136.
Selamat pagi dan siang sekaligus, Hao. Maaf ya saya buatin makan pagi dan makan siangnya barengan, soalnya siang nanti saya bakal keluar kantor. Mungkin nanti bisa Hao hangatkan makan siangnya di microwave? Semoga Hao suka ya. Maaf sekali lagi > <
Dan, maaf, untuk nama...saya belum siap. Mungkin nanti. Suatu saat. Serius, untuk sekarang, kita begini aja dulu ya? Nggak apa-apakah? Maafin saya...
Pai dagingnya enak. Dan sekali lihat, dia tahu makan siangnya berupa nasi ayam Hainan (tentunya, satu set lengkap: bagian paha ayam yang direbus dengan parutan jahe, nasi Hainan, kuah gurih, kondimen, dan tumis baby bok choy dengan bawang putih) pasti akan sama lezatnya, jika tidak lebih. Namun, Minghao membaca post-it pagi itu dengan kerut tak suka.
Dia pun membalas:
Tolong jangan minta maaf. Tolong jangan pernah minta maaf ke saya mengenai masakan kamu. Justru saya yang ngerepotin kamu selama ini. Kalopun ada yang harus minta maaf, itu saya.
Baik kalo nyamannya kamu begitu. Saya sejujurnya pingin kenal sama kamu. Pingin terima kasih langsung ke kamu untuk kebaikan kamu selama ini ke saya, tapi di atas saya, kenyamanan kamu jauh lebih penting. Maaf, saya udah minta aneh-aneh.
Tapi kalo kamu siap buka jati diri kamu, ketahuilah, saya selalu menanti.
Banyak yang pingin saya tanyain langsung ke kamu. I hope that time is soon.
“Kak, ntar siang makan di mana?”
Itu Mingyu. Sedikit rona merah kembali mewarnai pipi Minghao, mengingat apa yang terjadi di kost Mingyu hari Jumat kemarin, tapi dengan cepat ia menggelengkan kepala, menyingkirkannya keluar dari ingatan.
Minghao mengangkat kotak makan siangnya.
“Aah...secret admirer Kakak lagi ya...,” ada nada iri di ucapannya. “Enak banget, Kak. Kekapan bagi ke gue lah, cobain. Seenak apa sih, jadi penasaran gue.” Kemudian, ia meringis.
Minghao mengedikkan bahu. “Kalo mau makan bareng juga nggak apa-apa, kok, gue tinggal angetin aja di microwave terus nemenin lo,” tawarnya.
Mingyu menaikkan alis.
“Apa nggak apa tuh, Kak?”
”? Emang kenapa?”
“Enggak...,” Mingyu mengalihkan pandangan. “Ya udah, kalo Kakak nggak keberatan. Ntar maksi temenin gue ya, Kak.”
“Oke,” jawabnya santai. “Gue ajak Chan ato temen-temen gue, boleh?”
“Hmm?” jeda sedetik. “Oh. Boleh.”
“Oke.”
Minghao melahap sisa pai daging di tangannya sambil mengetik email balasan ke klien. Bunyi kunyahan remah pastry, tuts keyboard ditekan dan dering pelan telepon memenuhi kubikel mereka.
“Mingyu.”
“Ya, Kak?”
“Hao.“
Mingyu mendadak bungkam. Minghao menatap matanya.
“H-a-o,” ulangnya.
Kim Mingyu mengusap wajahnya, sebelum menghela napas. Mulutnya membuka, menutup, sementara Minghao menanti.
”........................Hao.........”
Melihat bagaimana lelaki itu membekap bagian bawah wajahnya, sementara pipinya memerah, membuat Minghao tersenyum lebar. Dengan tulus merasa senang.