last day
SemiSuna au 7 days ;
last day
tw // suicide, cutting, blood, major character death
Suna membuka matanya pada pukul tujuh pagi. Perasaannya bercampur aduk, antara senang karena akhirnya datang hari dimana ia bisa melakukan apapun seharian dan tak tenang karena rasanya banyak hal yang belum sempat ia sampaikan.
Setelah mandi, bersiap-siap, memastikan tak ada satupun yang tertinggal, Suna berangkat.
Jalanan pada Senin pagi dipadati oleh orang-orang yang akan beraktivitas, entah kerja, sekolah, dan lainnya. Suna bahkan sempat beberapa kali terjebak macet saking padatnya.
Suna membeli sepotong sandwich dan susu hangat sebelum mulai berkeliling, sarapan paling utama.
Mengelilingi kota di pagi hari ternyata cukup menyenangkan, banyak yang bisa dilihat. Seperti pembukaan toko roti misalnya. Udaranya juga masih segar, dengan sinar matahari menyorot hangat.
Semakin siang, semakin banyak toko yang sudah buka. Terutama toko fashion sih. Sejak tadi Suna hanya keluar masuk toko makanan, sampai tangan dan perutnya mulai penuh.
Kini kakinya melangkah memasuki toko aksesoris setelah melihat barang yang menarik perhatiannya. Tanpa berpikir lama lagi, Suna membelinya.
Gelang hitam dengan charm berbentuk gitar kecil, sangat simple, dan mengingatkannya pada Semi Eita.
“Kalo gue kasih ke Eita pasti seneng banget anaknya” gumam Suna sembari memperhatikan benda kecil itu. “Tapi ga akan bisa gue kasihin juga sih”
Berjam-jam Suna habiskan untuk keluar masuk toko, sekedar melihat-lihat atau membeli barang yang kiranya ia inginkan. Bahkan ia sampai membeli kamera analog demi mengabadikan objek yang baginya menarik.
Tak terasa waktu sudah memasuki jam makan siang, Suna memutuskan untuk makan di sebuah restoran Jepang.
Punya duit ga punya duit ramen adalah passionku–Suna Rintarou.
Sementara tangan satunya sibuk menyuap, yang satunya lagi sibuk menulis. Mengatur ulang to do list, mencoret yang telah terlaksana dan menyusun mana yang harus dilakukan selanjutnya.
Rencananya selepas makan siang Suna ingin naik kereta tanpa tujuan, namun ia takut waktunya tersita terlalu banyak makanya rencana naik kereta batal.
Digantikan dengan nonton film yang entah apa judulnya karena Suna asal membeli tiket, lalu pergi karaoke. Suna sendiri tak percaya ia datang ke karaoke, bernyanyi seperti tak ada beban hidup yang bertengger di pundaknya.
Keluar dari karaoke ternyata langit sudah mulai berubah oranye, Suna benar-benar menikmati kegiatannya sejauh ini–sesuai dengan apa yang ia inginkan sejak lama.
Berbeda dengan pagi tadi, kini jalanan ramai oleh mereka yang selesai beraktivitas. Mayoritas anak-anak yang pulang sekolah.
Sesekali Suna tersenyum kepada siapapun yang bersinggungan mata dengannya. Bahkan ia sempat menyapa seorang anak kecil, mencoba tersenyum seramah mungkin.
Namun memang pada dasarnya wajah Suna terlalu datar dan cukup menyeramkan, anak itu justru menangis ke ibunya, mengadu takut.
Suna merasa sangat senang. Meski hanya sendiri, ia menikmati kegiatannya. Meski terkesan tanpa tujuan, tapi terasa menyenangkan.
Tak terdistraksi apapun, benar-benar menenangkan.
Coffee shop yang pernah dikunjunginya bersama Semi–coffe shop yang katanya favorit Eita menjadi singgahan sebelum matahari terbenam. Disana juga menyediakan live music jadi Suna dapat melakukan poin nomor dua di list.
Tempat duduk sampai menu yang dipesan sama seperti waktu Suna datang bersama Semi, hanya suasananya yang berbeda.
Suna sudah mengatakan pada barista yang ternyata juga pemilik cafe bahwa ia ingin membawakan sebuah lagu di live music malam ini, dan diizinkan tentunya.
Kini lelaki itu tengah sibuk memikirkan lagu apa yang harus ia bawakan. Di kepalanya muncul banyak pilihan.
“Kak Suna, mau sekarang?” Tawaran sang barista membuat Suna yang tengah berpikir keras segera tersadar.
“Aduh bentar lagi deh kayaknya mas, saya masih bingung mau nyanyi lagu apa”
Lelaki jangkung itu tersenyum. “Kalo ga salah Kak Suna ini temennya Eita ya?”
Suna mengangguk. “Eita juga sering ikut nyanyi disini. Sering banyak yang request sama dia” barista itu tertawa.
Karena si barista menyinggung nama Semi, Suna jadi terpikirkan satu lagu, satu lagu yang mengingatkannya (lagi) kepada Semi dan sepertinya cocok untuk dibawakan kali ini.
“Mas, saya nyanyi sekarang aja deh” setelah disetujui, Suna berjalan ke arah panggung.
