Orang bilang, masa SMA adalah masa-masanya mencari cinta yang manis. Sama halnya dengan gadis cantik yang baru beberapa bulan menginjak masa SMA nya, Vanya.

Ia menyukai seseorang dari kelas sebelah, Rafael namanya. Pikirnya walau berbeda kelas mungkin hati bisa berbalas.

Kedua matanya kerap curi-curi pandang pada sosok yang ia sukai itu. Entah ketika di kantin, berpapasan di lorong, atau ketika kelasnya disatukan dengan kelas sebelah untuk keperluan suatu tugas.

Tanpa ia sadari, Rafael pun mulai membalas lirikan matanya dengan hal serupa, kadang kala diiringi senyumnya pula.

Sampai pada suatu waktu, lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu menyapa terlebih dahulu. Bukan lagi eye contact, bukan hanya senyuman, tapi juga sapaan.

“Halo, Van. Mau ke kantin juga ya?”

“Iya nih Raf.”

“Mau bareng?”

Entah karena jalan hidupnya memang sudah dirancang sedemikian rupa atau hanya kebetulan semata, semenjak perbincangan kecil itu, Rafael dan Vanya jadi semakin dekat dan lebih sering berinteraksi.

Bahkan Yuni, sahabat Vanya, mengatakan bahwa mereka sudah mulai memasuki tahap pendekatan karena ia selalu ada di sana ketika keduanya berinteraksi.

Yuni si gadis manis tak luput pula dari pandangan Rafael. Meski fokus utamanya adalah Vanya, Yuni yang selalu ada disana pun sedikit memikat hatinya.

Niatnya yang ingin mendekati Vanya karena banyaknya eye contact yang terjadi di antara mereka mendadak terbagi karena kehadiran Yuni, dan menurutnya pendekatan itu perlu lebih dari satu orang agar peluangnya semakin besar untuk mendapatkan salah satunya.

Rafael tahu ia brengsek dengan pemikirannya itu, namun ia juga tak dapat memutuskan ingin mendekati siapa, perasaannya masih begitu labil.

Sampai di pikirannya muncul ide untuk terus mendekati Vanya di sekolah sementara di sosial media ia selalu menghubungi Yuni dengan modus ingin berkonsultasi mengenai hubunganya dengan Vanya.

Yuni tak merasa ada yang salah, bahkan setelah topik pembicaraannya dengan Rafael di sosial media bukan lagi soal Vanya tapi menjurus ke masalah pribadi seperti keluarga dan diri masing-masing, ia masih saja merespon dengan baik.

Tapi Yuni juga tak mau jika suatu hari nanti ada kesalahpahaman antara dirinya dengan Vanya apalagi perihal orang yang sangat Vanya sukai. Maka dari itu, ia selalu menceritakan tentang Rafael yang selalu membicarakan tentang Vanya kepada dirinya. Dan Vanya tentu saja bahagia karena orang yang ia suka sering membicarakan tentang dirinya.

Proses pendekatan Rafael dan Vanya semakin hari semakin baik. Keduanya semakin dekat, semakin sering terlihat bersama, apalagi ketika istirahat dan pulang sekolah.

“Kamu suka makan apa? aku mau coba bikin, itung-itung ucapan terima kasih karena tiga hari kebelakang sering diajakin pulang bareng,” Vanya berujar di suatu jam istirahat.

“Aku suka makan segala sih. Apalagi kamu yang bikin, udah pasti suka.”

Vanya tertawa atas ucapan Rafael yang terkesan merayunya. Mereka bak berada diatas awan, sedang merasakan manis-manisnya jatuh cinta di masa muda.

Sampai sebuah fakta yang baru diketahui Rafael membuatnya terhempas dan dibiarkan jatuh membentur tanah.

Ada yang berbeda dari dirinya dan Vanya. Yang tak bisa dipaksakan, yang tak bisa diubah, dan menjadi sebuah game over bagi mereka yang bahkan belum memulai.

Rafael dibuat uring-uringan karenanya. Ia bimbang harus memperjuangakan siapa sekarang. Yuni dengan segala kemungkinan yang masih 'mungkin' bagi mereka atau Vanya dengan segala kemungkinan yang sebenarnya tak mungkin tapi perasaannya masih ingin terus berjuang.

