14.
Ada anjing besar yang dipungut bosnya, terus sekarang lagi whining di kubikel sebelahnya. Ganggu. Ganggu banget. Xu Minghao mengetuk-ngetukkan jarinya, menahan agar tetap sabar dan tidak termakan hasrat untuk mendiamkan anjing besar itu selamanya.
“BERISIK AH!”
Ah, kaum sumbu pendek, dia.
“Abisan~” Mingyu manyun. Apabila ia betul anjing, mungkin sudah mendengking menyedihkan seakan-akan Minghao adalah majikannya yang melarangnya bermanja-manja. “Kakak kok blok aku~ Aku ada salah apa sama Kakak~” Pipinya ia tempelkan ke meja sambil menatap Minghao. “Angkat dong bloknya, Kak~ Aku kan cuma nawarin, kalo Kakak mau panggil-panggilan Ayah-Pa—mmmhhp!“
“Bisa diem nggak sih?” panik, Minghao melihat ke sekeliling sambil membekap mulut Mingyu. Syukurlah, di jam tiga sore itu, suasana kantor antara sedang fokus pada pekerjaan masing-masing, atau terkantuk-kantuk oleh udara Jakarta yang hangat di bulan November (sebelum hujan turun kira-kira dua jam kemudian dan membuat gusar pekerja kantor kawasan Sudirman yang letih), sehingga tak ada yang menaruh perhatian pada pertengkaran kecil tersebut.
Mingyu, pandangannya melembut, mendadak saja, sengaja mengecup telapak tangan Minghao yang membekap mulutnya.
”!!”
Minghao refleks menarik kasar tangannya. Mata membelalak galak, mengunci tatap dengan Mingyu. Bukannya mengerut takut, Mingyu malah meringis jahil.
“Beneran lho, Kak,” ujarnya pelan, hampir tak terdengar andai saja fokus Minghao tidak sedang berpusat padanya. “Kakak minta apapun juga aku kasih.”
Saking kagetnya, Minghao perlu waktu dua menit untuk kembali ke dirinya yang biasa. Ia mengambil tissue, mengelap telapak yang dicium Mingyu dengan jijik, lalu dilemparnya tissue itu ke muka Mingyu. Yang dilempar spontan membuang muka, membiarkan tissuenya mengenai pipi.
“Oh ya? Kalo gitu, gue minta lo nggak deketin gue lagi. Bisa?“
Mingyu diam saja. Dari bunyi keras tuts keyboardnya, Mingyu tahu ia telah membuat Xu Minghao murka.
Heh, batinnya. Bagus.