Hold you tight, won't let you go.
Menyanyikan lagu yang mengingatkan Suna pada Semi mungkin kesalahan terbesar yang saat ini Suna buat. Karena sekarang pikirannya penuh oleh bayangan Semi, berlomba dengan berbagai luka yang tak pernah bosan hadir di hidupnya, serta perasaan-perasaan yang belum sempat tersampaikan.
Petikan terakhir, tepuk tangan yang meriah, dan setetes air mata yang tak Suna sadari menutup penampilannya. Riuh rendah suara penonton yang memintanya untuk bernyanyi kembali tenggelam oleh sebuah teriakak nyaring yang menyerukan namanya.
“RIN! I WANT YOU TO BE MINE!”
Dan betapa terkejutnya ia kala mendapati presensi orang yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya diantara puluhan pengunjung yang kini memandang mereka penuh rasa penasaran.
Tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu, bibirnya mendadak bisu seakan lagu yang dibawakannya tadi memakan habis pita suaranya. Untuk memanggil namanya saja, rasanya Suna tak sanggup.
Semi mengambil langkahnya dengan cepat, menghampiri Suna yang setia berdiri di atas panggung diiringi keterkejutannya. Dipindahkannya gitar dari tangan pada sandarannya sendiri, lalu digenggamnya tangan yang berkeringat dingin itu.
Tatapan keduanya bertemu, dan bisa Suna temukan keseriusan dalam netra sang pemuda. Berbanding terbalik dengannya, Semi justru melihat kesedihan yang terpancar kuat dari netra sang pujaan.
Bagian mana dari lagu itu yang membuatnya sebegini sendu? Semi berpikir kemudian.
“ANSWER HIM!” teriak salah seorang pengunjung, diikuti yang lainnya karena sedari tadi tak ada kata yang terucap diantara keduanya.
Suna benci ketika ia harus menjadi pusat perhatian, ketika rasanya bernafas saja ia diawasi, ketika ia tak dapat membuka emosinya terlalu jauh, ketika kisahnya seakan dapat dibaca siapapun dengan bebasnya. Tapi yang satu ini tak dapat dihindari, mau tak mau ia harus menghadapinya.
Maka ditariknya nafas dalam-dalam sebelum berujar. “I'm so-”
Belum sempat tuntas kalimatnya itu, Semi sudah menarik tangannya untuk menjauh dari panggung, juga dari cafe milik Akiteru yang tentunya mengundang sorakan kecewa dari para pengunjung namun helaan nafas lega dari si surai coklat.
“Ta, i can't,” Suna berujar tanpa basa-basi ketika dirasa mereka sudah cukup jauh.
“Why?” tanya Semi masih terus berjalan.
“Just... i can't.”
“I won't accept your answer then.”
“I will leave you, and you won't be able to see me again. Jadi buat apa juga gue nerima lo? Gak ada yang bakal lo dapetin Ta,” yang kali ini sukses membuat Semi berhenti.
Mereka berada di depan sebuah toko buku yang sedang tutup, area sekitarnya jauh lebih lengang dibanding jalan-jalan lainnya. Mereka dapat lebih leluasa untuk berbicara disini.
“Kenapa lo harus ninggalin gue? Lo mau kemana?”
“Gak perlu tau. Yang penting sekarang lepasin gue. And let me go, forever.”
“Gak gue izinin. Kalo lo mau pergi, sama gue, kemanapun gue temenin.”
Suna menghempas genggaman erat Semi. Menatapnya seakan Semi adalah manusia paling tidak masuk akal karena ucapannya tadi. Lalu tanpa menimpalinya, ia mencoba untuk pergi meninggalkan Semi yang pastinya tidak akan diam saja.
“Kenapa Rin? Tell me. What will you do? Where will you go? Please tell me!” ada desperasi pada nada suara Semi barusan.
“Bisa gak lo biarin gue pergi dengan tenang? Just leave me alone, is it hard?“
“It is. Rin, don't leave me alone, please?“
Hanya satu harapan Suna kali ini; ia tak ingin ragu lagi. Jadi ia memohon pada Tuhan agar tekadnya dibuat lebih kuat. Karena dari cara Semi berbicara, ia seakan dibuat luluh perlahan, hati dan pikirannya bergelut kembali, mencari pilihan paling tepat untuk dijadikan jawaban.
“I can't. Please let me go ya Ta? you have to find your own happiness, dan itu bukan gue. Lo juga gak akan sendirian, banyak yang sayang sama lo.”
“Lo juga! Banyak orang yang sayang sama lo, terus kenapa lo mau pergi?”
“Siapa Ta yang sayang sama gue? gue aja bahkan gak sayang sama diri gue sendiri,” Suna tertawa getir.
Semi kembali meraih tangannya, digenggamnya penuh kehangatan. “Gue Rin. Gue sayang sama lo, kalo lo gak sayang sama diri lo sendiri, biarin gue yang sayang sama lo sampai kapanpun.”
Suna bukanlah orang yang kuat. Ia haus akan afeksi juga validasi. Maka ekspetasi apa yang kalian taruh padanya? ia akan menolak lagi dan pergi menjauh, begitu? Setelah Semi berujar demikian, lalu kini memeluknya seakan ia adalah satu-satunya manusia yang tersisa di muka bumi, yang harus Semi perlakukan dengan hati-hati. Memangnya Suna masih punya kekuatan untuk berontak dan lari? Tidak.
Maka menangislah Suna dalam pelukannya. Membiarkan air mata yang berteriak atas segala luka yang ditanggungnya, juga perasaan-perasaan yang berkecamuk sejak lama, dan kehangatan yang lama tak dirasanya.
“Don't leave me alone, ya? Disini aja sama gue.” Semi yang memaksa menghalanginya, memeluknya seakan tak boleh lepas Suna itu, tak boleh pergi kemanapun jika tidak bersama Semi dalam genggamannya.