selamat jalan


Ketika teman-teman Semi masuk ke rumah Suna, mereka mendapati Semi tengah duduk menatap kosong pada layar tv yang mati. Namun tangannya bergetar hebat.

“Eita” mereka langsung menghampiri, duduk di sebelah Semi dengan raut wajah khawatir.

Semi tidak menangis, tidak juga bereaksi berlebihan seperti di chat tadi. Ia hanya terdiam dengan pandangan kosong namun tubuhnya bergetar.

“Ta minum, lo tenang ya?” Kuroo memberikan segelas air minum yang baru diambilkan oleh Atsumu.

Hanya hening yang ada diantara mereka, tak satupun yang berani angkat bicara. Mereka ikut merasa sakit ketika melihat Semi bahkan tak bisa bereaksi apapun selain diam.

Melihatnya diam seperti kehilangan separuh jiwanya jauh lebih menyakitkan. Lebih baik Semi menangis meluapkan emosinya, setidaknya lebih melegakan bagi mereka.

Kuroo kemudian merangkul Semi, masih tak berbicara. Tangan Semi perlahan-lahan meremat baju Kuroo–menyalurkan rasa sakitnya yang terlampau menyesakkan.

Oikawa merasa ingin menangis, rasanya ia dapat mengerti bagaimana perasaan Semi hancur lebur karena orang yang disukainya menghabisi nyawanya sendiri pada hari dimana Semi akan menjadikannya kekasih.

Malam itu habis oleh keheningan, dengan mereka yang tetap di sisi Semi meski tak sepatah kata keluar dari bibirnya atau sebulir air mata dari kedua matanya.


“Bang Ukai, yang ngurus ini semua abang?” Tanya Atsumu pada Ukai.

Ukai mengangguk. “Memangnya keluarganya mana?” Tanya Ushijima.

“Dia ga punya keluarga. Rin ga pernah cerita detailnya ke gue sih, jadi ya satu-satunya yang dia punya disini cuma gue” katanya dengan senyum miris. “Oh sama dia juga, akhir-akhir ini sering nemenin Rin” tunjuknya pada Semi yang tengah berdiri di sisi peti mati Suna.

Semi menatap nanar jasad Suna di hadapannya. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa, karena setelah melihatnya langsung ternyata rasa sakit yang dirasakannya tadi malam semakin menyesakkan.

Akhirnya ia terduduk, memaksakan senyumnya menatap Suna yang tak lagi bernafas. “Rin” panggilnya seraya mengambil tangan Suna, suaranya serak menahan tangis.

Digenggamnya tangan itu dengan lembut. “Rin. Lo kok pergi? Padahal kemarin gue mau nembak lo. Lo tau? Gue-

Tangan Semi bergetar, ia menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Air matanya turun, lama kelamaan semakin deras sampai akhirnya ia tak dapat menahannya lagi. Kata-katanya tak keluar, hanya suara tangisan yang terdengar.

“Rin” Semi memaksakan senyumnya untuk menatap wajah Suna. “Yang tenang ya lo disana. Gue bakal terus disini, bakal terus sayang sama lo sampai kapanpun. Jangan sedih lagi, lo harus bahagia sekarang” katanya lalu mencium punggung tangan Suna penuh kasih sayang, menyalurkan segala perasaannya selama ini dan mencoba mengikhlaskannya pergi.

Setelah melepaskan tangannya, Semi memeluk badan Suna sebentar lalu mencium keningnya cukup lama. “Rest in peace, Rin”