Ran


Kamu dan Suna berjalan beriringan menuju parkiran dimana motor Suna berada. Hari ini kalian akan main ke rumah Suna untuk bertemu adiknya, seperti yang sudah dibicarakan semalam.

“Panas gak jok nya? Kalo panas ademin dulu aja baru kita berangkat.” Suna menoleh ke belakang, memastikan.

“Kayaknya ngga Sun, kan lo parkirnya dibawah pohon juga jadinya ketutupan.” Kamu duduk di jok di belakang Suna.

Suna melajukan motornya membelah jalanan ramai sore hari. Sebelum ke rumahnya, dengan sedikit paksaan akhirnya ia mau diajak membeli beberapa jajanan untuk adiknya Suna karena Suna bilang adiknya suka sekali ngemil tapi bersikeras tak mau kamu membawakan sesuatu untuknya.

“Dih lo mah ngehalangin orang berbuat baik, gak boleh tau.”

“Gak ngehalangin, gue cuma gak mau ngerepotin lo.”

Kamu mendelik. “Kan gue yang mau, gak ngerepotin lah.”

Suna akhirnya pasrah saja mengikutimu menuju kasir. “Sini gue aja yang bayar.” Suna menawarkan diri.

“Gue yang mau beliin, bukan lo. Jangan sampe kita berantem di tempat umum gini cuma gegara siapa yang bayar ya.”

Lagi, Suna pasrah.

Setelahnya kalian langsung tancap gas menuju rumah Suna yang kebetulan tidak terlalu jauh jaraknya dari supermarket.

Kalau boleh jujur, kamu sedikit gugup akan bertemu adiknya Suna. Kamu bukannya benci dengan anak kecil, pun kaku atau canggung. Tapi tidak juga cepat akrab. Biasa-biasa saja.

Namun terakhir kali kamu berinteraksi dengan anak kecil–dengan keponakanmu di bulan lalu, kamu membuatnya menangis kencang. Semoga tidak ada apa-apa antara kamu dan adik Suna.

“ABAANGGG KOK SORE SORE SIH PULANGNYA?”

Baru saja kalian turun, langsung disambut seorang gadis kecil yang berlari keluar rumah seraya berteriak lalu memeluk lelaki tinggi yang dipanggilnya abang.

“Biasanya juga sore, kamu aja gak tau. Ngomong-ngomong, abang dateng sama temen loh.” Ujar Suna seraya menunjukmu yang berdiri di sebelahnya.

Netra yang senada dengan Suna namun terlihat lebih besar dan berbinar itu menatapmu bingung. Sedetik kemudian ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. “Ya ampun ada temen abang, aku malu teriak-teriak tadi.”

Kamu yang merasa lucu karena tingkahnya kemudian berjongkok dan mengulurkan tangan lalu memperkenalkan dirimu. “Kalo kamu namanya siapa? Cantik banget.”

Adiknya Suna membalas jabatan tanganmu diiringi senyum lebarnya. “Nama aku Ran! Makasih ya udah bilang aku cantik, kakak juga cantik banget!”

“Kakaknya gak disuruh masuk? Pegel tau jongkok gitu. Ran gimana sih..”

“Oh iya abang bener! Kakak ayok masuk!”

Ran menarikmu masuk kedalam dengan Suna yang mengikuti dari belakang dengan beberapa kresek belanjaan.

Baru beberapa menit saling mengenal, kalian sudah terlihat sangat akrab. Ran adalah anak yang aktif dan ceria, berbagai tingkah gemasnya sukses membuatmu terus tersenyum dan tertawa.

Gadis kecil itu menunjukan berbagai koleksi mainan kesayangannya, koleksi film-film kartunnya, dan bercerita mengenai teman-teman dekatnya, membuat suasana menjadi ramai dan hangat.

“Oh iya Ran, bunda mana?” Tanya Suna setelah mengganti pakaiannya.

“Ngga tau tuh, tadi Ran denger bunda mau ke rumah pak ugh siapa ya pak rt atau pak rw?”

“Lah gak tau, kok nanya abang?”

Ran memasang gestur berpikir. “Ran lupa, kakak tau bunda kemana? pak rt atau pak rw?” Tanyanya padamu.

Kamu menggeleng seraya tertawa. “Ngga tau Ran, kan kakak tadi dateng bareng abang Rin.”

“Oh iya... Aduh Ran lupa. Abang cari aja deh, biar kakak disini sama aku.”

“Dih ngusir... abang juga mau ikutan main dong.”

Ran menepis tangan Suna yang hendak mengambil mainannya. “Ngga boleh! Abang gak boleh ganggu aku main sama kakak. Abang main sama ikan aja di belakang.”

