The reason
Gelap, sesak, dan asing. Tubuhnya seperti melayang di tempat yang entah dimana. Suara-suara di sekitarnya seakan diredam paksa. Ricuh dan hening dalam satu waktu yang sama. Samar-samar ia dapat mendengar orang berbicara, namun kemudian hilang begitu saja. Terus begitu berulang-ulang.
Inginnya berteriak meminta bantuan, atau mungkin sekedar bertanya sedang dimana ia sekarang. Namun suaranya tak ingin keluar, lidahnya kelu, bibirnya pun kaku.
Bergerak kesana-kemari pun tak ada yang dapat dijangkaunya. Kosong, lengang, dan hampa. Ia seperti tengah berada di sebuah ruang kosong tanpa dasar. Bukan, ini bukan lautan, karena tak ada air yang dirasanya. Bukan pula hamparan langit karena tak ada awan yang mengelilingi sekitarnya.
Ia benci, benci sekali jika harus berada di suatu tempat dimana ia tak dapat melihat apalagi mengidentifikasi apapun disekitarnya karena ia tak tahu langkah apa yang harus diambilnya atau bagaimana ia menyikapi ini semua.
Seiring berjalannya waktu, tubuhnya terasa terdorong kebawah melawan tekanan udara, sampai akhirnya ia jatuh ke sebuah hamparan air. Mungkin laut? karena dasarnya tak ia temukan, juga luasnya dapat ia rasakan. Kali ini tubuhnya tenggelam, semakin dalam, dalam, dalam, dan dalam, merenggut nafasnya dengan perlahan.
Kemudian Suna terbangun dengan nafas yang putus-putus. Dihirupnya udara sebanyak mungkin, dihembuskan perlahan-lahan demi menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dadanya.
Pintu didobrak paksa, ada Semi yang nampak panik sebagai pelakunya. Suna yang masih menstabilkan nafasnya hanya dapat melihat Semi tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Semi yang melihat Suna memegangi dadanya seraya mengatur nafas diserta peluh yang membasahi beberapa helai rambut dan pelipisnya tentu semakin panik. Dihampirinya sang pujaan, digenggam tangannya, dan dielus punggungnya diberi kehangatan.
“Lo kenapa teriak-teriak tadi?”
Meski tak tahu apa yang baru saja dialami Suna, Semi mencoba untuk membantu menstabilkan keadaannya terlebih dahulu meski pertanyaannya belum mendapat jawaban. Keduanya tenggelam dalam hening untuk beberapa waktu.
“Udah mendingan?” tanya Semi kemudian yang dibalas anggukan samar oleh Suna.
Semi duduk di tepi ranjang yang ditempati Suna sementara sang empunya duduk bersandar pada headboard kasurnya. Matanya terpejam, memikirkan mimpinya yang terasa nyata barusan.
Mungkinkah ia akan mengalami hal serupa dengan mimpinya jika ia berhasil bunuh diri? Suna tak tahu kehidupan apa yang akan menyambutnya sesaat setelah mati. Namun memangnya benar akan ada kehidupan? Suna tak tahu apa yang akan menyambutnya setelah mati, bisa saja ruang hampa yang baru saja muncul di mimpinya, atau lautan luas yang menenggelamkannya, atau semesta yang perlahan menelannya dalam gelap.
Yang pasti, Suna tak mau mengalaminya. Cukup dalam mimpinya saja, sudah cukup sesak ia memimpikannya, apalagi mengalaminya?
“Rin tau gak katanya mereka yang ingin mati tuh justru takut sama kematian?”
“Tiba-tiba?” timpal Suna dengan suara seraknya.
Semi terkekeh. “Nggak tiba-tiba sih. Eh tiba-tiba deng. Barusan lagi ngelamun terus keinget lagi mimpi buruk gue yang waktu itu. Gue gak tau kenapa bisa lo muncul di mimpi gue dan mau bunuh diri. Tapi gue berharap mimpi gue gak ada hubungannya sama sekali sama dunia nyata alias gue harap lo gak pernah kepikiran ngelakuin hal itu.”
“Gue tau kalo hidup lo berat, banyak banget luka yang udah lo terima, dan banyak juga orang diluar sana yang nyerah ketika dikasih keadaan yang serupa sama lo. Dan kalau, kalau ya, pilihan 'nyerah' ini pernah terlintas di pikiran lo juga, gue harap lo gak ngelakuin ini ya. Karena lo masih punya pilihan untuk hidup, lo bakal nemu alasan lo untuk terus berjuang dan cari jalan meskipun berat dan susah.”
Suna menundukan kepalanya dalam, bibirnya terkatup rapat sampai Semi yang memutuskan untuk kembali berujar.
“Kalo lo takut untuk mati, terus buat apa lo menghampiri kematian itu sendiri? itu yang gue pikirin dari kalimat pertama gue tadi. Kebanyakan orang bilang karena gak ada pilihan lain. Tapi buat lo Rin, gue bakal bantu cari pilihan lain. Gue bisa jadi alasan lo buat terus berjuang, gue juga bisa bantu cari-cari alasan lain. Gak perlu yang susah, sesimpel bisa makan indomie tambah telor dan rawit dua biji aja udah.”
Kalimat demi kalimat yang Semi ucapkan dibiarkan menggantung tanpa balasan untuk tiga menit lamanya sampai akhirnya Suna bersuara, diiringi pukulan ringan dan isakan kecil yang ditujukan pada orang yang kini menariknya kedalam pelukan hangat.
“Panjang banget pidato lo, kayak gue beneran bakal bunuh diri aja,” katanya.
Semi kemudian tertawa renyah, tangannya tak berhenti mengelus punggung Suna dengan lembutnya. “Iya juga ya, kebawa suasana tadi.”
“But thank you.”
“Buat?”
“For telling me all those things. Thank you so much.”
“No problem! gue juga gak tau kenapa tiba-tiba nyerocos sepanjang itu. Tapi gue serius kok, ga bercanda!”
Suna membalasnya samar-samar dengan tawa, menerbitkan seulas senyum dari bibir si surai abu.
“Eh iya Rin, lusa kan Senin ya, masuk sekolah yuk? Gue kemarin dah bilang ke wali kelas lo kalo lo bakalan masuk Senin. Terus gue juga udah bilang ke bang Ukai kalo lo mau kerja lagi di minimarket. Ah lagian lo segala resign, kan jadi harus ngelamar lagi.”
“Kok lo gak nanya gue dulu?”
“Tapi gak apa-apa, kita mulai lagi dari awal ya. Pelan-pelan aja.”
Protes pun rasanya percuma, karena Semi yang Suna kenal adalah orang yang terlampau keras kepala dan paling jago membuat Suna menyerah mengikuti keputusan-keputusannya.
Yah.. paling tidak Suna dapat benar-benar memulai kembali hidupnya dan tak perlu bingung memikirkan rencana hidup ke depannya nanti. Atau setidaknya ia tidak sendirian, ada Semi yang akan membantunya melangkah lebih jauh ke depan. Ada Semi yang berjalan bersamanya.