1.2
Mingyu menghela napas setelah meneguk wine. Di sisinya, terduduk Minghao dalam jubah tidur menimpa piyamanya, dengan kedua kaki diangkat dan menekuk di atas kursi. Ia terus saja tersenyum memandangi bulan.
“Kenapa, Ma?”
“Hmm?”
“Itu,” Mingyu terkekeh. Senang, karena suaminya juga senang. “Kamu senyum terus dari tadi? Bukannya aku komplain sih, Mah, ngeliat senyum manis kamu itu.”
Akan kegombalan suaminya, Minghao meninju perlahan bahu Mingyu sambil terkikih geli. Ada hal-hal yang sampai saat ini tidak berubah dari Kim Mingyu, seolah waktu berhenti di kafe dekat kampus kala itu, dimana dua orang pemuda belia saling bertemu untuk pertama kalinya.
“Enggak, Pah, aku lagi mikir aja,” aku Minghao kemudian ketika Mingyu menggamit tangannya dan menciumi lembut punggung tangan itu. “Suasana kayak gini ngingetin aku sama waktu itu, pas aku bilang cinta sama kamu...”
Mingyu menjawab dengan dehaman. Bibirnya turun dari punggung tangan ke pergelangan tangan Minghao.
“Gyu, seandainya kita nggak ketemu lagi di restoran itu... Seandainya aku buat janji di resto lain sama klien aku, apa kita bisa jadi kayak gini sekarang?” satu kecupan terakhir dan Mingyu pun mengangkat wajah untuk memandangi indah mata sang suami. “Gimana kalo kita nggak pernah ketemu?”
Mingyu diam dan mempertimbangkan. Usia mengajarkan hal terpenting padanya, bahwa sebelum lidah bergerak, biarlah otak bertindak. Lalu, ringisannya merekah.
“Jujur? Aku nggak akan nyariin kamu,” ucapnya. “Mungkin aku bakal nikah sama orang lain. Ato mungkin nggak nikah dan kerja terus aja sendirian. Mungkin juga aku pindah negara sekarang ato malah udah bercucu dan tinggal di desa.” Mendengar itu, Minghao ikut tertawa. “Kalo kamu, Hao? Kamu bakal nyariin aku?”
Suaminya menggeleng. “Enggak. Aku juga mungkin jatuh cinta sama orang lain,” jawabnya tanpa ragu. “Aku dulu nggak kenal kamu. Aku nggak cinta sama kamu dari pandangan pertama.”
“Sama,” Mingyu sesaat merenung. “Tapi...aku juga nggak tau sih.” Ia menaruh gelas wine di atas meja. “Aku yakin aku nggak mikir kamu lebih dari pegawai kafe plus sumber informasi. Aku yakin aku nggak jatuh cinta dari pandangan pertama. Tapi kalo aku bilang aku nggak tertarik sama kamu dari pertama kita ketemu, kok...
...hatiku kayak bilang itu nggak bener.”
Sebuah kalimat yang aneh. Perasaan yang aneh. Realitanya, cinta pertama jarang sekali kesampaian, apalagi mencapai jenjang pernikahan. Mingyu dan Minghao hanya dua manusia biasa. Mereka bertemu, lalu berpisah. Sama-sama tidak memedulikan keberadaan yang lainnya karena mereka adalah dua orang yang asing satu sama lain. Masing-masing adalah memori sekilas yang dengan cepat terlupakan, andaikata takdir tidak menyambungkan jalan mereka berdua kembali.
Takdir.
Sungguh, sungguh aneh.
Kenapa harus Mingyu?
Kenapa harus dirinya?
Kenapa bukan orang lain?
Semua...aneh. Hidup ini...aneh.
Aneh.
Mingyu menangkup kedua pipi Minghao, membuyarkan lamunan suaminya itu. Elusan pada pipinya membuat Minghao memejamkan mata, lalu mendesah bahagia. Dari berjuta orang di dunia, Mingyu lah yang disatukan benang merahnya dengan benang merah di kelingking Minghao. Dan Xu Minghao tidak mau siapapun selain Kim Mingyu.
Minghao tersenyum. Mingyu juga tersenyum.
“Aku,” Mingyu berkata. “Nggak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi—”
Wajahnya maju, mengecup bibir suaminya.
”—kalo jodoh, aku percaya.”
Mingyu nyengir. Minghao hanya bisa tertawa mendengarnya.
Ah ya... Kalau jodoh, sih, Minghao juga percaya.
Bagaimana bisa tidak? Bila Kim Mingyu dan keempat anak mereka kini memenuhi hidup Xu Minghao dengan cinta yang hangat.