong apa ke keluarga mereka kalau bawa mereka dalam keadaan begini.”
Keputusan final yang disetujui oleh keempatnya adalah opsi bertahan sampai seminggu ke depan, liburan bersama para bocah dadakan.
Itupun kalau mereka benar sanggup bertahan.