satu hari lagi

“Kang Jogo gajadi dateng?”

Jian bertanya sambil duduk di sebelah Theo yang tengah mengunyah biskuit kongcuan.

“Gajadi. Katanya mau munggahan berdua aja sama Teh Hanami di rumah”

“Kang Jogo sama Teh Hanami tuh romantis banget ga sih?” Raya tiba-tiba masuk kedalam pembicaraan mereka.

Jian dan Theo mengangguk setuju. Pembicaraan berlanjut dengan topik betapa romantisnya kisah Kang Jogo dan Teh Hanami

Fyi, Kang Jogo dan Teh Hanami adalah pemilik warung pengkolan yang menjadi tempat favorit warga komplek Jejeka.

Semua penghuni komplek Jejeka sudah berkumpul di rumah Jojo sejak satu jam yang lalu namun mereka masih sibuk berbincang satu sama lain.

Perkumpulan bapak-bapak tengah memperdebatkan sarung yang dibawa Naren.

“Laki disini cuma 10 ren, lo ngapa bawa sarungnya selusin? Kelebihan duit kah?” Tanya Jio yang terlihat paling keheranan.

Padahal hanya sarung, apanya yang harus dibawa heran.

“Gatau anjir, anak gue yang beli. Tadi gue cuma ngasih duitnya doang”

“Yaudah sih Ji syukuri aja kan Naren dah berniat baik”

Jojo yang sedari tadi diam akhirnya buka suara. “Dengerin noh si Gino. Lumayan anjir 2 sisanya bisa dipake buat main sambit-sambitan sarung”

“Atau buat nyambit pak ustad. Ustad di komplek sebelah kayaknya lumayan asik buat dijailin”

Tolong jangan ditiru, adegan penuh dosa.

Sementara para remaja–kecuali Jian, Theo, dan Raya yang sibuk dengan topik Kang Jogo Teh Hanami–duduk melingkar dengan kartu uno di tengahnya.

“Ini boleh ga sih main kartu? Mana besok puasa” Tanya Yoan yang sedari tadi ragu.

Gemintang mengeluarkan satu kartu +2 sebelum menimpali “Boleh kali, kan kita ga judi”

Setelahnya Karel mengeluarkan kartu +2. Lalu Lintang dan Bintang masing-masing mengeluarkan +4, terakhir Yoan dengan +4.

“ARGHHH KARTUNYA KENAPA PILIH KASIH KE GUE??!” pekik Sian frustasi.

Sedari tadi ia cemas, semuanya mengeluarkan kartu plus sementara ia tak punya.

“HAHAHAHA AMBIL 16”

Sian melotot ke arah Gemintang, “GARA-GARA LO”

Gemintang mengedikan bahunya tak peduli. “Lo aja yang kartunya jelek”

Mendengar keributan itu, Raya, Jian, dan Theo akhirnya bergabung.

“Lagi judi? Asik join dong”

Celetukan asal dari Theo mendapat satu jitakan dari sang abang.

“Becanda bang, pis lov en gawl”

Akhirnya mereka sepakat untuk mengulang permainan karena ada tiga orang yang baru bergabung.

“Liat aja gue yang selanjutnya bakalan menang, ga akan terjebak kartu plus lagi”

“Iye udah gausah banyak bacot. Kalo kalah ntar nangis”

Sian hampir menyambit kepala adiknya jika tidak ditahan oleh Karel dan Yoan.

Namun belum sampai lima menit, suara teriakan Jojo membuat mereka terpaksa menghentikan permainan.

“WOY ANAK-ANAK UDAHAN JUDINYA, SINI MAKAN DULU”


Acara makan-makan berjalan dengan lancar. Semuanya habis dalam waktu singkat, maklum belum makan dari pagi.

Sekarang mereka kembali bersantai dengan minuman dingin di tangan masing-masing.

“Ini kita ga akan maaf-maafan?” Celetuk Jian.

“Lah ngapain? Kan besok puasa bukan lebaran”

“Kalian yang banyak salah ke Jojo cepet minta maaf mumpung terakhiran sebelum dia diiket”

Naren hampir kena lempar gelas kaca oleh Jojo, untung Aimee sudah lebih dulu memelototinya.

Tiba-tiba Karel bangkit dari duduknya, menyalami satu-satu para orang tua, berlanjut pada teman-temannya.

Melihat hal itu, secara spontan satu persatu dari mereka melakukan hal serupa.

Suasana berubah sedikit serius–ya lumayan serius di awal walau pada akhirnya tetap saja ada yang berulah.

“Minta maaf sekarang, biar besok berulahnya berkah”

“Iya dimaafin. Biar besok bisa jailin kalian lagi”

“Maaf-maafan gini kayak mau pulang ke rahmatullah ya”

Oknum-oknum perusak suasana diatas mendapat sambitan dari sendal jepit yang entah sejak kapan ada disana.

Munggahan hari ini ditutup dengan mereka pergi bersama ke masjid besar di komplek sebelah untuk solat berjamaah+tarawih.