Strangers
Selepas hari dimana kamu mengungkapkan perasaan palsumu pada Suna, kalian kembali menjadi teman kelas yang tak saling bertegur sapa apalagi berbicara. Orang-orang di sekitar kalian pastinya mulai menyadari perubahan yang terjadi.
Suna yang biasanya datang bersamamu dengan rusuh karena perdebatan kecil yang tak penting, jam istirahat yang selalu diawali dengan batu gunting kertas untuk menentukan dimana kalian akan makan, lalu jam pulang sekolah yang tak juga membuat kalian lepas.
Secara tidak langsung, semua kebiasaan yang kalian lakukan menjadi pemandangan yang familiar bagi anak-anak XII IPS 3. Maka ketika kamu dan Suna menjauh, mereka cepat menyadari meski tak seorangpun berani bertanya.
Kamu menjalani harimu seperti sebelumnya, seperti hari dimana Suna belum menerobos masuk kedalam hidupmu secara paksa. Meskipun tak terasa persis sama karena ada bagian-bagian yang menjadi kosong serta hilang.
Yang dulu begitu dekat, kini berlagak layaknya orang asing yang tak sengaja berpapasan di tempat umum. Jangankan menegur, tersenyum bahkan melirik pun tidak. Suna yang membuatmu harus berbicara ini dan itu saat itu, kamu yang membuat Suna menjadi asing seperti sekarang. Kalian berdua lah penyebab masalah untuk satu sama lain. Dan kamu rasa, memang inilah yang terbaik.
Bohong kalau kamu tidak bersedih, Suna pun begitu. Setiap malam ketika pikiran mulai terdistraksi oleh hal-hal lain, lantas berkelana menyelami memori-memori lama yang hanya membawa luka, kalian dipaksa mengingat satu sama lain.
Benci sekali rasanya kalau mengingat bagaimana Suna berkhianat. Entahlah apakah bisa disebut berkhianat atau tidak karena tak ada hubungan apapun antara kamu dengannya sampai saat terakhir. Juga kehadiran seorang gadis yang seenaknya datang untuk mengacau.
“Pembagian kelompok bahasa Indonesia pake kelompok yang kemarin ya?” tanya teman sebangkumu.
“Iya. Gue tukeran dong sama lo,” permintaanmu ditolak mentah-mentah, membuatmu mendengus kesal. “Males banget lah kenapa harus tugas kelompok? cuma berdua pula, apa bedanya sama ngerjain sendiri.”
“Tumben misuh? biasanya lo paling demen tugas kelompok, apalagi kelompoknya bareng Suna.”
Kamu hanya mengedikkan bahu tanpa memberikan jawaban. Temanmu pun tak menghiraukan karena merasa itu bukan urusannya.
“Ya udah gue balik ya. Lo masih mau disini?” kamu menjawab dengan anggukan kemudian melambaikan tangan mengiringi temanmu yang berlalu keluar kelas.
Kamu hendak mendengarkan lagu ketika kehadiran seseorang membuatmu urung melakukannya. “Kenapa?” tanyamu berusaha biasa saja.
“Tugas kelompok,” ujarnya datar.
“Iya ini mau gue bagi dua, nanti gue kabarin.”
“Gue tunggu disini, kalo bisa agak cepet.”
Alih-alih menjawab, kamu langsung mengalihkan pandangan ke arah buku cetak bahasa Indonesia demi membagi tugas kelompok untukmu dan Suna. Hening menyergap, sayup-sayup bising dari beberapa ekstrakurikuler di luar sana tak begitu membantu mencairkan suasana.
Kamu berusaha membagi tugas dengan cepat, supaya dapat segera lepas dari situasi ini. Mungkin Suna pun begitu. Rasa canggung yang muncul diantara kalian memang tak dapat dielakkan, mendadak ada, menggantikan kedekatan yang susah payah kalian bangun beberapa bulan belakangan.
“Bagian lo yang ini, ini, sama ini, sisanya bagian gue. Nanti kalo udah selesai lo kirim aja ke email gue biar gue yang nyusun.”
“Alamat email lo kirim aja di imess,” setelah berucap demikian, Suna melenggang pergi, meninggalkanmu yang merasa lega karena akhirnya lepas dari situasi yang canggung.
Meski setelahnya, hatimu kembali berdenyut. Dalam waktu yang singkat, ternyata kamu dan Suna sudah serenggang itu. Tapi tak apa, toh kalian hanya akan menghabiskan waktu beberapa bulan lagi sebagai teman kelas. Setelahnya, kamu dan Suna dapat benar-benar berpisah jauh.
Kamu kemudian membereskan barangmu, memasang earphone yang tadi sempat tertunda, lalu pergi menuju ke perpustakaan–tempat favoritmu yang baru setelah pulang sekolah karena tiba-tiba kehilangan mood untuk belajar di kelas.