soukoku: loving you, be loved by you.
Cerita ini adalah tentang bagaimana Dazai Osamu dan Nakahara Chuuya yang hanya memiliki satu sama lain untuk saling mencintai dan dicintai.
Chuuya tak pernah membenci Dazai, mereka tahu itu. Lelaki dengan surai jingga terang yang nampak kontras dengan setelan hitam-hitam yang selalu melekat pada tubuhnya itu sebenarnya sangat, sangat, jatuh cinta pada lelaki yang sebagian besar bagian tubuhnya dibaluti perban.
Kalimat serta ekspresi penuh kebencian yang biasa dilontarkannya pada Dazai serta merta demi menutupi bagaimana perasaan Chuuya yang sebenarnya. Ia hanya tak tahu, tak paham bagaimana caranya menunjukan rasa cinta dengan benar.
Sementara Dazai adalah sebuah antonim. Ia lihai dalam melontar serangkai kalimat manis, memperlakukan Chuuya layaknya berlian yang berharga, menunjukan perasaan cintanya yang teramat besar.
Dazai bukan sosok yang sempurna. Bahkan dengan wajah menawan serta kecerdasan melebihi batas, ia tetap dipenuhi celah. Ia bisa saja menipu ratus bahkan ribuan orang diluar sana hanya dengan seulas senyum, namun tidak dengan Chuuya.
Kedua matanya mengenali gurat palsu yang terlukis di wajah menawan si surai coklat. Pun, ekspresi lain yang sengaja disembunyikannya meski tahu sia-sia saja untuk Chuuya. Bukan waktu yang singkat untuk mempelajarinya, Chuuya butuh bertahun-tahun untuk paham akan hal itu.
Chuuya sendiri bukanlah orang yang bisa dengan mudah menyembunyikan sesuatu. Ia tak sehandal Dazai, tapi Dazai sehandal Chuuya dalam mengenali orang yang dicintainya. Segala jenis emosi, baik yang tergambarkan maupun tersembunyikan, Dazai dapat menebaknya dalam waktu sepersekian detik.
“Zai, let me go,“ keluh Chuuya karena Dazai tak kunjung melepaskannya.
“Dun wanna. Lagi nyaman banget, jangan kemana-mana.”
Sebagai balasan, Dazai mendapat sebuah jitakan dari sang kekasih. Chuuya ingin menyelesaikan pekerjaannya, sementara Dazai terus saja menempel padanya, seperti tak ada tempat lain saja untuk bersandar.
Bukan Dazai namanya kalau gentar hanya dengan sebuah jitakan. Ia malah semakin menempel pada Chuuya, membuatnya murka sampai-sampai wajahnya lah kini yang menjadi sasaran.
“Sakit Chuu, muka aku tuh aset, jangan asal diserang,” keluh lelaki itu, akhirnya. Chuuya tak menjawab, ia hanya mendelik kemudian melenggang pergi menuju laptopnya yang sedari tadi teranggurkan begitu saja.
Dazai sudah paham bahwasanya Chuuya benar-benar tak mau diganggu untuk saat ini. Meski jiwa jahilnya meronta-ronta, ia lebih memilih menahannya dan sekedar memperhatikan seraya menunggunya selesai.
“Kamu tuh gak ada kerjaan atau gimana sih? daritadi gabut banget kayaknya,” Chuuya bersuara.
Dazai menggeleng. “Males. Biarin aja Kunikida yang kerja, aku gak perlu. Mau disini aja ngeliatin kamu.”
“Jangan gitu lah Zai, kasian Kunikida. Lagian itu tanggung jawab kamu, kok dioper-oper ke orang lain?”
“Biar aja. Kamu gak kangen sama aku? kemarin aku ngilang seminggu loh Chuu,” Dazai merengut. Menunjukan sisi manjanya yang hanya diketahui oleh Chuuya.
Chuuya tak menggubris, tangannya masih saja sibuk menari di atas keyboardnya. Sementara kedua netranya juga terfokus, secara tidak langsung membiarkan Dazai mengeluh tanpa respon.
Dazai kesal, ia tak suka Chuuya yang sibuk. Maka ia sengaja mengganggunya sampai akhirnya Chuuya murka tapi menyerah juga pada pekerjaannya. Kalau dipikir ulang, sebenarnya ia juga merindukan Dazai-nya.
“Pulang aja sana lo,” gumam Chuuya dibalas kekehan ringan dari si lawan bicara.
“Yakin?” tanya Dazai seraya mengeratkan pelukannya. Chuuya tak menjawab, ia menyamankan dirinya di dalam pelukan Dazai, menyandarkan kepalanya pada dada sang kekasih yang duduk di belakangnya.
“Kayak bayi,” ujar Dazai kemudian.
“Kenapa kemarin ilang?”
“Tuhkan kayak bayi, gak bisa ditinggalin.”
Chuuya mendelik, malas mendebat untuk kali ini. “Aku tanya, bukan ngeluh,” kemudian hanya sebuah tawa yang terdengar dari belakangnya.
Lama dalam posisi yang sama, keduanya tenggelam dalam pikiran. Chuuya tahu, Dazai sedang menyembunyikan sesuatu. Dazai juga tahu, Chuuya sedang mengkhawatirkannya.
“Aku belum bisa sepenuhnya kamu percaya ya Zai?” lirihnya kemudian.
Chuuya dapat merasakan gelengan kepala dari Dazai yang menyandarkan dagu di puncak kepalanya. “Terus kenapa ilang? Kenapa gak pulang ke aku aja?”