Suna duduk dengan gitar di pangkuannya. “Tes tes. Selamat sore semuanya” suara Suna menyita perhatian seluruh pengunjung cafe.
“Saya akan menyanyikan sebuah lagu yang cukup spesial untuk saya sendiri dan mengingatkan saya kepada seseorang. Semoga kalian terhibur” lanjutnya tak lupa tersenyum.
Setelahnya suara petikan gitar terdengar, semua fokus tertuju pada Suna yang mulai bernyanyi lagu i wanna be yours by arctic monkeys dengan gaya akustik.
Setiap nada yang dimainkannya, mengingatkan pada sosok Semi Eita. Setiap kata yang keluar dari bibirnya, membawa bayangan pemuda yang berhasil mengacaukan hatinya dalam waktu kurang dari satu minggu.
Semi terus muncul dalam benak Suna, dengan senyum dan kata-kata manisnya yang selalu membuat pipi atau bahkan telinga Suna memerah karena malu, dan kehadirannya yang menghidupkan kembali perasaan Suna yang lama mati.
Perlahan-lahan, suara Suna semakin berat. Perasaan yang seharian ini ia tahan agar tak ada ragu yang menahan langkahnya, mulai meluap.
Kata demi kata dalam liriknya merepresentasikan perasaan Suna. Bagaimana sebenarnya Suna hanya ingin menjadi milik Semi dan hidup lebih lama bersamanya. Andai, andai saja Semi datang lebih awal mungkin Suna akan berubah pikiran dan memilih untuk mencoba menjalani lagi kehidupan dengan Semi di dalamnya.
Menyanyikan lagu yang mengingatkannya pada Semi mungkin kesalahan terbesar yang saat ini Suna buat. Karena bayangan Semi, perasaannya yang diwakilkan oleh isi lagu, dan cerita-cerita kehidupannya berlomba memenuhi kepala Suna.
Petikan terakhir, tepuk tangan yang meriah, dan setetes air mata yang tak Suna sadari menutup penampilannya.
“Eita, maybe i just wanna be yours” Gumam Suna lalu menyeka air matanya.
Penampilan Suna yang penuh penghayatan sukses membuat banyak pengunjung terkesima. Tak rela Suna turun dari panggung, memintanya menyanyikan lagi barang satu atau dua lagu.
“Terimakasih karena telah menikmati penampilan saya. Tapi saya memang ingin membawakan satu lagu saja. Selamat malam semuanya”
Sang barista menghampiri Suna, menepuk pundaknya terlihat bangga. “Kamu agak mirip sama Eita ternyata, kalo nyanyi pasti bayangin sesuatu terus akhirnya emo sendiri. Lagu yang sebenernya ga sedih kedengerannya jadi sedih”
Suna tergelak meski sebenarnya isi kepala serta isi hati sedang tak karuan. Ia pun membereskan barangnya, harus segera pergi sebelum malam semakin larut.
“Mas makasih ya udah izinin saya nyanyi”
“Iya santai aja lagian sebenernya itu terbuka untuk siapapun kok. Salam ya buat Eita, kamu hati-hati pulangnya”
Suna hanya membalas dengan senyum lalu melambaikan tangannya sebelum benar-benar pergi.
Angin malam berhembus menerbangkan helaian rambut Suna hingga membuatnya semakin berantakan. Hamparan langit malam menaunginya yang tengah menyendiri memeluk lutut.
Suna tengah melakukan to do list terakhirnya di sebuah lahan kosong beralaskan rumput hijau yang pernah dilewatinya saat berjalan-jalan dengan Semi tempo hari.
Alih-alih berteriak seperti yang tertulis di rencananya, Suna hanya duduk disana, berkutat dengan pikirannya. Memikirkan takdir buruk yang tak pernah bosan datang padanya.
Memikirkan apa saja yang telah dilakukannya selama ini, bagaimana pendiriannya dibuat goyah dalam waktu beberapa hari saja.
Memikirkan segala hal tentang Semi Eita yang sebentar lagi akan ia tinggalkan.
Kenangan buruk, kenangan baik, rasa sakit dan senyuman, semuanya Suna simpan dalam ingatannya sebagai kenangan terakhir yang akan Suna tinggalkan.
Tetesan air tak berhenti turun dari kedua matanya. Namun senyum juga tak absen mewakili. Ini terakhir kali, terakhir kali Suna merasakan segalanya di dunia. Dan ia tak menyesal karena ini keputusannya sendiri.
Tangannya mengambil sebuah cutter dari dalam tas. Menyingkap lengan bajunya sebelum menyabet lengannya beberapa kali tepat pada nadi sampai mengeluarkan banyak darah dan membuatnya perlahan kehilangan kemampuan meraup oksigen.
Udara yang dirasakan semakin menipis, dan pandangannya kabur. Sebelum benar-benar menutup matanya, Suna sedikit tersenyum karena akhirnya ia berhasil melepaskan beban hidupnya.
Tak sedikitpun kata yang keluar dari bibirnya bahkan sampai nyawanya telah habis. Di tengah sepi dan kesendirian, Suna akhirnya pergi dari dunia ini.