Hancur


Suasana hatimu di Minggu pagi ini secerah mentari yang berkilau di luar sana. Sejak semalam kamu tak hentinya merasa antusias untuk menyambut hari ini. Kamu memang selalu bersemangat saat akan bertemu teman baru.

Setelah Kaori mengirimkan lokasi yang menjadi titik kumpul, kamu segera bersiap lalu berangkat ke tempat tujuan supaya gadis itu tak menunggu lama.

Kamu dapat membayangkan betapa menyenangkannya acara jalan-jalan hari ini. Kamu dan Kaori sudah berbincang mengenai banyak hal di telepon dan sosial media, sudah pasti ketika bertemu langsung dapat membicarakan hal-hal yang lebih beragam.

Melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganmu, ternyata baru menunjukan angka sembilan kurang lima belas. Selain karena jarak cafe yang tak terlalu jauh dari rumahmu, berangkatnya kamu lebih awal juga menjadi faktornya.

Wangi kopi dan kue yang menguar menjadi penyambut kala kamu melangkah memasuki cafe bergaya hangat dan sederhana. Setelah memesan satu porsi kue dan secangkir kopi, kamu mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang kiranya nyaman.

Cafe masih kosong kala itu, kamu kira kamu adalah satu-satunya disini selain sang barista. Namun notifikasi yang masuk ke ponselmu seakan mematahkan dugaanmu dalam sekejap. Ternyata Kaori sudah berada disini lebih dahulu, ia duduk di lantai dua.

“Mas, saya pindah ke lantai dua ya,” ujarmu pada sang barista, takut-takut ia kebingungan karena kamu tiba-tiba menghilang.

Satu persatu anak tangga kamu pijak, beriringan dengan detak jantungmu yang berpacu sedikit lebih cepat dari biasanya karena takut meninggalkan kesan yang buruk bagi Kaori meski ini bukanlah pertemuan pertama kalian.

Ketika berhasil mencapai tangga teratas yang menghubungkan lantai satu dan dua, jantungmu dipaksa berhenti sejenak karena disajikan pemandangan yang sumpah demi apapun tak pernah sekalipun terpikirkan akan kamu lihat di hidupmu.

Dua orang yang sangat familiar, yang menjadi temanmu berbincang beberapa waktu belakangan, yang mengajakmu datang kemari dan yang mengatakan tak dapat ikut bergabung. Keduanya sedang bercumbu dengan mesra seakan tempat ini adalah ruangan milik pribadi.

Tidakkah mereka ingat bahwa kamu akan datang kemari dan berkemungkinan besar melihat apa yang mereka lakukan?

Rasanya kamu ingin berlari secepat mungkin, mensugesti diri bahwa apa yang kamu lihat hanyalah ilusi semata. Namun kakimu seperti dipaku ke lantai, sulit untuk digerakan barang satu sentimeter saja.

Sesak sekali bahkan hanya untuk mengambil satu tarikan nafas, seakan tak ada oksigen yang tersedia. Pikiranmu kosong, hanya saja matamu masih menyaksikan dengan jelas bagaimana bibir mereka bertemu satu sama lain, tangan yang saling merangkul dengan kokohnya, dan mata yang terpejam membuat semakin lupa akan keberadaan entitas lain di sekitar mereka.

Kamu ingin pergi tapi juga ingin menunggu. Barangkali ini hanyalah sebuah insiden dengan unsur ketidaksengajaan, atau hanya paksaan salah satu pihak yang dengan egoisnya kamu harapkan merupakan paksaan dari Kaori. Tapi ternyata tidak, dilihat dari sisi manapun, keduanya sama-sama sadar akan apa yang mereka lakukan.

Maka hancurlah sudah harapan serta perasaan, juga senyum yang seharusnya tersungging ramah tanda sapaan. Meskipun lemas, kamu memaksa kakimu untuk melangkah menuruni tangga setenang mungkin, agar tak menganggu Suna dan Kaori yang tenggelam dalam dunianya sendiri.

“Eh mbak? ini pesanannya,” ujar sang barista dengan wajah kebingungan kala berpapasan denganmu yang hendak meninggalkan cafe.

“Buat mas aja pesenannya atau dibuang juga gak apa-apa. Saya ada urusan mendadak, barusan udah saya bayar kan ya?” tak menunggu respon apapun dari si barista, kamu melenggang keluar dari tempat yang menjadi saksi atas luka besar yang baru saja terukir dalam dirimu.

Benci mengingatnya, namun kejadian barusan terus terputar di kepalamu dengan lancangnya, seakan tak puas jika perasaanmu hancur hanya dengan satu kali melihatnya.

Kakimu melangkah tak tahu arah, entah pergi ke arah mana, entah akan sampai dimana. Sama seperti perasaanmu, hati dan pikiranmu terus berperang mengacaukannya, terlampau membingungkan. Bahkan untuk menangis pun rasanya kamu tak tahu caranya.

Lantas pernyataan cinta dari Suna beberapa bulan yang lalu tiba-tiba muncul di ingatanmu. Semua kata-kata sederhana tapi manis darinya, kini tak lebih dari sekedar kaset rusak yang tak lagi sudi kamu dengar.

Suna dan Kaori, yang mengaku sekedar teman masa kecil, dua orang yang berhasil menghancurkanmu dalam waktu yang terlampau singkat.