perasaan


Derit pintu yang dibuka membuat Suna yang semula berbaring membelakangi berusaha menoleh demi melihat siapa yang baru saja masuk ke kamarnya.

Di detik berikutnya, kedua matanya membulat terkejut. Ia berusaha mengubah posisi menjadi duduk dengan susah payah, rintihan-rintihan kecil keluar dari mulutnya.

Kamu tak berusaha menghentikannya, hanya terus berjalan sampai berada persis di sebelah kasurnya.

Suna melemparkan senyumnya. “Gue seneng lo dateng kesini” ujarnya.

Tak menggubris pertanyaannya, kamu menyimpan buah tangan yang kamu bawa di atas nakas dekat ranjang milik Suna dan berbalik pergi begitu saja.

“Bentar,” Suna sedikit berteriak. “Kok pergi? Lo marah?”

“Kenapa gue harus marah? Yang berantem kan lo, gue gak ada hak juga.”

Suna menarik senyum simpul, memandang punggungmu yang entah kenapa terlihat lebih lesu dari biasanya.

“Gue suka lo marah, lo gak perlu hak untuk itu. Khusus buat lo gratis tanpa hak.”

Kamu menoleh sedikit hanya untuk menemukan Suna dan ekspresi menyebalkannya. “Kok ada orang yang suka dimarahin, aneh.”

“Ada, gue. Tapi cuma buat lo sama bunda aja, itu pun kalo gue emang bener-bener salah. Kayak sekarang gini nih, lo marah berarti lo khawatir kan?”

Telak. Ucapan Suna tepat sasaran, hangat perlahan menjalar ke wajahmu, meninggalkan rona merah tipis di kedua pipi.

Kunimi benar, Suna juga benar, kamu memang sangat khawatir sampai-sampai kamu marah pada Suna.

“Kata bunda, kalo bunda marah tandanya sayang. Lo marah tandanya sayang juga ga?”

Rasanya kamu ingin berteriak di depan wajah menyebalkannya untuk berhenti melontarkan kalimat-kalimat yang bisa membuat wajahmu semakin memerah padam.

“Bibir lo sobek aja masih banyak bacot, heran.”

Suna terkekeh renyah. “Gak banyak bacot kalo udah dikasih vitamin c.”

Kamu menaikan alis, bertanya apa maksudnya. “Vitamin cium.” ujarnya.

“Gue balik.”

“EH JANGAN, GUE BERCANDA DOANG MAAFIN,” teriak Suna. “Sini dong jangan deket-deket mulu ama pintu, gue takut lo pulang” pintanya kemudian.

Kamu berdecak, berbalik arah kemudian berdiri tepat di depan Suna yang duduk disisi kasurnya. “Tiduran lagi sana, kepala lo gak sakit apa?”

Suna menepuk sisi kasurnya yang kini kosong karena ia menuruti ucapanmu untuk berbaring. “Duduk sini” katanya.

“Gue gak mau nanya lo kok bisa jadi bonyok gini soalnya nanti makin kesel.”

Suna tertawa, “jujur banget. Iya gak apa-apa nanti aja nanyanya kalo udah gak kesel.”

“Udah diobatin kan pasti? Soalnya gue gak bisa ngobatin orang yang lukanya separah ini.”

“Udah kok. Lo gak perlu ngobatin sih, temenin gue aja. Sama gue mau minta sesuatu.”

“Apaan? Jangan susah-susah, jangan mahal-mahal.”

“Ngga lah. Gue cuma mau minta lo jangan marah dulu sampe gue sembuh. Kita baikan dulu, nanti pas gue sembuh baru boleh marah kalau lo mau.”

Kamu pernah berpikir, Suna ini pemuda yang aneh. Ucapan dan tingkah lakunya kadang sukses membuatmu menggelengkan kepala heran, ia orang yang sulit ditebak jalan pikirannya.

“Kenapa mesti ditunda sampe lo sembuh?”

“Gak kenapa-napa sih, kan gue lagi sakit, masa marahan, ga seru dong. Ntar lo gak mau nemenin gue.”

Karena tak mau berdebat dengan Suna, kamu hanya mengangguk mengiyakan. Kalo dipikir lagi kasihan juga Suna sedang luka-luka begini malah dimarahi.

Setelahnya berbagai macam topik obrolan tercipta, mengalir dari yang satu ke yang lainnya. Membahas berbagai macam hal, berbagi pendapat dan juga tawa.

Rasa nyaman menjalari hati kalian berdua, bersemayam di sana mungkin untuk waktu yang lama tanpa kalian sadari sepenuhnya.

Suna tak hentinya menarik senyum ketika melihat wajahmu. Bukannya kamu tak sadar, hanya saja kamu takut kegeeran. Malu juga sih.

“Ngapain senyam-senyum mulu sih?” Akhirnya kamu memberanikan diri untuk bertanya.

“Karena lo.”

Kamu memalingkan wajah ke arah lain, agak menyesali keputusanmu untuk bertanya. Sementara Suna justru terkekeh senang melihatmu salah tingkah.

“Kayaknya gue udah suka sama lo.”

“Hah?”

“Bukan 'kayaknya' sih tapi emang udah suka sama lo. Dari kemarin lusa gue tuh udah ngerasa agak aneh terus gue searching tanda-tanda orang jatuh cinta, dan semua tandanya memang gue alamin. Kemarin masih mikir-mikir tapi sekarang gue yakin kalo gue emang udah suka sama lo.”

“Kok bisa...?”

Suna berusaha merubah posisinya menjadi duduk di sebelahmu, menatapmu lurus tak lupa senyum tipisnya yang hangat.

“Perasaan itu susah buat dijelasin, kadang gak jelas datangnya. Namanya juga perasaan kan? Ya berarti cuma bisa dirasain. Gue gak bisa jawab pertanyaan lo, tapi gue bisa ngerasain kalo gue emang punya perasaan sama lo.”