izin
Sudah hampir dua jam keduanya berkutat dengan buku. Mereka berbeda jurusan, pun tujuan namun entah mengapa merasa nyaman belajar dengan satu sama lain.
Kuroo menutup bukunya, membaringkan kepala diatasnya kemudian mengarahkan pandangannya pada gadis cantik yang duduk di sebelah–nampak tak terganggu sama sekali oleh tatapannya.
“Mata lo keluar tuh sebentar lagi” ujarnya tak mengalihkan pandangan.
Kuroo tertawa kecil. “Ada yang mau gue omongin Sa. Pilih disini aja apa keluar sambil jalan ngomongnya?”
“Disini aja, asal suaranya jangan kenceng-kenceng nanti ditegur”
Akhirnya Alisa menutup bukunya, melakukan hal yang sama seperti Kuroo membuat jarak antara wajah keduanya terpaut beberapa senti saja.
Jujur, Alisa selalu suka kilatan yang dipancarkan dari kedua mata Kuroo setiap kali pemuda itu menatap dirinya. Kedua mata itu selalu memandang lembut dan berhati-hati meski bibirnya seringkali berucap menyebalkan–jauh dari kata lembut itu sendiri.
“Gue mau izin buat berhenti. Berhenti pdkt dan merjuangin perasaan gue buat lo. Rasanya mau segimana gue berjuang, hati lo ga akan berpaling dari Semi. Selama ini gue bertanya-tanya, sebenernya apa sih yang gue perjuangin? Padahal hasilnya aja udah keliatan jelas kalo gue kalah dari awal tapi emang dasarnya gue aja bebal”
Tangan Kuroo terangkat naik, mengelus lembut pipi Alisa yang masih diam seribu bahasa. “Tapi gue mohon, jangan jauhin gue gara-gara ini. Gue masih mau temenan sama lo, belajar bareng, jajan cilor bareng, saling traktir es krim, gue gamau nyerah sama pertemanan kita. Gue cuma nyerah sama perasaan gue, gue ga akan berubah”
“Bedanya, gue ke depannya nanti pure temen deket lo doang. Tanpa perasaan suka sama sekali, anggap aja gitu. Kayaknya ke lo ga akan berefek apa-apa soalnya lo emang nganggap gue temen kan selama ini?”
Alisa tak dapat mengalihkan pandangannya, Kuroo menatapnya tepat pada kedua maniknya–serius, tanpa keraguan.
Ada sesuatu yang sedikit berdenyut nyeri ketika Kuroo mengungkapkan semuanya, meminta izin untuk menyerah dimana ia tak akan lagi berjuang atas perasaannya.
“Alisa, boleh kan? Boleh gue izin nyerah dan ga berjuang lagi soal perasaan gue ke lo?”
Apa ada alasan Alisa untuk menolak? Tidak. Maka dari itu ia menganggukkan kepalanya walau ragu.
Kuroo tersenyum tipis, ia menyodorkan kelingkingnya, “janji ya jangan jadi canggung atau jauhin gue?”
“Iya, janji” Alisa menautkan kelingkingnya dengan Kuroo yang langsung melebarkan senyumnya.
“Gue ga akan ganggu bucin-bucinan lo sama Semi lagi. Ga akan iri, ga akan jadi pho, pokoknya banyak ga akan ga akan”
Alisa terkekeh, “iya bawel. Nanti gue bilangin Semi kalo Kuroo bukan saingannya lagi sekarang”
“Hahaha aduh gue mesti ngaku dong ya kalo gue udah kalah dari dia?”
Dibalik tawa yang gadis itu perlihatkan, ada bagian hatinya yang terasa patah. Karena sebenarnya, jauh di dalam sana, ia masih berharap untuk diperjuangkan oleh lelaki bersurai legam di hadapannya. Tapi ia masih se gengsi itu untuk mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri.
Denial
Pun dengan si surai legam, meski wajahnya setenang air dan suaranya penuh keyakinan, dalam hatinya ia tengah menyembunyikan luka yang terasa begitu nyeri. Menyerah tak menyerah sama sama sakit untuknya. Memilih yang manapun tetap beresiko buruk.
“Yaudah yuk balikin ini dulu terus kita jalan-jalan, nanti kemaleman. Hari ini gue yang traktir es krim”