narrative writings of thesunmetmoon

139.

#soonwoo

Entah karena pengaruh keberadaan Jihoon atau bukan, yang pasti Kwon Soonyoung lebih diem hari ini. Baguslah, batin Wonwoo. Setidaknya makan siang kali ini bisa lebih tenang dan dia nggak dibombardir pertanyaan demi pertanyaan like usual.

Mereka bertiga duduk di meja kantin, persis di depan mas-mas tteokbokki. Ketika dia dan Jihoon sampai tadi, sudah ada tiga mangkok kertas isi makanan tersebut di atas meja. Satu ditaruh di depan Kwon Soonyoung, dua sisanya dibiarkan berada di tengah meja tanpa penjelasan apapun. Warna kuahnya merah kental dan dibalur begitu banyak keju (yang kayaknya nggak mungkin kecuali si Kwon minta extra extra dari extra cheese pas pesen tadi).

Jihoon melihat ke mangkok kertas itu, lalu ke arah Wonwoo. Dia cuma bales menatap Jihoon dengan pandangan seolah ingin bilang 'paham kan lo sekarang?' sebelum mengambil tempat di seberang Soonyoung. Jihoon kemudian ikut duduk di samping Wonwoo.

“Apa nih?”

“Eng, tteokbokki. Makanan Korea...,” anak yang ditanya meringis tak yakin. “Gue lagi pengen makan Korea...”

“Pedes ya?” Wonwoo mengernyit hinga hidungnya ikut mengerut. Cium bau makanan emang nggak sopan, tapi penampakannya yang merah kental agak nyeremin buat mereka yang belum pernah cobain.

“Agak,” makin nggak yakin lah Kwon Soonyoung. “Uh, lo nggak suka makanan pedes?”

“Ikan?”

“Hah?”

“Wonu nggak bisa makan seafood kalo dibuat jadi ginian,” Jihoon di luar dugaan menimpali. Pandangan dua orang lainnya kini jatuh ke dia. “Nggak suka bau sama teksturnya, katanya. Jadi kalo ada—”

“OH! Oh, enggak kok! Eng-itu enggak ada. Seafood, maksudnya,” segera, Soonyoung menyanggah. Kedua tangan mengibas-ngibas bebas di udara, agak panik. “Dia dari tepung beras? Kenyel-kenyel gitu. Kayak kalo makan pempek lenjer tapi less kenyel. Ini merah kuahnya juga dari bumbu cabe gitu, tapi nggak sepedes itu sih. Spicy, agak manis, bukan pedes cabe. Eh, eng, tapi kalo nggak suka...”

Ogah menunggu mulut itu berhenti ngomong, Wonwoo mengambil sendok lalu menciduk kuahnya sedikit. Ia menyeruputnya dengan berisik, membuat Kwon Soonyoung bungkam seketika, lalu mencecap beberapa kali. “Pedes juga sih,” lidah Wonwoo keluar sedikit. “Tapi bener, bukan pedes cabe kayak sambel gitu. Agak asin gegara kejunya. Dan nggak ada bau amis.”

Mendengar itu, wajah Kwon Soonyoung mencerah.

“Jadi—”

“Gue pesen mie rebus aja. Enak juga pake telor sama daon bawang. Lo mau apa, Ji?”

Wonwoo berdiri. Bagai balon yang kempes, Soonyoung langsung merunduk. Bahunya turun, sementara kepalanya menunduk. Gagal lagi membelikan Jeon Wonwoo makanan. Dasar keras kepala. Padahal, selama ini, tidak ada satu orang pun menolak kalau Soonyoung traktir. Mungkin justru itu satu-satunya cara terampuh yang ia tahu sanggup membahagiakan orang lain tanpa effort berlebih. Jarang ada orang yang nggak bahagia bila perutnya bahagia.

Kecuali Jeon Wonwoo.

“Gue makan ini aja nggak papa,” terdengar suara menjawab pertanyaan barusan. “Ini traktiran buat gue kan? Dua-duanya?”

Soonyoung mendongak, menemukan wajah yang menatapnya kalem tanpa emosi tertentu. Temen Wonwoo itu tidak tertawa, tidak tersenyum ramah. Dia cuma menatap balik, mengangguk satu kali, lalu mengambil salah satu mangkok kertas dari tengah meja. Dengan bunyi 'klak', sumpit kayu di tangan Jihoon terlepas.

“Itadaki.”

Ujung bibir Kwon Soonyoung berkedut sedikit, membentuk senyuman.