141.
Perhatian, perhatian. Api telah menjalar dari lantai 5. Api telah menjalar dari lantai 5. Mohon mengikuti instruksi evakuasi dari para petugas lantai dan harap tetap tenang. Bagi tenant di lantai 11 dan 21, harap turun sekarang—
“Ah, shit!” Bang Jihoon melempar mousenya. “Sori. Gue lagi ngerjain report final dan mau selesai dikit lagi. Fucking HRD should've told us kalo mau ada latihan kebakaran!”
“Deadline jam berapa, Bang?”
Bosnya mengangkat satu jari telunjuk. Sekarang jam 11 siang. Latihan ini paling lama juga setengah jam. Balik-balik, ada sisa setengah jam lagi sebelum istirahat makan siang.
“Bisa lah, Bang. Kalo lo nggak makan siang,” canda Minghao.
“Anjing lu.”
“Bang Jihoon mau gue beliin makan siang sekalian? Gue sama Bang Minki mau kabur duluan aja,” tawar Mingyu. Dia tidak menawarkan Minghao karena, seperti biasa, seniornya itu sudah punya makan siang dari pengagum rahasianya (hari ini sepertinya BLT sandwich, potato wedges dan caesar salad; dengar menunya saja, air liur Mingyu sudah terbit, sial).
“Boleh,” bos tim mereka itu pun ikut beranjak. Lampu sudah dipadamkan, begitu pun pendingin ruangan sentral. Beberapa karyawan wanita mengambil dompet dan handphone. Yang hamil dipersilakan duduk di tempat. Pintu-pintu dibuka, sementara para petugas lantai bekerjasama dengan satpam gedung membuat jalur evakuasi ke arah tangga-tangga darurat. “Gue mau yang gampang. Arby's di seberang.”
“Arby's udah nggak ada, Bang,” kekeh Mingyu.
“Hah?”
“Ganti jadi Raffel's kan.”
“Oh,” Jihoon mengucek matanya. “Oh iya. Udah ganti nama ya.” Kini mereka berempat berjalan tenang menuju tangga darurat. Minghao bersama Minki, Mingyu dengan Jihoon.
“Lo nggak tidur lagi semalem, Bang?”
“Auk dah,” seloroh Jihoon. “Pegel gue. Dah, nggak usah tanya-tanya lagi. Gimana klien minggu lalu?”
“Beres dong. Btw, telpon gue lah, Bang, ntar gue ninaboboin,” ringis Mingyu, sambil merangkul pundak Jihoon. Dari belakang tampak lucu, perbedaan tinggi mereka.
“Najis. Anjing,” gusar, Jihoon menghalau lengan-lengan itu, membuat Mingyu tertawa.
Di belakang mereka, Minghao mengerutkan alis.
Mereka sudah menuruni beberapa anak tangga darurat, ketika Minghao sadar makan siangnya ketinggalan. Ia buru-buru berputar.
“Ya udah sih, Hao, makannya ntar sore ato malem aja, simpen di kulkas pantry?” Minki mendecak, sementara Jihoon dan Mingyu juga berhenti, berbalik memandangi mereka.
“Nggak bisa, Bang, ini kan hadiah yang penting!”
“Emang orang yang ngasih juga penting?”
Minghao berbalik, memandang marah ke Bang Minki. “Ya penting lah!” bentaknya. “Duluan aja gih, kalo lo semua nggak mau nunggu!” Berkata begitu, Minghao lari kembali ke mejanya. Tepatnya ke kotak makan dengan post-it hari ini:
Well noted, Hao. I hope too that the time will be soon. Hari ini makanan yang cukup ringan, I hope it is enough for you. Saya dapat banyak sekali sayuran. Kebetulan ada teman habis balik pulang kampung, lalu kirim sayur-sayuran ke tempat saya. Segar-segar deh.
Besok saya buatin sekotak bento lucu gitu mau nggak? Saya mau eksperimen. Kemarin baru beli bento decorating kit. Ah, tapi kalo Hao malu, nggak apa kok. Saya nggak maksa.
Btw, saya kasih sekantong kue kering coklat buatan saya juga. Cobain deh. Kata orang-orang, enak. Penasaran reaksi kamu.
Karena tak sempat, Hao mengambil pulpen dan post-it bersama dengan makan siangnya. Ia harus memakannya dulu baru bisa menulis post-it balasan. Ia kembali melangkah ke tangga darurat, berharap ketiga orang itu betul sudah turun.
“Udah?”
Langkahnya berhenti.
“Mingyu.“
Si lelaki besar tegak lagi dari posisi jongkok. Ditepisnya debu dari celana. “Bang Jihoon sama Bang Minki duluan. Yok buruan,” tersenyum, dengan kedua tangan masuk saku, Mingyu menuruni tangga. Minghao pun menyusulnya.
”....Nih kalo kebakaran beneran, lo sama gue udah mati bareng kali ya,” ketus Minghao.
Mingyu hanya tertawa.
“That's totally fine by me,” selorohnya.