Epilogue
Kala putih abu-abu ditanggalkan, kehidupan yang nyata menyambut di depan mata. Tak dapat lagi mendengar tawa bahagia saat bel menggema atau bisikan-bisikan mereka yang berbagi contekan, pun sumber teriakan dari arah lapangan.
Banyak hal yang terjadi dalam proses pendewasaan. Suka, duka, tawa, maupun berbagai luapan sentimen. Semuanya terangkum dalam tiga tahun yang singkat pada sekolah menengah atas. Tiga tahun yang akan menjadi memori kekal bahkan ketika raga habis dimakan usia.
Dalam ingatanmu, teman-teman adalah yang paling memiliki pengaruh besar dalam setiap ukiran kisah. Mereka pula yang paling sulit kamu lupakan meski jarak dan waktu perlahan mengikis hubungan yang semula erat. Seberapa jauh pun mereka pergi, kamu merasa selalu memiliki sebagian kecil dari mereka, bahkan yang terkecil sekalipun.
Dunia perkuliahan juga tidak buruk, tidak sama sekali. Hanya saja, menguras lebih banyak energi. Kamu juga harus mengubah beberapa rutinitas atau kebiasaan demi mengatur waktu yang akan kamu pakai setiap harinya.
Tiga-empat tahun dalam dunia perkuliahan berlalu lebih cepat dari yang kamu bayangkan. Entah karena banyaknya aktivitas yang dapat kamu habiskan dalam dua puluh empat jam setiap harinya, atau karena kamu tak lagi tahu bagaimana caranya menikmati waktu sebab terlalu sibuk mengejar ilmu untuk perbekalan di masa depan.
Rasa-rasanya baru kemarin kamu bersuka cita karena lulus dari si putih abu, kini kamu kembali tertawa seraya melempar toga ke udara karena sudah mengantongi gelar sarjana.
Teman-teman lama yang telah membentang jarak, mulai terlihat lagi, dengan senyum yang masih sama berartinya seperti dulu. Silih berganti mengambil gambar, tak lupa mengucap selamat.
Cerita demi cerita datang silih berganti. Mulai dari istirahat sejenak selepas lulus dari bangku perkuliahan S1, mencari pekerjaan yang kiranya dapat membuatmu mengamalkan ilmu yang telah kamu dapatkan sebelumnya, kembali bertemu banyak orang baru, menikmati gaji pertama, dan banyak lagi.
Kini, enam tahun sudah berlalu sejak hari itu. Hari dimana kamu melepas cinta yang tak pernah terungkap di bangku persekolahan. Tak pernah kamu duga sebelumnya bahwa kamu akan bertemu dengannya lagi, di tempat yang dulu sering kalian kunjungi.
Ia membatu, begitupun denganmu. Tak ada kata yang terucap kala netra saling menemukan. Yang kacau adalah pikiran, juga perasaan yang susah payah kalian kubur supaya tak pernah lagi muncul ke permukaan. Namun semuanya menjadi sia-sia dalam beberapa detik pertama kalian saling menyadari satu sama lain.
Angin berhembus dingin, malam yang memeluk semakin larut. Masih diam, masih mencerna, masih larut dalam pikiran yang abu-abu. Sampai akhirnya suaranya terdengar sebagai sebuah sapaan awal.
“Hai, how's life?” ujarnya, jelas terlihat basa-basi.
“Hello. Good, how bout you?” sahutmu sama canggungnya.
Rasanya tak enak jika harus berbincang di depan sebuah kedai makanan yang ramai dengan orang berlalu-lalang. Maka kalian memutuskan untuk pergi ke tempat duduk terdekat untuk saling bertukar barang satu atau dua penggal kalimat.
“Gimana sekarang? lanjut S2 apa kerja?” lagi dan lagi Suna berperan sebagai pembuka pembicaraan.
“Kerja. Lo sendiri? seinget gue lo ngerantau waktu itu. Lanjut S2 disini kah?”
Suna menggeleng. Senyumnya terulas tipis dengan pandangan yang terlempar jauh ke depan sana, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sebelum ia memutuskan untuk menimpali.
“Nggak. Gue balik bentar kesini mau ngurusin sesuatu.”
Kamu hanya memberi beberapa anggukan sebagai respon sebelum suasana kembali hening. Bagimu, tak ada lagi yang perlu dibicarakan makanya kamu hanya menunggu Suna yang membuka topik terlebih dahulu. Karena tak pernah sedikitpun terlintas dipikiranmu akan bertemu kembali dengannya setelah bertahun-tahun lamanya.
