narrative writings of thesunmetmoon

1.

#minwonplatonic

“Won.”

Yang dipanggil tidak kunjung menyadari. Dengan sepasang headphone di telinga dan pejaman mata, lelaki itu seolah hilang ke dunia yang asing, yang tak lagi Mingyu kenali. Kim Mingyu bersandar di kusen pintu, sebuah jas hitam tergantung di salah satu lengannya. Ia tersenyum, kemudian menghela napas.

Nyatanya, memang itu adalah dunia yang Mingyu bukanlah bagian darinya.

Maka, ia biarkan Wonwoo tenggelam beberapa saat, sebelum didekatinya dari belakang. Lelaki itu berambut hitam pendek, berkemeja putih dan bercelana hitam. Dasi hitamnya telah terpasang rapi sehingga Mingyu tidak perlu membetulkannya seperti biasa. Ia duduk persis di samping Wonwoo.

“Won,” diulangnya, dengan sentuhan lembut di pundak. Sengaja, agar Wonwoo tidak terkejut. “Kalo udah siap, kita pergi yok.”

Bulu mata tidak terangkat. Headphone tidak terlepas. Wonwoo masih ada di sana, di album kenangan dalam batok kepalanya yang dipenuhi dengan tawa bahagia, dengan segala janji manis yang dibuat serta harapan. Seluruh harapan yang mampu dipikirkan insan manusia. Wonwoo adalah tipe lelaki yang akan meraih apapun yang telah ia letakkan hatinya di sana. Salah satu sifatnya yang Mingyu kagumi sampai sekarang.

Melihat Wonwoo sekarang, Mingyu jadi teringat bagaimana bahagianya dahulu suaminya itu. Bagaimana ia tertawa lepas bersama orang yang paling berharga untuknya. Bagaimana Mingyu hanya bisa tersenyum kecut karena ia merasa menjadi orang ketiga, si obat nyamuk, di antara Wonwoo dan kekasihnya.

Bukan. Bukan karena ia ingin memiliki Wonwoo seorang diri, atau Soonyoung seorang diri. Bukan. Mingyu menyayangi keduanya karena mereka bertiga adalah sahabat sejak sekolah dulu. Mereka selalu melakukan apapun bersama. Partner kebandelan. Teman setia. Selalu bertiga.

Sampai kemudian, tatapan Wonwoo berubah dan senyuman Soonyoung malu-malu. Bukannya mereka menyingkirkannya dari pertemanan, tetapi, ketika Mingyu datang terlambat suatu hari saat mereka berjanji untuk bermain ice skating, ia menemukan Wonwoo dan Soonyoung berbicara berdua saja. Merapat. Berbisik-bisik. Soonyoung manyun, tampak ngambek dengan manisnya. Wonwoo tertawa, hidungnya mengerut sebagai ciri khasnya.

Dan Mingyu merasa mereka berada di dunia yang berbeda: dirinya dan mereka.

Meskipun begitu, tidak ada yang Mingyu inginkan lebih di dunia ini selain kebahagiaan kedua sahabat baiknya.

“Won.”

Mendadak saja, kelopak mata Wonwoo terbuka. Dilepasnya headphone, dimasukkan ke tempatnya kembali, lalu ia berdiri. Mingyu, tanpa banyak bicara, ikut berdiri. Ia membantu Wonwoo mengenakan jas hitam yang ia bawakan tadi. Jas tanda berkabung.

“Mama jadi dateng?” tanya Wonwoo.

Mingyu menggeleng. “Sori, dia nggak bisa. Dia lagi nemenin bokap gue di rumah sakit, Won. Nanti gue bakal bilang ke nyokapnya Soonie juga,” jelasnya. “Nyokap lo?”

“Dateng. Agak maleman sih soalnya baru dapet keretanya rada siang katanya.”

Mingyu mengangguk kali ini, memahami. Ditepuknya dada Wonwoo, membersihkan benang-benang yang menempel di jas hitam itu. Bukan pakaian yang ia harapkan akan Wonwoo kenakan lagi, sejujurnya. Kenangan akan Wonwoo bersama Soonyoung terlalu indah bagi Mingyu untuk dirusak oleh sepasang setelan warna hitam.

Wonwoo membiarkan Mingyu membenahinya, seperti biasanya, seperti setiap pagi yang dilakukan Mingyu sebelum Wonwoo pergi bekerja. Di jari mereka berdua, melingkar cincin emas putih yang sederhana. Sepasang cincin yang seharusnya tidak ada di sana andaikata nasib buruk dan rasa kasihan tidak menghampiri mereka.

“Yok?” ajak Mingyu.

“Mm,” Wonwoo mengangguk.

Mereka pun berjalan bersisian di lorong apartemen yang mereka tinggali berdua. Tak ada tangan yang bergenggaman. Tangan Mingyu keduanya di dalam saku. Tangan Wonwoo mengepal oleh gelisah. Bibir bawahnya ia gigiti terus sampai memerah.

“Won.”

Agak kaget, Wonwoo mendongak

“Inget kalo kita selalu bertiga.”

Hanya sebuah kalimat, namun tatapan kuat Mingyu yang menangkap matanya membuat hati Wonwoo menjadi tenang. Benar, mereka selalu bertiga. Selalu. Selamanya.

Bahkan ketika salah satu dari mereka sudah pergi ke alam lain.

“Mm.”

Wonwoo mengangguk, lagi, tapi kali ini dengan senyuman. Mingyu pun ikut tersenyum, mencoba memberikan semangat pada Wonwoo, sahabatnya yang kemudian menjadi suaminya, yang harus bertanggung jawab atas prosesi melayat ke nisan kekasihnya, Soonyoung, bersama keluarga mereka hari ini.

Blam.

Pintu apartemen yang sepi itu pun ditutup.