narrative writings of thesunmetmoon

141.

#minwonabo

Wonwoo bermimpi. Di dalam mimpinya, ia bisa melihat dirinya sendiri, mengguratkan jari-jemari hingga kuku-kukunya patah dan mememarkan darah di tembok yang dingin dan kokoh. Mengemis, memukul, mendorong, namun tembok itu bergeming. Di dalam mimpinya, ia menangis dan menangis.

Dan menangis.

Lalu gelap. Kegelapan yang teramat panjang. Dia tidak tahu apakah jam telah berganti hari semenjak ia melepas kepergian Soonyoung. Ingatannya terakhir akan makanan adalah roti bakar dengan telur orak-arik buatan sang Beta. Dipaksanya makan sampai habis walau tak berselera.

Apa dia makan makanan lain setelahnya?

Ia ingat merajang air untuk menuang secangkir teh.

Dalam kesunyian.

Menanti Mingyu pulang.

.....

...Oh.

Oh ya. Ia ingat. Mingyu tidak pulang. Mingyu tidak akan pulang. Takkan pernah kembali padanya. Seperti dahulu. Kejadian lama terulang lagi.

Jadi, karena Mingyu tidak pulang, maka untuk apa Wonwoo harus membuka mata?

Untuk apa...

“Ngh...,”

Hangat terasa. Lalu, sesuatu yang segar memasuki kerongkongannya. Oh, oh, dia membutuhkan ini. Air. Rasanya ia sudah kehausan berabad lamanya. Refleks, ia mengejar air itu, meneguk bersemangat. Namun tidak lama, air itu pun menghilang. Wonwoo mengerang protes. Ia masih haus.

Sampai kemudian air itu datang lagi. Ia meneguk lagi dengan bahagia, memuaskan dahaga yang selama ini ditahannya. Perlahan, amat perlahan, di antara demam tinggi dan pusing akibat dehidrasi, kelopak matanya membuka.

“Won..”

Bulir-bulir air mata jatuh dari pelupuk ketika dilihatnya wajah khawatir sang Alpha.

“Mingyu pulang...,” desahnya, sambil berusaha tersenyum susah payah untuk menyambut Alpha-nya. “...Kamu pulang..”

It broke his damn heart. Mingyu mendekap Wonwoo lebih erat. Ia tengah duduk di tempat tidur, mengangkat tubuh lemas sang Omega ke dalam pelukannya. Kepala Wonwoo ia rebahkan ke sisi lehernya, persis di bagian scent gland, agar Wonwoo bisa menghirupnya dalam-dalam. Agar Wonwoo merasa tenang oleh bau Alpha yang kuat, yang sarat akan keinginan untuk melindungi Omega-nya.

Mingyu mengulurkan tangan ke nakas, meraih gelas bening berisikan air yang tadi ia minumkan ke Wonwoo. Ia tenggak lagi banyak-banyak, kemudian, mengelus bibir bawah Wonwoo sesaat, dilekatkannya bibir mereka berdua. Lidah membuka jalan bagi air segar mengalir masuk, yang diteguk Wonwoo sampai habis tak bersisa. Dan, ketika air itu habis, bibir dan lidah mereka enggan terlepas. Walau lemah, rasa Wonwoo sama seperti wanginya. Lezat. Ia berusaha menemukan lebih banyak lagi, namun mengalah ketika Wonwoo menggamit pelan lengan bajunya.

Ciuman itu terlepas dengan keduanya mereguk udara. Mingyu menangkup pipi Wonwoo, mengelusnya lembut.

“Syukurlah...,” Wonwoo mendusel telapak tangan Alpha-nya yang besar. “Saya pikir Mingyu benci saya...” Hidungnya menghirup pergelangan tangan Mingyu, mencari-cari aroma buku yang ia rindu. “Syukurlah...”

“Aku nggak benci kamu...,” suara Mingyu pecah oleh kesedihan yang ia tahan sedari tadi, semenjak ia memasuki kamar Wonwoo dan menemukan Omega itu dalam keadaan yang mengenaskan. “Aku nggak akan pernah benci kamu, Won...”

Berbagai perasaan berkecamuk dalam dadanya. Kemarahan. Kesedihan. Keinginan untuk membawa Wonwoo ke kamarnya, dipenuhi baunya, jauh dari mata dunia. Keposesifan. Frustasi.

Dan rasa bersalah.

“Mingyu nggak marah sama saya...?”

“Nggak...”

“Nggak benci saya...?”

Mingyu hampir menangis.

“Nggak........”

“Mingyu bakal pulang lagi ke sini...?”

Mendengar itu, ia mati-matian menelan ludah dan air mata yang mengancam turun. Mingyu mengecup pipi Wonwoo. Menghidu lehernya, mengabaikan bau menyengat yang masih menguar dari sang Omega, memfokuskan pada wangi khas Wonwoo yang samar-samar.

“Iya...,” he breathed that out. “Aku bakal pulang ke kamu, Won. Aku bakal pulang ke sini, ke kamu....” Kecupan demi kecupan di wajah Wonwoo. “Aku janji...”

Persis sebelum sang Omega menarik lehernya untuk menyatukan bibir mereka lagi, Mingyu bersumpah ia melihat senyuman Wonwoo yang paling indah.

Dan napasnya tercekat.