Hingga keputusannya jatuh pada Yuni, pikirnya lebih baik memperjuangkan yang masih memiliki kemungkinan.

Malamnya, Rafael mengirim pesan kepada Yuni yang berisi:

Rafael: “Yun, gak malmingan?”
Yuni: “nggak, gak ada gandengan.”
Rafael: “Duh kasian banget sih hahaha.”
Yuni: “Sendirinya juga gak ada gandengan. Gak usah sok.”
Rafael: “Ada kok, tapi masih calon.”
Yuni: “Vanya ya? :)”
Rafael: “Ini yang lagi chatting sama aku :)”
Yuni: “Ish dasaar.”

Topik pembicaraan tersebut terus memanjang hingga pukul tiga dini hari dan beberapa hari setelahnya.

Yuni mulai curiga akan gerak-gerik Rafael yang terlihat seperti sedang melakukan pendekatan padanya. Karena baginya Vanya masih yang utama, maka diceritakan lah segalanya tentang dirinya dan Rafael selama ini tanpa ada yang tertinggal sedikitpun.

Merasa Rafael adalah orang yang cukup brengsek dengan mendekati dua orang sekaligus, apalagi mereka bersahabat, Yuni dan Vanya memutuskan untuk menjauh dari lelaki itu.

Bodoh rasanya karena sempat berpikir untuk mendekati dua orang agar bisa mendapat peluang berhasil yang lebih besar. Karena kini Rafael berakhir menghabiskan sisa waktu kelas sepuluhnya tanpa
gandengan.

Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berganti, hingga tahun ajaran baru pun dimulai.

Daftar siswa beserta kelasnya yang baru telah ditempel di mading sekolah. Selepas upacara, para siswa berhamburan untuk melihatnya.

Rafael melihat namanya berada pada daftar siswa kelas 11 IPA 4. Selain namanya, ada pula nama seseorang yang tak asing baginya.

“Rafael? sekelas lagi ya kita?” Caca namanya, orangnya langsung muncul tepat setelah Rafael setelah selesai membaca namanya.

“Iya Ca,” belum selesai ia membalas ucapan Caca, matanya menangkap nama seseorang yang masih menetap di sudut hatinya. “Lah sekelas sama Vanya?”

“Vanya siapa?”

“Eh nggak Ca. Kapan nih kita reuni SMP? kangen sih sama anak-anak.”

“Ih ayo kapan dong? aku juga kangen. Ngobrolnya sambil ke kelas yuk!”

Sepanjang perjalanan, Rafael tidak dapat fokus karena perasaannya yang bercampur aduk antara senang juga bingung dapat menjadi teman sekelas Vanya.

Senang karena akhirnya ia dapat memandang Vanya lebih dekat dan berinteraksi dengannya tanpa terhalang tembok kelas sampai jam istirahat atau jam pulang hanya untuk berbincang.

Namun juga bingung bagaimana caranya berhenti memikirkan Vanya sementara kehadirannya menjadi begitu dekat.

Dan benar saja, pikirannya enggan untuk berhenti memikirkan Vanya sesaat setelah ia melihat gadis cantik itu. Tutur katanya yang lembut, pesonanya yang begitu kuat, gerak-geriknya yang elegan, serta senyumnya yang terlampau manis berhasil membuat Rafael membuang akal sehatnya dan bertekad untuk memperjuangkan kembali perasaannya untuk Vanya.

“Van, boleh duduk sebangku?”

Vanya cukup terkejut dengan kehadiran Rafael dan permintaannya yang tiba-tiba. “Emangnya gak ada lagi yang kamu kenal Raf?”

Rafael menggeleng. “Cuma kamu doang sama Caca. Tapi Caca udah ada temennya. Kamu gak mau ya?”

“Mau kok, ayo sebangku.”

Seperti deja vu, perbincangan kecil diantara keduanya mengantarkan pada kedekatan yang lebih mendalam dari sekedar teman kelas biasa.

Banyak cerita yang mengalir di antara mereka. Banyak tawa yang terselip di antara hari-hari yang bersama terlewati. Banyak basa-basi yang dijadikan modus untuk saling mengisi rasa yang perlahan kembali.

