149.
“OHOK OHOK OHOK!”
Buyar sudah momen dunia milik berdua. Masih memeluk pinggang Joshua, si Om ngeluyur masuk sambil batuk kenceng bener. Tentu saja, refleks Wonwoo adalah melepas pegangannya pada kemeja Seungcheol dan melangkah mundur.
“Aduh kok jadi batuk-batuk ya, saya udah tua kayaknya. OHOK OHOK OHOK!!”
Jihoon mendecak kesal. “Ni kamar gue, jangan nyebar virus, Tua Bangka,” andai bukan CEO, sudah ia sepak bokongnya sedari tadi.
“Vern, are you sick? I can't take you out drinking then?” Joshua manyun, mengelus pipi si Om.
“Oh? For dating with you, I'd overcome any sickness, baby.”
“Great,” matanya berkilat jahil. “Let's get the most pricey bottle!”
Si Om hanya menghela napas dan menurut ketika Joshua menyeretnya pergi ke bar di bawah.
“Oh, right. Saya cuma pesan satu kamar buat saya, so Wonwoo,” yang dipanggil menengok. “Seungcheol sama kamu ya. Have fun~“
“Why don't we share the room this night, Vern?”
“You're with your boy, Josh, I don't wanna die yet—”
Suara mereka makin menghilang di koridor, meninggalkan kesunyian ganjil pada keempat orang dalam kamar.
“Look, Hao,” Jihoon mengurut keningnya. Pusing mendadak. “I don't know if you know this, but those two are always like that since way back. Tapi mereka jujur nggak ada apa-apa kok.”
“Hmm,” Minghao hanya mengangguk-angguk saja. “Gue balik ke kamar ya, Bang.”
“Hao,” panggil Jihoon lagi. “Lo...nggak apa-apa?”
Kedikan bahu yang santai. “Besok jam berapa pemotretannya, Bang?” malah bertanya yang lain.
“Jam 10 dari sini.”
“Oke,” dan berlalulah, ia.
Lagi, Jihoon menghela napas. Hanya bisa berdoa semoga Joshua tidak membuat ulah lagi. Sudah hampir habis batas kesabarannya menghadapi seluruh kekacauan ini.
“Won, lo juga balik gih ke kamar. Cheol, lo tidur sini aja.”
Ide yang bagus. Meski ia masih merasa segan pada leader Hit tersebut, tapi tidur di kamarnya adalah pilihan paling tepat saat ini. Jihoon punya pacar. Mereka berdua aman.
“Ok—”
A tug.
Tangan Wonwoo meraih lagi, kali ini menarik bagian belakang kemejanya, menahan Seungcheol.
”.....Won?”
Ketika ia menoleh, Wonwoo tengah menatapnya dengan tatapan yang membuat napasnya tercekat, seolah ia takut Seungcheol malam ini hanya sekadar mimpi dan akan hilang keesokan paginya.
“Aaah...nggak elo, enggak Shua, enggak Hao....kalian semua.....,” Jihoon menggeram, mengusap wajahnya frustasi. Ia sudah tak tahu lagi.
Yang ia lakukan berikutnya adalah mengusir Wonwoo dan Seungcheol dari kamarnya dan membanting pintu tepat di depan hidung mereka.
Hening. Koridor itu sepi. Jarak di antara dua bahu mereka pun menggaungkan rasa jengah. Tidak tahu harus berkata apa. Tidak tahu harus berbuat apa.
“Kamar...”
“Ha?”
“Kamar gue di sini..,” Wonwoo berbalik badan dan berjalan.
Seungcheol, mau tidak mau, mengikutinya. Dari kamar Jihoon, jaraknya hanya selang dia pintu (yang ia duga adalah kamar Minghao dan kamar Joshua, masing-masing). Wonwoo membuka pintu dengan kartu kamarnya dan masuk, membiarkan Seungcheol menahan pintu, melepas dahulu sepatu di depan pintu, sebelum masuk ke bagian dalam.
Seperti kamar Jihoon, ada sofa dan televisi. Kamar mandi terletak dekat pintu. Sebelah televisi ada pemanas listrik dan, kalau lacinya dibuka, ada seset cangkir porselen berikut tatakannya. Sepertinya Wonwoo sudah menyeduh sesachet teh sebelum ke kamar Jihoon tadi.
Seungcheol memutar kepala. Kamar yang bersih. Padahal mereka sudah tinggal di sini ada kali 2 mingguan lebih, tapi tetap rapi. Palingan jaket yang dihampar di sofa, produk skincare di wastafel, serta botol kosong air mineral yang menjadi tanda adanya kehidupan di kamar ini.
Wonwoo berbelok melewati sebuah sekat di sebelah kanan. Seungcheol melepas tas postmannya sambil melangkah mengikutinya,
lalu berhenti.
Blugh.
Tas postmannya jatuh.
Wonwoo melirik padanya, malu-malu, sebagaimana muka Seungcheol makin merah padam dan ia mulai gelagapan.
A double bed.
A fucking double bed inside.
Queen size.
Rasanya Seungcheol mau mengumpat, tetapi rasanya juga mau mengucap puji syukur sambil sujud semalaman