tawaran
Kamu menyilangkan tangan di depan dada, lelah menunggu seseorang yang tadi pagi mengirimimu chat untuk datang ke belakang sekolah saat jam istirahat makan siang.
Awalnya kamu tak mau, tapi karena sedikit (iya sedikit sekali) merasa bersalah, maka disinilah kamu menunggunya yang tak kunjung datang.
“Sorry lama” ujarnya ketika datang terburu-buru.
“To the point aja, lo udah nyita 10 menit waktu makan siang gue buat nunggu lo barusan”
“Gue cuma mau ngasih tau kalo pandangan lo soal anak geng–terutama gue sama temen-temen gue itu ga bener sama sekali. Kita punya kok banyak kelebihan, ga cuma nongkrong-nongkrong doang kayak apa yang lo bilang”
Kamu mengernyit heran, jadi Suna menyuruhmu kesini, di jam makan siang hanya untuk menjelaskan bahwa ia dan teman-temannya memiliki kelebihan? Kurang kerjaan sekali.
“Kita juga sebenernya cuma pure suka ngumpul aja seru-seruan gitu, dan orang-orang ngecap kita sebagai geng, padahal aslinya ya kayak circle murid kebanyakan” tambahnya ketika melihat kamu tak menjawab.
“Oh yaudah. Terus gue mesti apa?”
“Ga mesti apa-apa sih gue cuma mau matahin stereotip lo soal anak geng. Kita ga ada niatan untuk sok tenar atau sok apapun, kita juga ga merasa kayak gitu sih. Dan kita punya banyak sisi baik yang ngga lo tau”
Tawamu mengudara membuat Suna menampakan ekspresi penuh tanda tanya. “Kenapa ketawa?”
“Gue ga percaya dan ga peduli. Mau lo jabarin ribuan kebaikan geng lo kek, ngomong doang mana bisa gue percaya”
“Yaudah ayo gue buktiin”
“Dih? Gimana coba buktiinnya?” Tanyamu menantang.
Suna menarik satu sisi bibirnya, tersenyum sinis. “Jadi pacar gue”
Siapapun yang melihat wajahmu sekarang pasti mengira kedua bola mata itu seperti akan copot dari tempatnya karena terbuka terlalu lebar. “GILA LO?!”
“Kemarin kan lo bilang kalo kita tipe cowok yang ceweknya dimana-mana, yang brengsek. Fyi, gue sebenernya gapunya cewek atau mantan dan ga pernah deket sama cewek sama sekali”
Yang ini lebih mengejutkan dari ucapan Suna beberapa saat lalu yang asal memintamu menjadi pacarnya. Pasalnya, wajah Suna nampak seperti lelaki yang isi room chatnya bak asrama putri dan boncengan motornya tak pernah kosong.
Tapi kalau dipikir kembali, boncengan motor Suna sering kosong sih. Selama ini kamu berpikir mungkin pacarnya anak sekolah lain bukan sekolah ini–sebenarnya banyak sih yang berpikir seperti ini.
“Terus? Ga peduli sih gue mau cewek lo seribu mau nol atau berapapun” walaupun terkejut, kamu berusaha untuk tak peduli dan memberi reaksi datar.
“Lo punya gebetan?”
Kamu menggeleng membuat Suna melebarkan senyumnya. “Ayo saling gebet. Gue pengen tau rasanya punya gebetan”
Kamu memijat pangkal hidung, pening dengan perkataan Suna yang melantur sejak tadi. “Please gue gatau lo mabok atau abis kejedot tiang bendera atau gimana, tapi stop ngomong yang ngga-ngga.”
“Dih gue serius. Kan lo belum punya gebetan, gue pengen rasain punya gebetan. Sekalian gue buktiin ucapan gue soal geng tadi, gimana?”
“Gue ga suka sama lo.”
“Kita mulai semuanya dari awal. Belajar pdkt supaya bisa ngegebet terus sama-sama saling suka. Pasti bisa kok kalo dicoba.”
“Gue gamau” ujarmu lalu memutuskan untuk pergi dari hadapannya secepat mungkin sebelum Suna mengatakan hal-hal yang lebih absurd.
Untungnya Suna tidak mengejarmu, tapi tetap saja rasanya kesal karena bel pertanda istirahat selesai berbunyi tepat setelah kakimu memasuki kantin. Suna sudah menyita waktu istirahatmu untuk mengatakan hal-hal tidak masuk akal, membuat kesal saja.