Jauh di sudut hati Vanya, ada sedikit rasa takut untuk kembali membuka hati untuk Rafael karena rasa kecewanya akan sikap Rafael yang memilih mendekati dua orang di satu waktu yang sama.

Namun di sudut yang lain, perasaannya enggan berbohong. Ia menyukai Rafael. Ia suka ketika lelaki itu banyak bercerita padanya, ia suka ketika lelaki itu memperhatikannya lebih dari yang lain, ia suka ketika Rafael secara terang-terangan menunjukan rasa sayangnya. Vanya pun mau mencoba berani, menekan rasa takutnya dengan harapan akan menemukan akhir yang lebih baik dari yang sebelumnya. Karena bagaimanapun, Rafael akan selalu menjadi cinta pertama yang amat ia sukai.

Di antara kedekatan Rafael dan Vanya, ada satu orang yang tak pernah luput memperhatikan. Albara, lelaki yang menurut dirinya sendiri paling menyukai Vanya lebih dari siapapun. Perasaannya terlalu meledak-ledak, sampai tak pernah memperhatikan tingkah lakunya jika sudah menyangkut Vanya.

Di perkenalan pertama mereka pada awal kelas sebelas, Albara memberikan Vanya coklat. Ketika pembelajaran sudah dimulai, Albara kerap meminta untuk dijadikan satu kelompok bersama Vanya, diluar jam pelajaran pun Albara tak hentinya menggoda Vanya.

Vanya yang pada dasarnya pribadi yang baik hati tak pernah tega untuk menolak apapun. Maka ia terima coklat pemberian Albara dan ia menerima Albara untuk menjadi anggota kelompoknya. Semuanya Vanya lakukan tanpa ada niat dan maksud apapun, sementara Albara menganggap hal tersebut sebagai sebuah ketertarikan balik dari Vanya ke Albara.

Vanya terus tenggelam dalam dunianya bersama Rafael. Keduanya seringkali ditinggalkan berdua di kelas untuk makan saat teman-teman yang lain sedang jajan, bahkan saling bertukar bekal dan diiringi pembicaraan yang beragam.

Semua yang mereka lakukan tak pernah luput dari perhatian Albara hingga akhirnya lelaki itu menyadari bahwa ada yang tidak biasa dari interaksi keduanya. Ia terlambat menyadari bahwa Rafael dan Vanya sedang berada dalam masa pendekatan.

Emosinya meluap, ia benci melihat keduanya bertingkah seakan-akan hanya merekalah yang tinggal di bumi. Hingga sebuah ide terlintas di pikirannya, ide untuk menjatuhkan Rafael dihadapan Vanya.

Diamatinya lelaki itu selama beberapa hari, mencari celah agar Albara dapat menjatuhkannya. Betapa beruntungnya Albara karena mendapatkan apa yang ia inginkan hanya dalam waktu yang singkat.

Merasa memiliki senjata, Albara memutar otaknya agar apa informasi yang ia punya dapat segera tersampaikan kepada Vanya. Agar Vanya segera menjauh dari si brengsek Rafael, pikirnya.

“Raf, Van, mau jajan? ikut dong!”

Tanpa menunggu persetujuan keduanya, Albara segera bergabung dan berjalan bersama mereka. Rafael dan Vanya malas menolak, maka mereka biarkan Albara berada di antara keduanya.

“Van, beli apa? Aku mau kesana beli minuman,” tanya Rafael.

Vanya memindai sekelilingnya, lantas menjatuhkan pilihan pada bakso tahu yang gerobaknya terletak berlawanan dengan tujuan Rafael.

“Aku kesana ya Raf, kamu kalau udah selesai langsung ke kelas aja gak apa.”

“Eh Van, aku ikut, ngiler juga liat bakso tahu.”

Albara berjalan bersama Vanya ke arah penjual bakso tahu sementara Rafael ke arah sebaliknya.

Tanpa sepengetahuan Rafael, tujuan Albara bukanlah membeli bakso tahu tapi berbicara dengan Vanya empat mata.

Ketika diminta mengikuti Albara, Vanya kebingungan, kiranya apa yang akan dilakukan teman sekelasnya itu sampai harus menjauh dari keramaian para penjual jajanan.

