narrative writings of thesunmetmoon

13.

#soonwoo

Nggak tau gimana, tapi kalo Soonyoung udah ngumpul bareng Seokmin, terus nggak sengaja ketemu Seungkwan pula, sohiban Seokmin yang satu tingkat sama dia, wah udahlah abis dah tuh satu kantin jadi ajang playground. Kekadang jadi area bom bom kar, kekadang jadi area bermain anak di kaepce kemang, dan sejenisnya.

Hari ini, mendadak kantin itu disulap jadi area softball GBK (iya, yang di pengkolan persis seberang fX, yang layar gedenya pernah nayangin iklan temukan para om Arashi itu lho). Meski cukup banyak mahasiswa yang sedang makan, namun mereka tak begitu peduli akan tingkah laku Three Stooges tersebut. Malah, mereka ikut terkekeh melihat kegoblogan mereka.

(“Lucu sih. Goblognya alamiah, gitu, nggak dibuat-buat.” – Testimoni #1)

(“Orang ganteng mah bebas.” – Testimoni #2)

“Siapp yaa, gue lempar yaaa???”

“Ou!” Soonyong mengarahkan tongkat baseballnya (sebenernya cuma majalah dia gulung kok) ke atas, persis ke belakang Seungkwan. Tanda sebuah home run. Ia meringis lebar. “Come at me, bro.”

(Sok keren lu anyink)

Dari balik Soonyoung yang terus bergerak mencari kuda-kuda yang enak, Seokmin berjongkok dan membentuk beberapa isyarat dengan jemarinya di antara selangkangan. Seungkwan mengangguk-angguk seakan paham (padahal enggak sama sekali) dan Seokmin menatapnya serius, lalu mengangguk, yakin bahwa Seungkwan paham (padahal dia sendiri ngasih tanda ngasal).

(Salah satu anak tim baseball yang kebetulan nonton cuma bisa 🙄 aja)

Peluh menitik dari kening Soonyoung karena tegang. Mata macannya menelisik tajam, berusaha membaca gerak-gerik terkecil dari tubuh Seungkwan. Apakah anak itu akan melempar fast ball? Curve ball? Slider? Slurve?? Karena Seungkwan tidak pakai mitt, maka Soonyoung bisa melihat bola di genggaman tangannya. Seungkwan bersiap. Soonyoung menelan ludah. Seokmin di belakang siap menangkap bola tersebut dengan mittnya. Matanya awas.

Deg, deg.

Seungkwan mengangkat satu kakinya tinggi. Soonyoung menarik pemukulnya sedikit. Genggamannya pada majalah itu mengerat.

Deg, deg.

Tiga, dua...

Deg.

...satu.

Syut!

Bets!

KROMPYANG!

”.....,” Wonwoo termenung. Baki berisikan sepiring nasi pake ayam goreng, lengkap dengan tahu, tempe, lalapan, sambal uleg, semangkok kecil sayur asam, dan segelas es teh manis baru saja jatuh dari tangannya. Semua pecah berantakan persis di bawah kakinya akibat hantaman bola nyasar. Karena baru dapat pemasukan lumayan banyak, ia memutuskan untuk sedikit berfoya-foya dengan memesan paket super lengkap. Apalagi tadi Wonwoo melihat ikan asin jambal roti dan meminta si ibu tambahin potongan kecil ikan itu ke nasinya.

Dan ibunya kasih dia gratis.

Ikan asin jambal roti gratis....yang nasibnya sungguh malang.

“Sori! Lo nggak pa-pa, kan??”

Ikan asin jambal roti GRATIS Wonwoo...

Mendadak, ia mendongak. Parasnya tetap tenang meski kedua alisnya menukik tajam. Ia mendorong bagian tengah kacamatanya, memperhatikan baik-baik wajah sang pelaku. Si pendosa. Si sub. Dia petakan seksama ke dalam ingatannya, sebuah wajah mirip hamster itu.

“Ada yang luka nggak?? Soriii banget, gue—”

“Nasi, 2 ribu.”

”...........Ha?”

“Nasi, 2 ribu. Ayam goreng, 13 ribu. Tahu seribu. Tempe seribu. Lalapan seribu. Sambel seribu. Sayur asem 4 ribu. Es teh manis 3 ribu. Piring si ibu 5 ribu. Mangkoknya 5 ribu. Gelasnya 5 ribu. Es batunya seribu. Bakinya 5 ribu. DAN IKAN ASIN JAMBALNYA 5 JUTA. AYO BAYAR!”

Wonwoo ngamuk. Soonyoung bengong. Juned, di samping Wonwoo, bengong. Seokmin dan Seungkwan bengong. Seisi kantin bengong.

“BAYAR, ANJING! INI TUH KANTIN, BUKAN TEMPAT MAIN KALIAN! BAYAR ATO—”

“Berapa...?”

Kalimat Wonwoo terputus. Soonyoung mengangguk, kemudian ngeluarin hapenya.

“Ikan asin 5 juta, noted. Semua yang kecil-kecil lo sebut, gue jadiin sejuta aja ya semua. Jadi 6 juta,” anak itu mulai mengetik. “Nomor rekening lo berapa?”

...Oh. Oh, Wonwoo tahu jenis anak muka hamster itu. Jenis paling buruk yang pernah dibiarkan hidup di muka bumi ini.

Orang tajir.

“Oi, berapa nomer rek—”

DUG!!

Ditendangnya Soonyoung hingga terjerembab ke belakang. Kaget, Seokmin dan Seungkwan segera membantu temannya itu. “Bangsad,” decak lidah Wonwoo. “Orang tajir sampah. Lo bersihin ini semua dan lo ganti semua ke ibu di ayam goreng. Gue nggak mau tau. Lo udah buat tuh makanan jadi mubazir. “

“Ah, oi! WON!” Jun menoleh ke Wonwoo yang sudah melengos pergi dan ke anak yang ditendangnya barusan. “Sori ya! Sori banget! WONU!! WOI ANJENG!! TUNGGUIN GUE!!”

“Adududuh...”

“Bang, lu nggak pa-pa?”

“Asli! Kasar banget sih tuh orang! Pantesan aja namanya jelek di anak-anak!”

“Siapa sih tuh, Kwan?” tanya Seokmin.

“Namanya Jeon Wonwoo.”

“OH!” Seokmin menarik napas. “Jeon Wonwoo?? Tau gue! Yang pelit itu kan??”

“Pelit...?” meringis kesakitan, Soonyoung mengelus perutnya yang kena tendang. “Emang dia sepelit itu ya sampe terkenal gitu?”

“Iya,” Seungkwan mengangguk. “Dan dia paling benci orang tajir kayak lu, Nyong.”