Figure it out


Sore itu langit didominasi warna jingga, hangat suasananya membuat Sea betah berlama-lama berada di bawah naungannya. Namun karena tempat tujuannya hanya di depan kampus, maka perjalanannya dengan segera berakhir. Setelah memakirkan motornya, Sea berjalan menuju sebuah coffee shop atau café lebih tepatnya seraya mengecek barang bawaannya.

Ada seseorang di depan Sea yang masuk terlebih dahulu, saat Sea hendak masuk, pintunya perlahan menutup dan nyaris menjepit badan Sea yang fokusnya tengah terbagi pada tasnya.

Beruntung ada yang menahan pintunya dari dalam, pergerakannya lebih cepat dari refleksnya Sea.

Saat hendak berterima kasih, lidahnya mendadak kelu melihat siapa yang barusan membantu menahan pintu untuknya. Orang itu sama terkejutnya dengan Sea, sementara orang di sebelahnya menyuruhnya untuk cepat-cepat keluar karena mereka menghalangi jalan.

Dua orang lelaki itu berjalan keluar, dengan pandangan salah satunya masih terpaku pada Sea di belakangnya. Begitupun Sea, ia masih memandanginya yang perlahan menjauh hingga suara Fadhel membuatnya sadar dan segera menghampirinya.

“Kenapa tadi Se?” tanya Fadhel sejurus setelah Sea duduk.

“Hampir kejepit gara-gara gue gak fokus tapi tadi ditolongin sama yang mau keluar.” balas Sea yang direspon sebuah oh panjang diiringi anggukan.

Sea pamit sebentar untuk memesan karena Fadhel sudah memesan terlebih dahulu. Mereka masih berbincang terkait hal-hal tidak penting sampai pesanan Sea datang. Sea menaruh atensi penuh ketika Fadhel mulai terlihat serius.

“Wajar gak sih Se gue capek gini-gini terus sama Gemini? Gue udah berusaha buat ngertiin dia, tapi kalo sampe bertahun-tahun gini gue capek harus terus ngertiin dia sementara dianya sendiri gak ada usaha untuk berubah.”

Baik Sea maupun Faasha tahu betul perjalanan hubungan keduanya. Mereka dekat sejak kelas 11, di awal semester. Tapi sampai saat ini ketika mereka sudah menginjak tahun pertama di bangku perkuliahan, tak kunjung ada kejelasan status. Pasalnya, hubungan mereka tidak bisa dikategorikan ke dalam friendzone sebab baik Gemini maupun Fadhel tahu bahwa mereka saling menyukai.

Hanya saja ini soal Gemini dan ketakutannya. Untuk awal-awal mungkin masih wajar bagi Fadhel dan ia pun mau untuk membantu Gemini. Semakin lama rasanya semakin menyiksa sebab baginya hubungan tanpa status itu serba nanggung. Belum lagi insekuritas dalam dirinya yang terus-menerus membesar setiap harinya. Segalanya terasa memburuk belakangan ini.

“Lo tau gak sih? Malem waktu Aca mabok terus nangis-nangis pengen dianter Gemini, gue tuh cemburu, gak tau pantes apa nggak karena Aca juga temen gue, cuma gue tuh ada janji sama Gemini buat night drive malem itu dan ya terpaksa batal. Gue gak tau punya hak atau nggak untuk marah karena gue siapa? Posisi gue disitu sama kayak lo, kayak Aca, bahkan Dipta sebagai temennya and I’m sick of it.”

“Mungkin keliatannya gue kayak tergila-gila banget sama status. Tapi buat gue, status tuh bukan soal ‘cuma’ tapi sebuah ikatan buat nentuin batasan. Sampai mana gue boleh bersikap sebagai temennya pasti beda sama gue sebagai pacarnya. Gue udah omongin ini sama Gemini pas makan siang tadi. Tapi kayak biasa, selalu ended up berantem dan Gemini yang minta dingertiin.”

Sea mendengarkan dengan seksama, membiarkan Fadhel mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya sampai perasaannya menjadi lebih lega. “Udah Del? Gue boleh respon sekarang?” tanyanya ketika tidak ada tanda-tanda Fadhel akan berbicara lagi. Fadhel mengangguk mempersilahkan.

“Menurut gue semua yang lo rasain itu wajar kok Del. Kalian udah bertahun-tahun juga jalan di tempat, gak kemana-mana, rasanya pasti lebih capek daripada jalan ke tempat yang jauh. Gue paham kalian udah too attached to each other tapi lo yakin gak Del untuk terus bertahan? Lo capek, Gemini keukeuh, siklusnya gitu terus kalo kalian gak coba ambil jalan yang lain.”

Fadhel terdiam, Sea melanjutkan ucapannya. “Gue gak nyuruh lo sama Gemini udahan, tapi coba ambil resiko. Harus ada jalan yang beda yang kalian ambil, jangan main di safe zone terus kalo lo gak mau gini-gini aja sampe bertahun-tahun ke depan.”

“Gue mau ambil resiko dengan punya hubungan meskipun harus nanggung after effect nya yang mungkin aja terjadi sama Gemini, karena kalo belum dicoba kita gak akan tau kan bakal kayak apa. Tapi dianya gak mau, malah nyuruh gue sabar dan ngertiin dia. Resiko apa lagi yang harus gue ambil? Ninggalin dia?”
Sea mengusap pundak Fadhel, berusaha menenangkannya yang terdengar hampir menangis.

“Coba lo pikirin lagi Del, obrolin berdua sama Gemini dengan kepala dingin, jangan sampe berantem. Figure it out, lo berdua yang ngejalanin selama ini dan ke depannya juga berefek untuk lo berdua. Kalo emang pilihannya berakhir di kalian ngerelain satu sama lain, asal bisa bawa kalian ke jalan yang lebih baik, why not? Mungkin lo sama Gemini emang bukan untuk satu sama lain.”

Fadhel terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia tahu ucapan Sea ada benarnya, selama ini ia bertahan sebab ia merasa mereka sudah terlalu jauh untuk berhenti atau memutar balik. Tapi kalau sudah begini, apa lagi yang ia pertahankan? Mungkin saja di luaran sana banyak yang lebih baik untuknya dan untuk Gemini tapi terhalang ego mereka yang enggan untuk melepas satu sama lain.

“Gue bakal terus ada di sini kalo lo butuh temen cerita, mungkin kalo saran dari gue gak terlalu membantu, gue bisa jadi pendengar yang baik. Gue juga bakal dukung apapun keputusan lo sama Gemini asalkan itu yang terbaik buat kalian.” Ujar Sea diiringi senyuman yang dibalas senyuman pula oleh Fadhel karena setidaknya perasaannya sedikit tenang setelah bercerita kepada Sea.

“Makasih Se, makasih udah dengerin gue, nanti gue coba atur buat ngobrol beneran serius sama Gemini and figure everything out secepatnya, bakal gue paksa tu orang. By the way, itu tadi siapa di depan pintu? Yang tatap-tatapan sama lo sebelum lo masuk?”

Sea tersenyum canggung, ia kira Fadhel tidak sadar. “Gak tau, gue ngerasa familiar aja. Terus barusan mau ngucapin makasih tapi ngeblank soalnya shock hampir kejepit.” Alibinya. Untungnya Fadhel percaya dan tidak bertanya lebih lanjut. Sea meminta maaf dalam hatinya karena telah berbohong tapi tak mungkin juga ia mengatakan itu adalah Windu.