“Van, Rafael tuh brengsek. Jauhin dia sekarang sebelum terlambat.”

“Apa sih Bar? Tiba-tiba nuduh Rafael, tanpa konteks, tanpa bukti.”

“Aku gak punya bukti fisik karena gak ngefoto waktu itu. Aku liat Rafael sama Caca jalan berduaan ke perpus. Kejadiannya gak sekali dua kali, tapi sering. Hari ini aja mereka mau pulang bareng.”

Mendengar penjelasan panjang lebar dari Albara membuat Vanya semakin kebingungan. Ia mau percaya tapi bisa saja Albara hanya membual, tak percaya pun siapa yang tahu kalau ternyata ia berkata benar?

“Bar, jangan coba-coba buat jatuhin Rafael.”

Albara memegang kedua sisi lengan Vanya, “nggak Van, aku beneran kasih tau apa yang udah aku liat. Percaya sama aku, please?

Di sisi lain, ada Rafael yang sibuk mencari Vanya di antara kerumunan para siswa yang sedang mengantri di berbagai gerobak jajanan tapi tak kunjung ia temukan. Ia pikir Vanya sudah kembali ke kelas terlebih dahulu, maka ia pun memutuskan untuk kembali ke kelas.

Vanya kembali dengan suasana hatinya yang sedikit buruk, sementara Albara ia tinggalkan begitu saja di belakang sana. Yang dilihatnya pertama kali adalah Rafael yang tengah berbincang dengan Caca.

Tanpa ragu, Vanya segera menghampiri mereka berdua. “Hai lagi ngapain?” sapanya.

“Hai Van, lagi bahas buku psikologi nih, katanya Rafael punya rekomendasi. Buat tugas bahasa Indonesia itu loh,” balas Caca.

“Iya nih Van. Rencananya balik sekolah mau ke perpus, kamu mau ikut?”

Vanya menggeleng. “Masa aku ikut. Kalian aja deh gak apa-apa.”

“Ah gak mau Van, pokoknya harus ada kamu,” bujuk Rafael.

Caca mengangguk setuju. “Ikut aja Van, ayo.”

“Ntar kalau di perpus gak ada, kita ke Gramedia, seru kan?” bujuk Rafael lagi.

Vanya akhirnya menyetujui, sekaligus demi membuktikan benar atau tidaknya ucapan Albara tadi.

Sepulang sekolah, mereka terpaksa pergi ke Gramedia sebab perpustakaan tak menyediakan buku yang dicari oleh Caca.

Sedari pulang sekolah sampai mereka berkeliling Gramedia lalu makan, tak ada gerak-gerik mencurigakan dari Rafael maupun Caca. Keduanya pun tak terlihat kesal dengan kehadiran Vanya disana. Menurut logikanya, jika ucapan Albara benar, seharusnya mereka kesal karena Vanya merusak rencana 'pulang bersama' mereka.

Bukan Rafael maupun Caca yang kesal, justru Albara yang kesal sendiri seraya memantau mereka dari kejauhan. Ia berharap akan ada sesuatu yang membuat ucapannya terbukti benar dan Vanya percaya sepenuhnya.

Sekitar jam empat sore, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Albar mengikuti taksi online pesanan Rafael, Vanya, dan Caca.

Karena rumah Vanya adalah pertama kali dilewati, ia turun terlebih dahulu dibanding Rafael dan Caca. Albara yang sempat kebingungan harus melakukan apa akhirnya memutuskan untuk mengikuti kembali mobil yang berisi Rafael dengan Caca setelah memastikan Vanya masuk ke rumah.

Hujan turun dengan derasnya tanpa diduga, tepat ketika Rafael dan Caca turun dari taksi online. Albara yang sedang memantau pun jadi sedikit kesulitan.

“Raf, lari yuk, besar ini hujannya.” Caca menarik tangan Rafael agar lelaki itu bisa mengikutinya berlari.

Bukannya menurut, Rafael justru menahan tangan gadis itu. “Jangan ah, ingin lama-lama bareng kamu.”

Caca mendecak sebal tapi kedua sudut bibirnya tak bisa untuk tak tersenyum. “Dasar. Ya udah ini bukunya masukin tas kamu dulu, tas aku kayaknya gak waterproof.”

