Impulsivitas
“Kalau gitu gue pamit,” Suna melenggang pergi setelah jabatan tangan kalian terlepas. Namun baru beberapa langkah diambilnya, ia berhenti, berbalik untuk tersenyum simpul padamu sembari mengatakan sesuatu yang demi tuhan lebih baik tak pernah kamu dengar darinya.
“Lo bener-bener berhasil ngajarin gue jatuh cinta. Karena sampai sekarang, perasaan gue buat lo belum sedikitpun memudar walaupun bertahun-tahun udah lewat.” katanya kemudian berbalik lagi, pergi seperti tak pernah ada apapun yang terjadi sebelumnya.
Di kepalamu, terdapat banyak skenario yang mungkin dapat terjadi tergantung respon apa yang kamu berikan. Apakah kamu akan menangis dalam diam dan melepaskannya sekali lagi? atau kamu akan menahan tangannya agar langkahnya tak pernah menjauh?
“SUNA!”
Nyatanya, otakmu terlambat menghentikan perilaku impulsif yang baru saja terjadi dengan cepat. Jaraknya belum begitu jauh, meski sulit kamu raih dengan tanganmu, tapi suaramu masih menjangkaunya.
Langkahnya terhenti, ia menoleh, menampakkan matanya yang perlahan memerah, juga bibirnya yang sedikit gemetar. Suna menaikkan alisnya, bertanya tanpa suara. Karena mungkin, mungkin, jika ia bersuara sedikit saja air matanya tak akan lagi terbendung.
“Can we talk for a little longer? if you have time.”
Lagi dan lagi, perilaku impulsif. Sejujurnya kamu tak berharap banyak untuk responnya, kamu sadar akan apa yang telah kamu katakan sebelumnya adalah sesuatu yang menyakiti hatinya.
“Of course,” tapi Suna, pada dasarnya juga tak sekuat itu. Pertahanannya rapuh, disentuh sedikit saja langsung hancur. Tak begitu berbeda denganmu.
Maka atas segala impulsivitas yang terjadi, ada pembicaraan yang saling tertukar kembali. Berbagi sedikit demi sedikit kisah yang beberapa tahun terlewati. Juga canda dan tawa yang lama tak menggema, mengisi lorong-lorong sepi dalam hati yang lama tak berpemilik.