narrative writings of thesunmetmoon

123.

#soonwoo

“Nggak paham.”

Soonyoung merengut. “Tapi kan enak...,” protesnya.

Tiga puluh rebu perak buat roti, dikit daging sama sayuran. Buang-buang duit aja,” Jeon Wonwoo berdecak. Ia berkata seolah ia tidak menghabiskan Spicy Bulgogi Toastnya dalam beberapa menit.

Soonyoung masih menggerogoti sisa-sisa rotinya yang terakhir, sementara Wonwoo menumpangkan satu kaki ke lutut dan melipat lengan di dada sambil bersandar ke kursi, ketika argumen mereka yang ini dimulai.

Tiga puluh rebu perak sama harganya sama burger di mall. Ini lebih ngenyangin dan ada sayurannya! Coba beli mekdi, palingan dikasih acar tipis selembar doang,” Soonyoung yang keras kepala tidak mau mengalah.

Jeon Wonwoo memajukan badan, menatap lelaki itu dengan serius. “Tiga puluh rebu perak,” desisnya. “Bisa dapet steak daging wagyu di Hypermart plus masih dapet kembalian sembilan rebu perak yang bisa lo pake buat beli saos barbequenya Del Monte sekalian. Daripada cuma makan daging segini, mendingan gue pake duit yang sama buat beli steak sama saosnya.”

Soonyoung membuka mulut, terpana, lalu, menyadari tidak ada satu patah kata pun yang bisa ia keluarkan sebagai argumen balasan, ia pun menutupnya.

“Curang,” gumamnya kesal. “Gue kan nggak tau soal itu...”

Wonwoo meringis. Ia merasa puas karena sudah memenangkan debat kusir siang ini. Punggungnya kembali merebah santai di kursi. “Makanya coba belanja bulanan di diskon-diskonan gitu. Tau harga sedikit. Keseringan belanja di Food Hall sih lo,” selorohnya sok tahu.

”...gue gak pernah belanja bulanan.”

“Ha?”

“Gue nggak pernah belanja bulanan,” Soonyoung menyeruput susu bersirup hijaunya. “Gue tau sih Hypermart dan Food Hall, tapi nggak pernah ikut belanja bulanan juga, jadi nggak tau harga gituan juga.”

“Terus yang belanja siapa?”

“Uh, ada mbak...,” ia tidak mau Jeon Wonwoo tahu bahwa rumah pribadinya saja memiliki kepala pelayan dan gerombolan pelayan lainnya untuk memastikan rumah selalu dalam keadaan bersih. Soonyoung merasa malu karena ia tak sanggup mengurusi bahkan dirinya sendiri, tidak seperti Jeon Wonwoo.

“Ooh, mbak sama bonyok lo yang belanja?”

“I-iya...,” bukan juga sih, tapi iyain aja biar cepet.

Kemudian, meja kembali hening selain bunyi serodotan minuman sampai habis. Wonwoo mengecek jam di hapenya, lalu memasukkan botol air putih kembali ke tas ranselnya. “Gue ada kelas,” ucapnya.

“Ah. Oh, o-oke,” Soonyoung langsung duduk dengan tegak. “Eng...makasih yah hari ini udah nemenin gue makan lagi.”

“Mm.”

“Besok lo ada kelas?”

Ia menggeleng.

“Ah...oke...sori. See you again then,” ia menunduk. Sedikit kecewa.

Jeon Wonwoo tidak berkata apapun. Alih-alih, ia bangkit berdiri. Ia hendak melangkah menuju pintu, tapi tertahan oleh Kwon Soonyoung yang memanggilnya lagi.

“Ah! Sori! Ini! Gue lupa!”

Ia menoleh, mengernyit dalam pertanyaan. Dilihatnya Kwon Soonyoung mengulurkan plastik yang disembunyikannya ketika ia masuk toko tadi. Plastik bening dengan banyak kotak putih di dalamnya. Ia tahu kotak apa itu kini. Kotak berisikan roti yang sama yang ia baru saja makan.

“Nggak—” —perlu.

“B-BUKAN BUAT LO!” sontak, Soonyoung memotong, membuat Wonwoo kaget. “I-ini dari J-Joshua! Iya, dari Joshua! B-buat, eng, buat pacarnya, eh, C-Choi Seungcheol! D-dia nitip ke gue, tapi gue nggak kenal deket sama dia, jadi gue nitip sama lo! Eng, iya, n-nitip ke elo ya, emm—”

“Nggak gratis.”

Entah Soonyoung harus merasa lega atau bagaimana, tapi ia akan menerima apapun reaksi Jeon Wonwoo asalkan bukan yang negatif. Dengan cepat, Soonyoung mendongak. Mata mereka bertemu.

“Iya! Eng, oke, tentuin aja berapa...”

“Sejuta,” ucap Wonwoo. “Ongkir.”

Ia membuka mulut untuk setuju, tetapi otaknya berpikir sejenak, kemudian ia melanjutkan, “Sejuta lima ratus, tapi lo harus ambil at least tiga boks dari sini.”

Kening Wonwoo mengerut lagi.

“Gue nggak mau makan.”

“Nggak apa. Asal lo ambil aja.”

Hening, lagi. Soonyoung menelan ludah diam-diam.

”...Buang-buang duit begini, untungnya apaan sih buat elo?”

Sayangnya, Soonyoung tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Wonwoo pun menghela napas, kemudian mengambil kantung plastik yang diulurkan padanya itu. Bila tangan mereka bersentuhan sejenak, keduanya tidak mengambil pusing akan hal itu.

“Ini aja kan?”

Soonyoung mengangguk. Wonwoo balas mengangguk, lalu pergi meninggalkan lelaki itu untuk mengejar kelas siangnya.