“Ran kok gitu sih sama abang? Gak akan abang bacain cerita lagi kalo Ran susah bobo.” Suna menjulurkan lidahnya, (pura-pura) mengancam.

Ran merapatkan tubuhnya padamu. “Biarin aja Ran minta kakak yang bacain ceritanya, gak akan minta abang Rin lagi!”

“Kakaknya mau emang? Lagian kalo malem kan pulang.”

“Kakak beneran pulang? Ngga akan bobo bareng sama Ran disini?” Tanya Ran setelah mendengar ucapan Suna.

Kamu mengangguk. Ran kemudian memelukmu erat, tak mau kamu pergi kemanapun. “Kenapa kakak pulang? Ran nakal ya? Atau abang Rin yang nakal? Ran janji ngga akan nakal, nanti Ran bilang abang Rin juga supaya ngga nakal tapi kakak jangan pulang ya?” Bujuknya.

Kamu tak bisa menahan kegemasan. Kamu membalas pelukan gadis kecil dengan rambut sebahu itu kemudian menepuk puncak kepalanya lembut.

“Ran ngga nakal kok, Ran baik banget! Tapi kakak harus pulang kalo udah malem nanti dicariin mama.”

Ran melepaskan pelukannya kemudian menghampiri Suna. “Abang bilang sama mamanya kakak supaya ngga cariin kakak. Nanti
Ran jagain kakak, janji.”

Suna menatapmu yang terkekeh, ia kemudian mengelus puncak kepala adiknya. “Gak bisa, abang belum bisa izin mamanya kakak supaya gak cariin kakak.”

“Loh kenapa emangnya bang?”

“Soalnya belum jadi pacar.”

Kamu otomatis memelototinya, bisa-bisanya ia mengatakan hal itu di depan adiknya.

“Yaudah kalo gitu abang Rin sama kakak pacaran aja sekarang.”

Suna mencubit hidung Ran gemas. “Gampang banget ya nyuruh pacaran kayak nyuruh kentut.”

Ran mencebik, ia kembali menghampirimu dan mengajakmu pergi ke kamarnya. “Yaudah ngga papa kakak pulang nanti malem tapi sekarang main sama Ran sepuasnya yaa?”

Jelas kamu tak bisa menolak, tak berniat menolak juga sih. Kemudian kamu dan Ran bermain di kamarnya sampai lupa akan sekitar. Lupa waktu, lupa akan eksistensi Suna juga.

Ketukan terdengar, disusul suara lembut bundanya Suna. “Ran, makan malem dulu yuk. Ajak kakaknya sekalian, jangan main terus.”

Kamu menyalami bundanya Suna setelah membuka pintu. “Bunda maaf ya aku ngerepotin.” Ujarmu seraya tersenyum.

Bundanya Suna mengelus puncak kepalamu lembut. “Ngga apa-apa kok, justru bunda minta maaf kamu mesti direpotin sama anak-anak bunda.”

Kamu lanjut mengobrol dengan bunda Suna sambil turun menuju meja makan. Ran sudah berlari turun duluan sejak tadi, Suna juga sudah ada disana, ayahnya Suna? Sedang ada pekerjaan.

Makan malam kali ini didominasi dengan perdebatan adik-kakak Rin dan Ran serta cerita Ran mengenai dirimu.

Selepas makan malam, kalian bertiga duduk di ruang tamu untuk menonton kartun pilihan Ran. Ia duduk di sebelah kirimu dengan mata fokus ke televisi.

“Main sama adiknya sampe lupa sama abangnya.” Sindir Suna yang duduk di sebelah kananmu.

“Ngapain juga inget abangnya.”

Suna mencebik kesal. Wajah ngambeknya tak kalah gemas dengan wajahnya Ran. Kamu curiga kalau sebenarnya Suna dan Ran itu seumuran.

“Mau balik kapan? Nanti kemaleman, dicariin mama gak?”

Kamu menggeleng. “Gue udah ngabarin kok. Bentaran lagi aja.”

Tiba-tiba Suna tertawa membuatmu menatapnya horror. “Dih kenapa lo? Masih waras?”

“Waras banget. Gue cuma ngerasa kita kayak keluarga bahagia yang lagi ngabisin family time.”

Kamu mendelik malas kemudian mencubit pinggang Suna sampai membuat si surai coklat mengaduh kesakitan. “Family time family time, urusin noh remedial lo.”

“IH GAK USAH DIINGETIN JUGA KALI.”

“ABANG JANGAN BERISIK!”

Pengalaman pertama bertemu dengan adiknya Suna, tidak buruk juga–jauh dari kata buruk malah. Kamu diam-diam tersenyum senang, menyenangkan sekali dapat berbaur dengan keluarga Suna meskipun baru bunda dan adiknya.