We will be fine, for now.


Bandung-Jakarta tak sejauh itu, memang. Kamu sendiri yang mengatakannya. Namun mengapa, penundaan kepulanganmu yang hanya sampai esok hari–esok yang bersisa kurang dari dua belas jam lagi membuatmu amat sangat kesal sampai-sampai rekan kerjamu sedikit kewalahan menghadapimu.

Tidurmu tak lagi nyenyak, kasur empuk milik hotel yang biasanya dapat membantu mengantarkan pada istirahat yang nyaman, tak berfungsi dengan baik malam ini. Jarum jam yang biasanya menunjuk angka demi angkanya dengan tajam pun, mendadak bergerak lambat.

Perasaan senang yang terlampau menggebu karena pesan Suna sore tadi membuatmu merasakan semua hal itu. Hatimu cemas, ingin segera bertemu dengannya, memeluknya, seakan jika tak kamu lakukan secepatnya Suna akan hilang lagi dari pandanganmu, selamanya, tak akan pernah kembali. Dan kamu, jelas tak menginginkan hal tersebut.

Maka ketika mobilmu berhenti di depan rumah dan kamu lihat mobilnya juga ada disana, kamu segera keluar hanya untuk menemuinya yang langsung berhambur kedalam pelukanmu. Menyalurkan hangat suhu tubuhnya pada tubuhmu yang dingin karena menempuh perjalanan sejak pagi hari.

Tangannya mengelus punggungmu penuh kelembutan–tanpa kata, tanpa suara, hanya degup jantung yang berbicara. Hangat, nyaman, memabukkan. Rasanya kamu ingin menghentikan waktu untuk kali ini saja.

Welcome home,” jeda sejenak sebelum Suna kembali melanjutkan, “love?

Dan rasanya kamu begitu emosional hari ini, karena hanya mendengar penuturannya yang demikian saja air matamu sudah memaksa untuk terjun menuruni kedua pipi pucatmu. Membasahi kaosnya yang masih dalam pelukan.

Ia mendongakkan wajahmu kala sadar akan tangismu, kemudian terkekeh ringan. “Beneran nangis pas udah deket sama aku..”

“Salah siapa coba? aturan orang confess tuh ngomong langsung, pas lagi deketan, jangan di chat terus pas lagi jauhan. Ya jelas bikin nangis lah!” protesmu.

I'm sorry okay? i was doing it impulsively so i didn't do it properly. Mau diulang lagi?”

Kamu menggeleng. “Well, i get what you mean clearly, gak apa-apa.”

“I want it to be a proper confession?”

“I even haven't given you a proper answer, Rin. No need to do it again. At least for now.”

“Alright.”

Setelahnya, kalian memilih untuk masuk. Suna membiarkanmu membereskan barangmu lalu membersihkan tubuhmu terlebih dahulu sebelum kembali bergabung dengannya di ruang tengah.

Beberapa menit pertama, hening menguasai seluruh ruangan. Di menit berikutnya, tangannya mengambil tanganmu untuk digenggam. Di menit berikutnya lagi, ia mengecup punggung tanganmu tak lupa senyum tipis yang terukir di wajah tampannya.

“Kenapa tiba-tiba sih...”

“Is it okay if i want to do something like that again in the future? well you know, since we're not in any kind of relationship.”

“Sorry..”

Suna kelabakan, ia panik karena merasa ucapannya telah menyakitimu. “No no, i didn't mean it like that. Maksudnya i need your consent walaupun gak pacaran apa boleh aku genggam tangan kamu terus dicium. Aku cuma gak mau kamu ngerasa gak nyaman dengan hal-hal kayak gini. I'm sorry okay?

Kamu mengangguk, membiarkannya tenggelam lagi dalam hening pikirnya. Ada banyak yang menghampiri benaknya, mungkin. Dan ada banyak yang ingin diungkapkannya namun terasa sulit, jika kamu boleh bersikap sok tahu.

If you have something to say, please say it loudly, i will listen to you no matter what,” dan kamu bertekad untuk mengambil langkah pertama.

Suna menghela napasnya sebelum berujar, mempersiapkan dirinya–juga hatinya, mungkin. “Aku harus pulang lagi besok, udah kelamaan liburnya sampai-sampai pegawai aku bilang usaha aku buat mereka aja saking lamanya gak pulang.”

“Okay.. then?” kamu memasang ekspresi penuh tanda tanya. Maksudnya apa yang Suna takutkan tentang hal itu, bukankah suatu hal wajar jika Suna harus pulang dan kembali mengurus usahanya? atau ia benar-benar takut pegawainya akan mencuri usahanya? tapi tidak mungkin kan?

Well, kita bakalan ada diantara jarak yang membentang luas. Are you okay with that? kita baru aja mulai untuk nyoba lagi, will we be fine?

“We will be fine,” ujarmu penuh keyakinan.

Suna mengusap wajahnya setengah frustasi, ingin menyumpah serapahi dirinya yang memilih untuk membuka usaha di kota yang jauh dari kehadiranmu. Yah, bukan salahnya juga sih, siapa yang tahu kalian akan dipertemukan dalam sebuah rasa yang kembali utuh?

“Kamu bahkan belum jadi pacar aku. Kita baru nyoba, aku takut kita malah jatuh lagi kayak dulu.”

Tanganmu perlahan mengelus surainya lembut, menyalurkan ketenangan demi meredam keresahannya. Kalau boleh jujur, kamu pun sedikitnya resah. Namun kalau tak ada satupun dari kalian yang yakin, kalian tak akan pernah berhasil dalam kesempatan kedua ini.

Maka kamu tekan egomu, berusaha meyakinkan diri bahwa baik kamu ataupun Suna pasti akan baik-baik saja meski ada jarak yang harus membentang luas, meski pertemuan demi pertemuan akan memakan jeda waktu yang tak sebentar.

“Kita bisa saling ngunjungin sesekali kalo kamu mau, gantian aja. Jangan tiap weekend juga sih tapi soalnya kita pasti juga disibukin sama hal-hal lain.”

“Aku aja yang kesini, kamu gak perlu capek-capek nyamperin aku.”

Kamu merengut tak setuju. “Gak mau. Masa kamu doang yang boleh capek sementara aku gak boleh?”

“Biar kerasa usahanya, so that you will give me the answer lebih cepet.

“Ngaco ah, gak ngaruh kali. Masalah itu biar jadi urusan nanti, okay? yang penting sekarang, kita sama-sama yakin aja dulu buat coba usaha lagi. Berhasil atau nggaknya, kita serahin sama Tuhan.”

Suna menggenggam tanganmu begitu erat, memastikan perasaan serta desperasinya tersampaikan walau tanpa kata. Membiarkan degup jantungnya yang bicara, membiarkan gestur tubuhnya yang menyampaikan.

“Tenang aja, kita kan usaha sama-sama, jangan merasa tertekan sendirian.”

“Okay... semoga kali ini berhasil ya? I want to be happy too,” ada jeda sepersekian detik, “with you,” sampai ia mengakhiri kalimatnya dengan sebuah sapuan halus bibirnya di punggung tanganmu.