sependeritaan


Suna berjalan tergopoh memasuki area sekolah, kondisi tubuhnya jauh lebih parah dari sebelumnya namun ia memilih untuk tetap pergi sekolah karena merasa bosan jika harus diam saja di rumah.

Guru kesiswaan sudah berdiri di ujung koridor dengan kedua tangan disilangkan di depan dada. Suna menunjukan cengiran lebarnya kala ia sampai di depan sang guru.

“Telat lagi kamu-

Belum selesai ia berucap, kedatangan satu orang lainnya menyita perhatian Suna dan Pak Susanto.

“Maaf pak saya terlambat” suara yang sangat Suna kenali itu terdengar lebih lemas dari biasanya membuat lelaki bersurai coklat itu sedikit melirik karena penasaran.

“Kalian berdua ini rekor telatnya parah sekali, tau? Siswa lain telat hanya sepuluh sampai tiga puluh menit, kalian telat sampai dua jam, saya heran kenapa kalian masih bisa masuk kedalam”

Suna dan Semi tak berniat menimpali, keduanya hanya menunduk dalam mendengar ucapan Pak Susanto yang setengah memarahi setengah menasihati.

“Saya sampe bingung hukuman apalagi yang harus saya kasih untuk kalian”

“Gak usah dihukum aja pak kalau bingung” celetukan Suna mendapat tatapan tajam dari guru yang termasuk jajaran guru senior itu.

“Kalian bereskan gudang saja, abis itu hormat ke bendera sampai istirahat kedua, setelah istirahat kedua baru boleh bergabung ke kelas”

Suna hendak mengajukan protes ketika Pak Susanto langsung berbalik pergi, tanda bahwa hukumannya–yang menurut Suna terlalu banyak–itu mutlak dilakukan.

“Mau tanggung jawab sama hukuman lo atau gue aja yang ngerjain?”

“Eh gue juga mau tanggung jawab kak”

“Makanya cepet gausah kebanyakan misuh, gak capek apa” setelah berujar demikian, Semi berjalan lebih dulu meninggalkan Suna yang menghela nafasnya panjang, nasib punya gebetan jutek.

Kondisi gudang belakang tidak bisa dibilang bersih namun juga tidak sekotor itu karena penjaga masih rutin membersihkannya beberapa minggu sekali, meski tidak sering setidaknya tidak seterbengkalai taman belakang.

Persis seperti momen dihukum sebelumnya, keduanya hanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing tanpa adanya sepatah atau dua patah kata sebagai susunan dialog.

Mungkin selain suara sapu atau benda yang bergesek dan digeser, yang terdengar hanya suara rintihan keduanya.

Mereka sama-sama baru menerima luka baru dengan penyebab yang berbeda, makanya pergerakan mereka sedikit terbatas, hal itu juga yang menjadi alasan mereka terlambat datang ke sekolah.

Setelah semuanya selesai, Suna memilih untuk bersandar di tembok samping pintu seraya memainkan ponselnya sementara Semi duduk tak jauh dari Suna sambil memeluk gagang sapunya.

“Lo kenapa bisa luka-luka kayak gitu?”

Perhatiannya langsung teralihkan pada sang kakak kelas yang akhirnya mengajaknya bicara duluan dengan nada suara biasa–tidak terdengar sinis.

“Gue dipukulin” timpal Suna kemudian terkekeh. “Sama lelaki brengsek yang sialnya berarti banget buat gue”

Semi menoleh terkejut, ia tak menyangka jawaban seperti itu yang keluar dari belah bibir si surai coklat. “Lo juga dipukulin sama ayah lo?” Tanya Semi.

“Gue juga. Ternyata kita sama ya? Gue kira selama ini lo bonyok karena tawuran, orang-orang juga ngiranya gue sering luka-luka karena berantem, padahal mereka salah ya” satu kekehan lepas dari sang kakak kelas, membuat Suna yang tengah kebingungan semakin kebingungan.

Bukan, bukan begitu maksudnya, Suna rasa Semi salah paham disini. Baru saja ia membuka bibir untuk bicara, suara Semi sudah lebih dahulu terdengar.

“Kalo gitu mau temenan? Itung-itung temen sependeritaan, sama-sama korban kekerasan ayah? hahaha”

Suna ingin, ingin sekali meluruskan bahwa maksud kalimatnya tadi bukan begitu. Namun mendengar ajakan Semi untuk berteman membuatnya berpikir ulang.

Ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih dekat pada sang pujaan hati, selama ini ia menunggu momen seperti ini datang, dan kali ini sudah datang berarti tak boleh disia-siakan. Lagipula, kapan lagi Semi mengajaknya berteman dengan ramah begini.

“I-iya, gapapa emangnya kak?”

“Hahaha ya gapapa? Kalo gitu mulai sekarang kita temenan kan ya? Gue minta nomor lo, boleh?”

Nanti akan Suna jelaskan tentang fakta sebenarnya. Untuk saat ini, biarkan ia berpura-pura demi kebaikannya sendiri, demi bisa dekat dengan Semi Eita yang dikaguminya sejak lama.

“Boleh” Suna menerima ponsel Semi dan mengetikan nomornya disana.

Setelahnya mereka saling melempar senyum yang tanpa sadar membuat luka di masing-masing sudut bibir mereka berteriak kesakitan, kemudian kekehan ringan mengudara ketika desisan sakit terdengar serempak dari Semi dan Suna.