The truth?
Suna berjalan mengekorimu dengan sumringah, tak hentinya ia mengajakmu membicarakan hal-hal acak sebelum sampai ke tempat yang sudah kalian tentukan sebelumnya.
“Jadi lo mau ngomong apa?” tanyanya diiringi wajah penuh harap tak lupa pula senyumannya, seakan apa yang ingin kamu bicarakan adalah sesuatu yang dapat membuatnya larut dalam kebahagiaan.
Kamu memberanikan diri menatap langsung pada kedua matanya, menghujamkan tatapan yang sama seperti beberapa bulan lalu sebelum semua kisah ini dimulai.
“Let's stop trying to fall in love to each other. Berapa kali pun nyoba, kayaknya gue gak akan pernah bisa jatuh cinta sama lo. Jadi daripada makin buang-buang waktu, mending kita berhenti disini aja.”
Kedua bahu lelaki di hadapanmu merosot, masih tak percaya akan apa yang baru saja didengarnya. Kedua matanya menatapmu sayu, perasaannya bercampur aduk. “Lo bercanda kan?”
“Sayangnya, ngga.”
“Kenapa? kenapa lo gak bisa jatuh cinta sama gue?”
Kamu mengedikan bahu, “gak tau. Mungkin emang dari awal gue gak tertarik buat jatuh cinta sama lo kali.”
“Terus kenapa lo iyain permintaan gue waktu itu?” tanyanya dengan suara yang semakin mengecil.
“Kasian. Siapa sih yang gak kasian kalo liat lo mohon-mohon, berusaha supaya gue mau lo ajak belajar saling jatuh cinta sampe ngelakuin hal-hal aneh yang diluar kemampuan lo? kalo lo lakuin ke orang lain juga mereka pasti kasian,” kamu berujar santai, seakan tak ada beban ketika mengucapkannya.
Sementara Suna, kedua matanya memancarkan luka. Seakan apa yang keluar dari bibirmu menghujam kemudian mengoyak hatinya perlahan-lahan.
“But you looked happy all this time? please tell me the truth, kalo lo cuma bercanda, gue gak akan marah kok.”
Kamu menepis tangannya yang mencoba menggapaimu, mundur dua langkah lebih jauh dari posisi sebelumnya. “Sorry tapi gue gak bercanda. Gue keliatan bahagia selama ini karena gue gak mau lo kecewa. Also, biar gue bisa main-main sama lo lebih lama.”
Suna tak pernah sekalipun membayangkan bahwa kamu akan mengatakan hal-hal yang membuatnya terluka. Ia pikir ia telah berhasil membuatmu jatuh cinta. Ia pikir tak lama lagi kalian berdua akan menemukan akhir bahagia dari kisah yang sudah kalian bangun perlahan-lahan.
Suna pikir, hari ini adalah hari dimana kamu jujur akan perasaanmu, seperti apa yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Nyatanya, semua bayangan yang membuatnya merasa gugup tergantikan dengan perasaan kecewa yang mendalam.
“Selama ini lo cuma main-main doang?” kamu meresponnya dengan anggukan mantap. “Bahkan setelah gue ngungkapin perasan gue ke lo?”
“Yup, gue malah lebih seneng main-mainnya setelah tau lo suka sama gue.”
Kalau kamu adalah lelaki, mungkin Suna sudah maju dan melayangkan pukulannya pada wajahmu. Dengan mudahnya kamu mengatakan semua yang kamu lakukan selama ini semata-mata hanya untuk bermain-main.
Kedua tangannya terkepal kuat di samping tubuh, menahan hasratnya untuk meledak agar tak menyebabkan hal yang tak diinginkan. Karena bagaimanapun, Suna tak bisa melukaimu apalagi secara fisik.
“Jadi gimana nih? lo udah denger alesan gue kan? ayo udahan,” serumu lantang, membuatnya terkesiap karena sibuk menahan emosi serta perasaan yang bergejolak penuh kekecewaan.
“Gue beneran gak akan marah kalo lo cuma bercanda.”
Kamu berdecak malas, berkacak pinggang seraya menatapnya dingin. “Lo budeg apa bego? gue kan barusan udah bilang, gue gak bercanda.”
“TAPI GUE USAHA BUAT SUKA SAMA LO DARI NOL!” teriakannya membuatmu sedikit tersentak. Tapi kemudian kamu langsung berusaha menjawabnya dengan tenang.
“Gak usah teriak-teriak kalo lo gak mau jadi bahan gosip anak kelas lain,” peringatmu. “Terus kenapa? kan lo yang berusaha dari nol, bukan gue. Jadi sejujurnya gue gak peduli.”
Terdengar hela nafas lelah darinya, ia mengalihkan pandangan ke arah lain, kemanapun asal bukan padamu sebelum kembali berujar. “Jadi bener semuanya cuma main-main dan gak ada kesempatan kita buat bareng-bareng? buat nyelamatin hubungan yang bahkan belum kita mulai?”
Entah kenapa, semua keangkuhan dan keyakinanmu sedikit dibuat gentar oleh dua pertanyaan yang Suna lontarkan. Namun kemudian kamu ingat akan apa yang terjadi kemarin yang membuatmu memutuskan melakukan semua ini. Sudah sejauh ini, tak ada jalan lagi untuk mundur.
“Iya. Lo kalo mau benci sama gue juga gak apa-apa kok. Sekalian lupain aja ya semua yang udah terjadi selama beberapa bulan belakangan.”
Tanpa merespon ucapanmu, Suna membalikan tubuhnya kemudian melenggang pergi menjauh. Kamu menatap punggungnya yang semakin lama semakin mengecil karena jarak yang melebar dengan cepat, menyisakan luka yang semakin besar terukir dalam dirimu.
Tangismu nyaris pecah kalau tak ada sepasang tangan lain yang memelukmu hangat, menawarkan tempat untuk bernaung meski sementara.
“Sakit ya? gak apa-apa, lepasin aja. gue kasih free hug, cuma berlaku buat hari ini,” ujarnya seiringan dengan tangannya yang naik mengelus puncak kepalamu memberi ketenangan. Maka pecahlah tangis yang susah payah kamu tahan karena harus mengatakan hal-hal yang berlawanan dengan perasaanmu yang sebenarnya.
Kunimi Akira memang selalu tahu waktu yang tepat untuk datang dan menemanimu ketika nyaris hancur, karena ia amat sangat mengerti dirimu, apalagi perasaanmu pada seorang Suna Rintarou.
“Ra, don't tell him the truth.”
“I won't.”