Saat Caca hendak memasukkan buku yang baru dibelinya ke dalam tas Rafael, tangannya justru ditahan si empunya tas.

“Kamunya mau sekalian dimasukin gak?” godanya.

“Ih mana muat lah Raf, kekecilan tasnya.”

“Siapa bilang masukin ke tas, masukin kesini lah,” tangannya menuntun tangan Caca untuk mendekat ke arah jantungnya berdetak. “Masukin ke hati aku.”

“Boleh.” Caca tersenyum membalas rayuan Rafael.

Albara naik pitam. Bisa-bisanya mereka berbuat seperti ini di belakang Vanya. Niatnya ingin merekam apa yang dilihatnya, namun suasana tak mendukung sama sekali. Ketika ponselnya baru saja akan ia arahkan ke depan sana, tautan keduanya terlepas.

Namun Albara tak ambil pusing, ia bergegas pergi menuju warung tempatnya biasa berkumpul bersama teman-temannya demi menyusun rencana untuk membongkar semuanya kepada Vanya.

Karena hujan yang tak kunjung berhenti, Rafael memutuskan untuk singgah di rumah Caca sekaligus membantunya mengerjakan tugas bahasa Indonesia.

Rafael juga sempat berbincang dengan kedua orang tua Caca yang menyambutnya dengan hangat dan menerimanya dengan baik.

“Aku pulang ya Ca, udah reda juga hujannya.” Rafael membereskan barang-barangnya bersiap untuk pulang.

“Ini tugsnya gimana Raf? kan belum selesai.”

“Besok aku kabarin lagi lewat chat.”

Setelah berpamitan dengan para pemilik rumah, Rafael bergegas untuk pulang karena jam sudah menunjukan pukul sembilan malam lewat.

Pukul delapan lewat, Albara mengirim pesan pada Vanya untuk menemuinya di taman kecil dekat rumah Vanya. Vanya jelas menolak, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Albara, lagipula Vanya rasanya sudah tidak dapat percaya lagi pada lelaki itu karena ucapannya tidak terbukti benar.

Tapi karena Albara terus membujuk dan memaksanya untuk menemuinya dengan dalih darurat dan menyangkut Rafael, Vanya akhirnya keluar diam-diam untuk menemuinya.

“Van, please percaya sama aku, kali ini aku gak bohong. Tadi si Rafael ikut turun bareng Caca terus aku liat mereka pegangan tangan dan ciuman.” Ujar Albara segera setelah Vanya berdiri di hadapannya.

“Hah? Gak usah ngarang cerita, Bar. Yang sebelumnya aja gak terbukti bener, gimana aku mau percaya yang kali ini? mana lebih ngaco lagi omongan kamu,” Vanya jelas tak percaya.

“Aku berani sumpah, Van, kalo Rafael di belakang kamu tuh ada apa-apa sama Caca. Selama ini aku ngikutin mereka, bukan cuma kali ini aja aku liat mereka kayak gitu.”

Melihat Albara yang menjelaskan dengan menggebu-gebu dan penuh keyakinan sedikit menggoyahkan pertahanan Vanya. Namun ia tak akan semudah itu percaya, apalagi menyangkut kedua teman kelasnya.

“Aku nggak sempet foto karena hujan dan suasananya gak mendukung. Aku juga kepikiran sama kamu, makanya aku langsung kesini tanpa pikir panjang. Please, tolong banget percaya sama aku Van. Rafael tuh bajingan!”

“Tapi aku gak bisa percaya, apalagi cuma modal omongan doang tanpa bukti apa-apa. Maaf Bar, kalo cuma itu yang mau kamu sampein lebih baik kamu pulang karena gak ada gunanya coba jatuhin Rafael tanpa bukti apa-apa. Semuanya cuma jadi omong kosong buat aku.”

Ketika Vanya hendak pergi, tangannya ditahan oleh Albara. Cengkramannya cukup kuat hingga Vanya meringis kesakitan. Tapi Albara tak peduli, akal sehatnya sudah ia buang jauh, yang ia inginkan sekarang hanyalah Vanya percaya padanya lalu menjauhi Rafael, dan Albara dapat merebut Vanya saat itu juga.

