SHORT AU SPECIAL: “BIRTHDAY PARTY” PART 1,5.
“Kalian duluan aja baliknya, gue mau ke ruang osis dulu. Lupa kemarin ninggalin novel disana.”
“Yaudah kita duluan ya.”
Kamu melambaikan tangan kepada teman-temanmu yang berjalan berlawanan arah denganmu. Sekolah sudah sepi karena para siswa telah pulang beberapa jam lalu, kamu sendiri baru selesai kerja kelompok di kelas.
Pintu ruang osis tidak tertutup rapat, membuatmu memicing curiga karena seingatmu kemarin kamu telah menguncinya dengan benar.
Kakimu melangkah masuk, seketika disambut sesosok orang yang sangat enggan kamu temui sedang memainkan ponselnya seraya menumpu dagunya diatas meja.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, kamu berjalan mendekat karena posisi novelmu ada diatas meja, segera mengambilnya kemudian berbalik pergi.
“Kenapa?” Kamu hampir sampai di depan pintu kala suara Futakuchi mengudara.
“Apaan? Kalo ngomong yang jelas, gue bukan cenayang yang bisa ngeramal maksud omongan lo.” ketusmu tanpa berbalik.
Futakuchi menyimpan ponselnya kemudian berdiri bersandar pada meja dengan dua tangan dimasukan kedalam saku celana. “Kenapa lo semua semarah itu sama gue? Apa salah gue ngungkapin pemikiran gue? Gue cuma mencoba jujur.”
Mendengar ucapannya entah kenapa kamu merasa marah. Kamu pun berbalik, berdiri tepat di hadapannya.
“Salah banget banget. Lo ngeremehin dan ngerendahin usaha kita, lo sama sekali gak menghargai apa yang udah kita buat. Pemikiran lo itu, busuk.”
“Tiap orang punya pemikiran masing-masing kan? Daripada gue pura-pura nerima dan seneng sama apa yang udah kalian buat, mendingan gue berpendapat sejujur-jujurnya, at least gue gak munafik.”
Hening sempat menguasai suasana, sebelum kamu kembali angkat suara. “Lo tau cara ngehargain orang gak? Oke kalo emang niat lo mau jujur tapi apa harus nyampeinnya pake kata-kata yang bikin sakit hati? Masih banyak kok pemilihan kata lain yang lebih enak didenger, atau sedikitnya coba berterima kasih, itupun kalo lo tau caranya.”
“Gue kan gak pernah minta dibuatin birthday party atau surprise dan semacamnya, kalian yang ngerencanain sendiri, jadi kalian juga harus terima resikonya lah.”
Kamu tertawa miris, menatap Futakuchi dengan tatapan yang menyiratkan rasa kesal, marah, lelah, kecewa, sedih, semuanya bercampur jadi satu.
“Kita ada niat baik buat ngerayain ulang tahun lo. Iya emang bukan lo kok yang minta dibuatin gituan, tapi kita inisiatif sebagai bentuk pertemanan, atau mungkin bentuk apresiasi karena lo udah jadi ketua yang kompeten. Kita gak ngarepin balasan atau apapun yang berlebihan, sekedar makasih aja, susah?”
Lelaki bersurai coklat itu memilih bungkam, maka kamu kembali berujar. “Oh iya pasti susah sih kalau buat orang yang cuma bisa mengkritik, mengomentari, menghujat kayak lo. Gak terbiasa ngucapin kata-kata baik ya?”
Karena masih tak ada jawaban, kamu memutuskan untuk pergi karena merasa semua ucapanmu sia-sia.
“Oh iya sebelumnya gue cuma mau ngasih tau, coba filter kata-kata yang keluar dari bibir lo. Mungkin iya lo orangnya blak-blakan, tapi gak semua orang bisa nerima omongan lo. Setidaknya lo tau situasi, kapan harus bener-bener jujur dan kapan harus memilah kata.
Sakit hati itu berbekasnya lama, jangan sampai suatu hari nanti lo nyesel karena ucapan lo sendiri. Kritis boleh, jahat jangan. Dan juga coba lebih hargain usaha orang mau gimanapun hasilnya karena itu bagian dari proses yang tanpa lo sadari jauh lebih penting dari hasil.”
“Sorry kalau gue kesannya kayak ceramah, gak bermaksud menggurui atau apapun, gue cuma mau ngutarain apa yang ada di pikiran gue sejujur-jujurnya.” Setelah mengatakan hal itu kamu berlalu meninggalkan Futakuchi sendirian di ruang osis.
Futakuchi mengusap wajahnya kasar diiringi hela nafas berat. Ia menyambar tasnya kemudian memutuskan untuk pulang. Kepalanya sakit, ia merasa seperti telah dihantam oleh batu besar yang membuat matanya terbuka lebih lebar.