“Temen-temen SMA lo gimana? masih sering kontakan?”
“Iya masih, gue satu tempat kerja juga sama Kageyama. Temen-temen lo?”
“Untungnya masih. Walaupun sekarang udah susah banget sih buat kumpul. Oh iya, Terushima juga sebentar lagi mau nikah.”
Terushima Yuuji, lelaki berambut pirang dengan tindikan di telinga dan lidahnya, si pintar dengan penampilan layaknya preman. Hanya itu yang kamu ingat tentang salah satu teman terdekat Suna tersebut. “Wahh sampein selamat dari gue buat Terushima. Jangan-jangan lo kesini mau bantu ngurusin nikahannya dia?”
“Iya nanti gue sampein. Nggak kok, Terushima nikahnya di kota asal calon istrinya. Gue kesini mau ngurus pertunangan.”
Kamu sedikit terkejut mendengarnya, kemudian memberanikan diri untuk menatap wajahnya seraya memberi seulas senyum dan ucapan selamat. “Oh lo juga mau tunangan? selamat ya-
“Pertunangan Kaori, bukan gue.” sanggahnya cepat.
Ucapanmu menggantung di udara. Tak lama kemudian, kala pandanganmu teralihkan padanya, kamu dapat melihat seulas senyum sendu sama seperti enam tahun lalu kala kamu memutuskan untuk melangkah menjauh, terlukis di figur wajah tampannya.
“I've made a wrong decision back then. I should've listened to what you say, but i let you go instead. Lo bener, gak seharusnya gue terjebak terus-menerus sama Kaori, buktinya sampe sekarang gue masih gak bisa lepas. Tapi gak apa-apa, gue happy bisa nemenin dia sampe dia nemuin seseorang yang dia cinta.”
Ada banyak luka terlukis dalam wajahnya. Kamu tak tahu apakah semua itu karena ia mencintai Kaori namun Kaori memiliki orang lain yang dicintainya, atau karena hal lainnya.
“Gue turut seneng sama pertunangannya Kaori. Gue gak tau apa gue berhak nanya ini sama lo atau ngga, tapi Suna, do you love her?”
Suna menggeleng dengan senyum tipisnya. “Nggak kok.”
“But you're looking sad when you talked about Kaori just now.”
“Bukan kok. Gue bukan sedih karena hal itu. Gue cuma bener-bener seneng bisa ngeliat lo lagi setelah sekian lama. Dan hati gue tiba-tiba sakit karena tau meskipun lo udah sedeket ini, lo gak akan bisa gue raih lagi. Bener kan, kita gak mungkin bisa kayak dulu lagi?”
“Kayak dulu gimana Sun? kita kan emang gak pernah jadi apa-apa,” ujarmu diselipi tawa yang mungkin kentara sekali memaksa.
“Iya haha, lo bener kita gak pernah jadi apa-apa.” Suna berucap demikian kemudian bangkit dari duduknya.
Ia mengulurkan tangan, mengajakmu berjabatan sebagai bentuk persahabatan. “I'm happy to see you again, and I'm also happy knowing that you're healthy.”
Kamu tentu menerimanya, tak ada salahnya juga berjabat tangan dengannya. Lagipula kamu yakin kalau hari ini akan menjadi pertemuan terakhir kalian berdua setidaknya untuk beberapa tahun ke depan.
“Kalau gitu gue pamit,” Suna melenggang pergi setelah jabatan tangan kalian terlepas. Namun baru beberapa langkah diambilnya, ia berhenti, berbalik untuk tersenyum simpul padamu sembari mengatakan sesuatu yang demi tuhan lebih baik tak pernah kamu dengar darinya.
“Lo bener-bener berhasil ngajarin gue jatuh cinta. Karena sampai sekarang, perasaan gue buat lo belum sedikitpun memudar walaupun bertahun-tahun udah lewat.” katanya kemudian berbalik lagi, pergi seperti tak pernah ada apapun yang terjadi sebelumnya.
Sementara kamu duduk terdiam dengan air mata yang perlahan mengalir turun membasahi pipimu. Andai saja kamu memiliki keberanian yang besar untuk mengungkapkan, kamu ingin Suna mendengar bahwasannya ia pun berhasil mengajarkanmu caranya jatuh cinta.
Buktinya sampai sekarang, kamu masih saja mencintainya meski berapakali pun kamu berusaha untuk memusnahkannya dari hidupmu.
[ 13-02-2022 ]
– FIN –
written by @daatsuzoku