narrative writings of thesunmetmoon

113.

#gyuhaooffice

“Nih, Kak.”

Boneka kodok itu ditaruh di atas mejanya. Minghao mengerjap, terpaku di duduknya. Bola mata hitamnya berkilauan saat menatap tak lepas dari mata boneka itu. Pipinya merona. Beberapa detik berlalu damai seperti itu saja.

Mingyu menarik bibirnya membentuk senyuman, antara geli dan kagum. Mungkin ini pertama kalinya ia melihat seniornya yang galak itu tampak senang menerima hadiah darinya.

“Kakak suka boneka?”

Mendadak tersadar ada pasang mata lain menatapnya, Minghao berdeham, salah tingkah. Boneka itu dielusnya hati-hati di bagian kepala.

“Biasa aja...”

“Kalo gitu, suka kodok?”

Minghao tidak menjawab.

Mingyu tersenyum lagi. Keheningan itu sendiri adalah jawaban yang nyata baginya. Jadi, Xu Minghao suka kodok. Baiklah.

Menghela napas, Mingyu menghidupkan komputer untuk membuat laporan akan hasil meetingnya dua hari belakangan ke Bang Jihoon yang masih di HQ, ketika terdengar sayup suara orang bergumam.

”...sih.”

Rasanya ia tadi mendengar sesuatu. Perlahan, kepalanya menoleh. Yang ia temukan adalah Minghao, duduk sambil memeluk boneka kodok itu. Separuh wajah bagian bawahnya terkubur oleh lembutnya bulu boneka tersebut, berusaha menyembunyikan rasa malunya.

”......,” Mingyu mendengar dirinya sendiri berucap. “...apa, Kak, nggak kedengeran?”

Yang dibalas dengan dengusan sebal dari seniornya, sebelum kata itu terdengar kembali, dalam cicit pelan hampir tidak kedengaran (lagi), andai Mingyu tidak mendekatkan kursinya ke kursi Minghao.

”....makasih.”

__

Tenggorokannya kering.

Rasanya aneh, berterima kasih pada Kim Mingyu. Tapi, ia senang. Ia benar-benar senang. Bukan berarti teman-temannya tidak pernah memberikannya hadiah yang berhubungan dengan hal yang ia paling suka, namun, tetap saja, ia senang.

Dan Kim Mingyu memberikannya sebuah hadiah. Adalah sebuah logika umum untuk berterima kasih atas apa yang diberikan padanya.

Jantungnya berdegup aneh, menunggu reaksi dari Mingyu. Melakukan hal yang di luar sifatnya, pasti Kim Mingyu tertawa, atau sebentar lagi akan mengejeknya dalam 3, 2,

1...

?

Penasaran, Minghao menoleh.

Oh.

Kim Mingyu tersenyum padanya. Gigi taringnya terlihat. Pipi lelaki itu agak merona. Tatapnya pun...lembut sekali...seakan...seakan...

...seakan tengah menatap orang yang dia sayang...

“Nggak usah ngeliat gue kayak gitu...bisa?”

“Kayak gimana, Kak?”

“Kayak—”

('Gak butuh kalian lagi buat angetin kasur gue')

”—kayak lo ngeliatin Joshua gitu.”

Melihat ekspresi Mingyu, detik itu juga, Minghao tahu dia sudah salah bicara.