Sebuah kecupan ringan Chuuya dapatkan di pipinya. “Maaf.”
“Bukan maaf Zai.”
“Paham kok. Tapi Chuuya lagi banyak pikiran juga kan? Kenapa gak pulang ke aku? Takut ya?”
“Kebiasaan Dazai ngalihin topik. I asked you first, so i get the answer first.”
“Wanna hug, don't wanna answer it.”
Tanpa kata, Chuuya berbalik, memeluk Dazai erat. Membiarkannya tenggelam sesekali dalam kehangatannya. Membuktikan bahwa lelaki itu bukan hanya mencintai, tapi juga dicintai.
“Jangan ilang lagi,” bisiknya.
Dazai mencium puncak kepala sang pujaan. “Never.”
Chuuya bukanlah seseorang yang beruntung, ia tahu betul akan hal itu. Bahkan kelahirannya bukanlah sebuah anugerah, banyak kesialan yang muncul karena presensinya.
Tapi Chuuya tak ingin cepat mati. Suatu saat nanti, ia ingin dengan sombongnya membuktikan pada dunia bahwa meski keberuntungan tak pernah menyertainya, tapi ia bisa tetap hidup dan berdiri tegak diatas kakinya sendiri. Menanggung semuanya sendiri.
Sampai Dazai datang, mengacaukan segalanya. Membuat Chuuya tak lagi bisa berdiri tanpa kehadirannya yang menyertai. Membuat Chuuya ketergantungan. Membuat Chuuya tak lagi ingin sendirian.
Chuuya tak pernah tahu rasanya dianggap sebagai manusia normal yang perlu dicintai dan memiliki perasaan valid. Dazai yang memberitahunya, yang memanusiakannya, yang membawa berbagai macam perasaan pada hidupnya.
Karena Dazai, Chuuya tahu bagaimana rasanya dicintai. Karena Dazai, Chuuya tak pernah lagi khawatir untuk lari ke pelukan lelaki itu kalau ia tak kuat menanggung semuanya sendirian.
Dan untuk pertama kalinya, Chuuya merasa sangat beruntung karena hal tersebut.
Dazai pernah diajarkan untuk memanusiakan manusia. Ia tak paham bagaimana caranya, apa maksudnya, bahkan kapasitas otaknya yang cukup tinggi tak berpengaruh karena yang ia butuhkan bukan rentetan teori, melainkan pemahaman mendalam beserta implementasi yang sebenar-benarnya.
Chuuya membuatnya paham. Manusia yang tak pernah dimanusiakan siapapun termasuk dirinya sendiri. Memanusiakan bukan berarti iba, tak selalu pula berarti cinta. Memanusiakan berarti menerima, segala sisi baik dan buruknya, segala macam perasaannya, segala hal yang membuatnya merasa berguna diciptakan dan memahami alasan ia dibiarkan lahir ke dunia.
Dazai amat sangat beruntung bisa bertemu dengan Chuuya, manusia penuh celah yang menutupi celahnya yang tak kalah banyak.
Chuuya bukanlah seseorang yang beruntung. Ia semakin yakin akan hal itu. Bahkan setelah datangnya Dazai, bertahun-tahun, membuatnya ketergantungan, menciptakan kebahagiaan, berbagi kesedihan, ternyata tak bertahan selamanya juga.
Seharusnya ia tahu, suatu saat ia harus kembali berdiri diatas kakinya sendiri. Suatu hari, Dazai akan melepaskan pelukannya dan pergi jauh hingga tak tergapai.
Namun ketika hal tersebut benar-benar terjadi, Chuuya tak siap, tak akan pernah. Ia masih dapat merasakan pelukannya yang hangat, kecupan ringan yang menghujaninya, juga tawa renyah yang menyebalkan namun memabukkan.
Kini semuanya sirna. Hilang dalam satu kedipan mata. Dazai pernah mengatakan bahwa ia tak akan meninggalkan. Tak akan pernah. Tapi pada dasarnya manusia adalah makhluk penuh dusta, Dazai pergi begitu saja.
“Chuuya jangan keseringan sedih, jangan lupa makan juga, biar tinggi,” adalah kata terakhir yang didengarnya dari sang kekasih.
Berbulan-bulan menghilang, tanpa selamat tinggal, pun kabar ataupun penggalan surat. Setiap harinya hanya digunakan untuk menunggu, menunggu, dan menunggu. Kalau bukan menunggu, ya merindu.
Di bulan kesekian dari hilangnya Dazai, semua orang mulai pasrah akan keadaan. Lelaki itu tak mungkin kembali, katanya. Tapi Chuuya tak mau percaya. Ia masih terus menanti, yakin bahwa Dazai akan kembali memeluknya, entah berapa lama pun.
Maka ketika kabar bahwa lelaki itu tak lagi ada di dunia yang sama dengannya, Chuuya masih tak mau percaya. Ia tak akan pernah percaya bahwa Dazai-nya, meninggalkan dirinya sendirian, melepaskannya untuk berdiri tanpa kehadiran Dazai di sampingnya.
Chuuya akan bertemu dengannya lagi, memaksanya untuk kembali bersanding dengannya, memeluknya agar tak hilang lagi. Chuuya akan bertemu dengannya lagi, suatu saat nanti, entah di kehidupan ke berapa, entah di dunia yang seperti apa.
Karena ia yakin, di kehidupan manapun, Dazai Osamu dan Nakahara Chuuya hanya memiliki satu sama lain untuk dicintai maupun mencintai.