narrative writings of thesunmetmoon

122.

#soonwoo

Jadi,

Wonwoo duduk di satu sisi. Soonyoung duduk di satu sisi. Di tengah-tengah mereka, ada meja persegi. Meja itu berisikan satu roti panggang (Crispy Chicken Mentai, katanya) dalam tempat karton dan satu cup plastik isi minuman (susu dan...entahlah, warnanya hijau). Selain itu, ada sekantung besar plastik dengan banyak boks putih bertuliskan merk dagang mereka. Plastik yang buru-buru disingkirkan Soonyoung ke kursi lain ketika Wonwoo datang dengan mata menyipit curiga.

Meski begitu, Wonwoo tidak bilang apa-apa.

“Lo pesen?” Soonyoung mengalihkan perhatian ke Wonwoo. Yang ditanya hanya berdeham, lalu mengecek menu.

...

Yo wtf, roti bakar doang sebiji 30 rebu, bisa buat makan warteg 3 kali, najis mahal banget, mendingan gue beli roti bakar abang-abang yang lewat, harga cuma 8 rebu perak—

“Jeon Wonwoo?”

Ia melihat Kwon Soonyoung menelengkan kepala. Wonwoo berdeham lagi satu kali, lalu menggelengkan kepala. “Nggak usah, gue nggak laper,” selorohnya.

“Yakin? Kalo lo mau—”

“Nggak. Gue nggak laper.”

“Tapi—”

“Nggak.”

Gruukkk

Otomatis, keduanya terdiam.

”...”

”...”

”...Err—”

“Nggak.“

Hening lagi. Apalagi, kini Wonwoo melipat lengan di dada dan membuang muka, berusaha menyembunyikan rasa malu akibat bunyi perutnya. Soonyoung seharusnya tidak merasa tindakan itu menggemaskan, lebih ke arah menyebalkan, tapi entah bagaimana, ia merasa tindakan itu menggemaskan, meski itu Jeon Wonwoo sekalipun.

“Gimana,” ia berbicara lagi dengan hati-hati, takut salah sedikit dan kembali memulai semua dari nol lagi. Berinteraksi dengan Jeon Wonwoo seperti berjalan di atas lembar es yang rapuh. Sesuatu yang tidak pernah ia temukan sebelumnya dari interaksi bersama orang lain. “Kalo tiap lo jawab pertanyaan gue, gue bayar 10 ribu?”

Ia mendelik menatap Kwon Soonyoung. “Maksud lo?” penasaran juga.

“Iya, jadi...gue mau tanya beberapa hal sama lo, tapi sebagai bayaran informasi itu, gue hargain 10 ribu...?”

Kini, Wonwoo memandanginya, agak lama sampai Soonyoung pun menunduk, menjadi ragu.

“Ntar lo nanya aneh-aneh,” gumam lelaki berkacamata itu.

“Eng—enggak! Yang 10 ribu cuma bisa nanya yang remeh-remeh aja! K-kalo lebih personal, boleh lebih mahal. Lo aja yang nentuin harganya berapa,” jelas Soonyoung.

Satu alis Wonwoo menukik.

“D-dan, kalo gue udah tanya dan lo nggak mau jawab, jatohnya gue tetep bayar.”

“Deal,” cepet banget dia jawabnya.

Diam-diam, Soonyoung merasa lega. Ia pun tersenyum timpang. “Oke,” ucapnya. “Mm, lo...udah makan?”

Jeon Wonwoo menggeleng.

“Oke. Mm, mau roti?”

Jeon Wonwoo mengangguk.

“Suka rasa apa?”

Ia mengangkat wajah, meneliti menu sekali lagi (dan kali ini tidak berfokus pada harga semata). “Spicy bulgogi,” akhirnya ia menjawab.

“Oke,” Soonyoung pun beranjak dari duduk. “Tiga pertanyaan, 30 ribu. Bentar ya.” Ia mengarah ke kasir.

“Gue enggak—”

“Ini duit lo, bayaran gue ke elo, bukan ngutang,” lalu, Soonyoung tersadar. “Eh, tapi kalo lo mau pake buat beli makanan lain—”

Jeon Wonwoo berpikir, kemudian menggeleng. “Nggak pa-pa,” satu ucap dan ia balik menekuni hapenya, membiarkan Kwon Soonyoung lanjut ke kasir dengan pesanannya.