“APA SUSAHNYA SIH PERCAYA SAMA AKU?! KENAPA MALAH MILIH SI BRENGSEK ITU?! JELAS AKU LEBIH BAIK DARI DIA.”

Vanya amat terkejut dengan suara Albara yang tiba-tiba meninggi, meneriakinya seakan ia orang paling bersalah.

“Emang apa kurangnya aku sih Van? Apa lebihnya si bajingan daripada aku? AKU SAYANG VAN SAMA KAMU, NGERTI GAK SIH?!”

Serba salah posisi Vanya saat ini, jika ia pergi bisa saja Albara menjadi lebih marah, jika ia diam bisa saja Albara melakukan hal-hal yang tak diinginkan.

“Pe-perasaan tuh gak bisa dipaksa, Bar. Kamu suka sama aku, aku hargai, tapi aku suka sama Rafael dan kamu harus menghargai itu juga,” sebisa mungkin Vanya berucap seperti segalanya baik-baik saja.

Albara mendecih, ia maju mendekati Vanya, Vanya jelas mundur karena ia benar-benar takut sekarang.

“Ngehargain apanya Van? Aku ngomong aja kamu gak percaya padahal aku udah berusaha buat jauhin kamu dari orang brengsek, aku coba selamatin kamu tapi balesan kamu kayak gini?”

“Aku gak pernah minta itu semua dari kamu, Bar.”

“TAPI AKU NGELAKUIN SEMUANYA DEMI KAMU, VAN!”

Hening seketika menyergap kala teriakan dari Albara diiringi tangannya yang melayang ke arah pipi sang pujaan hati.

Vanya terdiam, jelas terkejut dengan kejadian yang tak pernah ia duga akan terjadi saat ini juga. Pipinya berdenyut nyeri, pun dengan hatinya.

Albara menatapnya masih dengan emosi, namun tangannya bergetar hebat. “A-aku ngelakuin ini karena salah kamu sendiri!”

Tanpa berkata apapun, Vanya berbalik pergi, meninggalkan Albara dengan sedikit perasaan bersalah. Meskipun ia sudah keterlaluan pada Vanya, ia masih menganggap kalau Vanya lah yang salah disini. “JANGAN HARAP KAMU BISA TENANG SETELAH INI, VAN!”

Vanya masuk ke dalam kamarnya diam-diam, takut kalau orang tuanya menyadari luka memerah yang berada pada pipinya. Menangislah ia disana, perihnya masih terus terasa ditambah lagi air mata yang mengalir melewatinya. Ia mengompres lukanya sendiri lalu pergi tidur karena merasa hari ini begitu panjang.

Keesokan harinya, Vanya menceritakan apa yang dialaminya tadi malam karena Rafael menyadari pipinya yang memerah daripada biasanya. Seperti yang sudah diduganya, Rafael marah besar.

Kalau tidak Vanya tahan, mungkin Rafael bisa memukul Albara saat itu juga dimana teman-temannya masih berada di dalam kelas.

Sepulang sekolah, keduanya berjalan bersama seperti biasa. Dalam kepalanya, Rafael memikirkan banyak kemungkinan agar kejadian yang menimpa Vanya semalam tak terulang lagi.

“Van, jadi pacar aku?”

Vanya menghentikan langkahnya, ia terkekeh mengira Rafael tengah bercanda. “Gak usah bercanda, Raf.”

“Aku gak bercanda, Van. Jadi pacar aku please, supaya aku bisa lebih jagain kamu dari sebelumnya, supaya kamu lebih aman, supaya Albara gak berani lagi sama kamu. Dan yang paling penting, supaya perasaan aku juga tenang.”

“Dijawabnya boleh nanti?”

“Sekarang.”

Karena tak enak untuk melawan ucapan Rafael, Vanya berpikir sematang mungkin dalam waktu sesingkat mungkin.

“Iya, aku mau.”

Senyum terbit di wajah sang lelaki, kemudian ia membuka lengannya agar Vanya bisa masuk ke pelukannya. Awalnya, Vanya ragu, tapi kemudian dengan malu-malu ia berhambur kedalam pelukan pacar barunya itu.