128.
Pintu kamar terbuka dan keluarlah Kim Mingyu. Kaus hitam pas di badan, celana training hitam, dan handuk bertengger di kepala. Rambutnya kusut masai serta masih basah.
“Udah mesen makanannya, Kak?”
Ia mendekati televisi kabel untuk menghidupkannya, mencari saluran yang menarik. Menyadari Minghao masih menatapnya, Mingyu menoleh dan tersenyum, agak meminta maaf.
“Sori lama ya, Kak, gue mandi dulu tadi. Mendadak gerah.”
Padahal bukan itu yang Minghao pikirkan.
“Mingyu.”
“Ya?”
“Sini.”
”?”
“Sini nunduk.”
Bingung, Mingyu membungkuk, menuruti gestur tangan Minghao yang menyuruhnya mendekat, sebelum tangan itu menarik handuk di kepalanya, memaksanya semakin merunduk tanpa terduga
“Woah-?!“
Bola matanya melebar ketika Xu Minghao mengambil alih handuk itu untuk mulai mengeringkan rambutnya. Posisi mereka, dimana Minghao duduk di sofa dengan Mingyu berdiri di sampingnya, membungkuk ke arahnya hingga pandangan mereka sejajar, pun tak membantu menenangkan detak jantungnya.
“Kalo seka rambut tuh yang bener,” decak seniornya itu, sembari mengusrek sampai tak ada bulir air tersisa di rambut Mingyu. “Sampe kering. Kalo enggak, entar masuk angin.”
”.....”
Dia jelas diam saja. Setelah yakin hasil pekerjaannya sempurna, Minghao mendengus puas, lalu menarik handuk dari kepala Mingyu, yang kemudian meluncur jatuh ke lantai begitu saja.
....Oh.
Salah langkah. Minghao meneguk ludah diam-diam. Ia terlalu terbiasa dengan sosok Kim Mingyu yang menyisir rapi rambutnya dalam gaya konvensional, sehingga Mingyu yang di hadapannya kali ini, rambut berantakan dan poni dibiarkan kacau, tetes air yang menuruni lehernya, berpakaian kasual dengan kaus berkerah rendah yang amat, sangat pas di badannya fuck how can someone has that kind of upper body this world is a bitch for equality huh, membuatnya membeku di tempat. Secara harfiah.
Mereka saling berpandangan untuk beberapa saat. Bunyi yang menyelinap di antara mereka hanyalah yang berasal dari televisi, sesuatu mengenai seseorang menangkap pelaku dari sebuah kasus yang melibatkan skala internasional. Bebunyian yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
Mingyu mengangkat tangan dan menyisir poninya ke belakang. Gerak mata Minghao mengikuti tangannya. Ia sadar akan itu. Ia pun sadar, dan berani bersumpah, bahwa ia menangkap setitik rasa haus dalam tatapan seniornya itu. Ada desir aneh tersulut saat itu, detik itu, di antara kedua insan.
Sampai, pada akhirnya, Kim Mingyu memajukan wajahnya sedikit lagi untuk berbisik padanya,
“Makasih, Kak.”
Kemudian, senyuman, lengkap dengan taring yang menggemaskan itu.
...Fuck.
Minghao refleks membuang muka. Tangannya mendorong Mingyu sedikit, meminta jarak kembali darinya. Wajah Minghao terlalap rona merah hingga ke belakang telinganya, membuat Mingyu tersenyum semakin lebar. Lelaki itu sendiri tersipu senang.
“S-sori—bukan—gue enggak maksud—” terbata-bata, Minghao, sebuah fenomena baru.
Fuck.
Fuck, fuck, fuck, what the fuck did I just do???
Menangkup pipinya sendiri, Minghao bisa merasakan panas menguar dari pori-pori kulitnya. Otaknya masih berputar, mencari alasan logis perbuatannya barusan (atau, yang lebih masuk akal, kesambet apa dia barusan??). Luput melihat Mingyu yang membungkuk untuk mengambil handuk di lantai, lalu membawanya kembali ke kamar mandi. Setelah itu, ia menyisir rambutnya.
Saat ia kembali, Minghao masih duduk melungkar di atas sofa, dua kakinya naik, sementara air mukanya jelas masih kebingungan, panik. Mingyu menghela napas.
“Santai sih, Kak,” dengan tawa ringan, Mingyu duduk di sampingnya. Pura-pura tertarik dengan acara yang sedang ditayangkan. “Seriusan, makasih himbauannya. Mulai besok gue keringin rambut yang bener deh.”
Diam.
“Kakak mau minum?”
Masih diam.
”....Kakak tau soal gue sama Joshua udah seberapa banyak?”
Jantung Minghao berdegup ngilu.