Salah paham
“Ya tapi semuanya salah paham bu!” Nadi meninggikan nada suaranya tanpa sadar. Nata yang duduk di sisi kanannya berusaha menenangkan dengan mengelus punggungnya halus. Sementara Windu yang duduk bersebrangan dengannya hanya menatap pada guru bimbingan konseling mereka lurus.
“Salah paham bagaimana? Ada buktinya, temanmu sendiri yang memposting. Kalian ini sudah kelas 12, minggu depan bahkan sudah ujian sekolah, benar-benar sedikit lagi menuju kelulusan. Tolong jangan berbuat macam-macam karena kalian sendiri yang akan rugi.”
Nadi menghela nafasnya panjang, kesal dengan gurunya yang enggan percaya bahwa semuanya hanyalah salah paham. Mereka malah mendapat ceramah panjang sejak tadi, bukan penyelesaian.
“Ibu akan panggil orang tua kalian. Kalian tidak akan kena hukuman selain pengarahan kepada orang tua saja karena kalian akan menjalani ujian jadi kami beri keringanan.”
“Bu saya bisa jamin sendiri kalau itu semua salah paham. Kami tidak minum minuman keras. Saat itu kami benar-benar hanya belajar saja, yang dimaksud Windu di tweet nya juga adalah minum dalam arti literal bukan mabuk. Di rumah saya saat itu juga ada orang tua saya jadi tidak mungkin kami mabuk.” Nata memberi pembelaan.
Wanita paruh baya itu nampak tidak peduli dengan ucapan Nata. Ia seperti sibuk membuat surat untuk diberikan pada orang tua mereka. Sementara Nadi dan Windu berusaha menahan emosinya, Nata masih mencoba menghubungi orang rumahnya untuk memberi kesaksian.
Setelah beberapa kali percobaan, tepat ketika guru mereka memberikan surat, akhirnya Mami Nata mengangkat teleponnya dan berbicara pada sang guru.
“Baik kalau begitu kalian boleh pergi. Ingat selalu bahwa jejak digital itu dapat membahayakan diri kalian sendiri, kalian harus lebih bijak dalam menggunakan sosial media.” Ujar sang guru ketika selesai berbincang dengan Mami nya Nata. Mereka akhirnya pamit untuk keluar ruangan.
Nata menggenggam tangan Nadi yang mengepal dengan kesal. “Di, udah, kan udah clear.” Sementara Windu menatap kedua temannya menyesal. Ia yang menyebabkan semua ini.
“Sorry guys. Gue beneran gak tau kalo bakal jadi salah paham gini. Maaf banget bikin kalian keseret dan hampir bahayain kalian padahal sebentar lagi kita ujian. Gue minta maaf.”
Nadi menepuk pundak temannya sementara Nata tersenyum, seakan mengatakan bahwa ia maupun Nadi baik-baik saja sebab semuanya merupakan kesalahpahaman, bukan benar-benar salahnya Windu. Nata pamit bersama Nadi untuk kembali ke kelas terlebih dahulu sementara Windu memisahkan diri.
Belum terlalu jauh dari ruang BK, ia bertemu dengan sosok yang belakangan mampir di pikirannya sebab pesannya tak kunjung mendapat balasan. Tanpa pikir panjang, Windu menghampiri, membuat langkahnya beserta temannya otomatis terhenti.
“Sea gue mau ngomong.” Katanya tanpa basa-basi. Faasha yang merasa tahu betul bagaimana Windu di mata Sea segera pasang badan. “Mau ngapain kak?” tanyanya ketus.
Windu menatap Faasha datar. “Mau ngobrol sama temen lo.” Yang jelas ditolak Faasha mentah-mentah. Ia menarik Sea untuk pergi dari situ namun Windu menghadang mereka. Ia sedikit menarik tangan Sea agar ikut bersamanya. “Sebentar doang.”
Faasha menepis tangan Windu. “Gak gue izinin. Lo tau gak kak kalo temen gue keganggu sama lo? Mending lo jauh-jauh sebelum gue laporin ke BK kalo lo gangguin temen gue. Eh atau lo ini dari BK? Yang kasus mabok itu?” ujar Faasha sarkas.
Sea menatap Faasha dan Windu bergantian. Ia tidak enak dengan Windu karena ucapan Faasha yang terkesan sedikit jahat. “Kak sorry-
“Gak usah sorry-sorry segala Se, yang bikin lo gak nyaman kan dia. Dah yuk pergi aja.” Setelahnya Faasha benar-benar membawa Sea pergi dari hadapan Windu.
Windu masih mematung di tempat yang sama. Ia tak menyangka bahwa kesalahpahaman yang baru saja ia selesaikan tadi sudah tersebar bahkan sampai ke telinga Sea. Apalagi terakhir kali ia mengirim pesan kepada Sea yang dapat memperkuat kesalahpahaman tersebut, meskipun Windu sudah menjelaskan namun Sea belum membalas sama sekali, bahkan dibaca saja belum.