narrative writings of thesunmetmoon

149.

#soonwoo

“Yang itu.”

“Yang mana...?”

“Itu, yang ituuu. Masa nggak bisa liat sih ikan yang bagus yang gimana??”

“Semua sama aja di mata gue??”

“Bedaaaa,” ya Tuhan, berikanlah kesabaran yang lapang pada dada Wonu walau dada wonu udah lapang. Butuh kesabaran super ekstra baginya untuk tidak langsung matahin tulang-tulang anak Kwon itu. Gemes banget. Gemes dalam artian negatif yang pingin Wonwoo unyek-unyek emosional.

Di sebelahnya, Kwon Soonyoung berkali-kali melihat ikan-ikan yang ditaruh di baki terbuat dari es batu. Bingung banget, karena dia kan mana tau ikan mana yang musti diambil, mana yang enggak. SEMUANYA SAMA, PLISLAH. LAGIAN KAN KALO UDAH DIJAJAIN DI SUPERMARKET GINI, BUKANNYA ARTINYA SEMUA BAGUS YA???

Nggak paham. Banget-banget nggak paham, kenapa Jeon Wonwoo ribet banget soal belanja doang. Soonyoung nggak pernah belanja, tapi seharusnya belanja nggak seribet ini juga nggak sih??

“Lo liat dong nih. Dibuka insangnya gini!” Wonwoo menancapkan jarinya ke sela-sela dekat mata belo salah satu ikan yang terbujur kaku di sana. “Nih, kayak gini! Angkat! Lo liat, merah ato butek?!”

Merah ato but—

”...Butek.”

“Nah, yaudah jangan diambil yang kayak gini! Matanya juga nggak jernih, udah nggak seger. Nih! Yang ini! Lo liat, ini matanya jernih. Lo angkat sana insangnya!”

Angkat...?

“M-maksudnya—”

“Masukin jari lo!”

“Eww—”

“BURU!”

“Iya, iya!” astaga...spaneng banget ya belanja sama Jeon Wonwoo ini?? Marah-marah melulu?? Ya emang Soonyoung nggak gitu pandai memilah bahan makanan, tapi emangnya segitu parahnya kah kalo dia nggak bisa milah mana ikan yang segar, mana yang bukan?? Apa perlu marah-marah sampai begitu??

“Merah,” gerutunya.

“Yaudah! Masukin sana ke plastik!”

Kesal, Soonyoung diam saja. Padahal bukan dia juga yang mau beli ikan. Ini kan list belanjaan Jihoon. Kenapa jadi dia sih yang dimarah-marahin Jeon Wonwoo dari tadi? Dia memasukkan ikannya agak kasar, lalu diberikannya ke mas-mas di balik konter ikan untuk dibersihkan dan ditimbang.

“Bersihin insangnya ya, Mas, DOH—!!” baru bilang begitu, Wonwoo dijambak dari belakang sama Jihoon. “Sakit, njing!”

“Heh,” Jihoon mendecak. “Gue perhatiin lo kok kasar bener sama Nyong? Bisa nggak sih lo lebih sabar dikit? Tuh anak kan nggak tau milih apel, milih ikan, kayak elu.”

“Lo yang ngajak dia, lo nggak boleh protes gue belanja sesuai standar gue!”

“Iya. Tapi lo bisa kan lebih ramah dikit?” Jihoon ogah mengalah. “Sampe ngatain dia 'bego' segala imo udah kelewatan sih. Emangnya lo masih marah sama Nyong gegara dulu jatohin makanan lo?”

Mendengar itu, Wonwoo bungkam. Soonyoung sedang berdiri menonton mas-masnya membersihkan satu demi satu ikan dengan ahli, terpukau akan hal sederhana namun baru baginya. Kwon Soonyoung mirip anak itik kehilangan induk dilepas di supermarket sendirian seperti ini.

“Udah enggak kok...,” gerutunya pelan.

“Ya terus? Kenapa lo kasar sama dia kayak gitu sih? Tuh anak kan cuma mau temenan sama lo. Nyong juga sopan sama lo selama ini, padahal lo udah nendang dia begitu.”

Wonwoo mendecak, “Lo temennya siapa sih?? Temen dia apa gue??”

“Gue temen orang yang waras. Dan menurut gue, rasa benci lo sama dia udah nggak waras.”

Mereka bertatapan. Jihoon, meski jauh lebih pendek dari Wonwoo, tak pernah terasa mungil. Sebaliknya, saking intimidatifnya, Wonwoo merasa ia takkan pernah bisa menang dari seorang Lee Jihoon. Sialan, Kwon Soonyoung, nyari bekingan kok pinter.

“Dia orang tajir, Ji.”

“Iya, gue tau. Tapi nggak semua orang tajir sama, Won.”

“Lo tau dari mana?” tantang Wonwoo balik. “Lo tau dari mana kalo dia nggak akan ngelakuin apa yang orang sejenis dia bakal lakuin, hah? Pertama ketemu aja dia udah mau 'beli' protesan gue, Ji. Dia nawarin gue duit buat ganti ikan asin gue. Lo tau dari mana kalo dia nggak bakal pake duit gue buat 'beli' hal yang lebih gede lagi?? Dia udah 'beli' rumah gue dan biaya berobat gue. Sekarang dia 'beli' waktu kosong gue. Besok-besok, apa? Ginjal gue? Nyawa gue? Apa tetau gue dipaksa kawin sama dia?

Lo tau dari mana kalo Kwon Soonyoung nggak bakal bikin gue senasib kayak nyokap gue, hah??”

“Jeon Wonwoo...”

Di belakang mereka, Kwon Soonyoung berdiri. Bola mata bulat dengan bulu mata mengerjap cepat. Segumpal plastik besar dengan es batu berada di tangannya. Ia mendengar sedikit di ujung, ketika namanya disebut, tapi tak tahu karena apa dan dalam konteks apa. Sepertinya Jihoon dan Wonwoo bersitegang, walau entah alasannya apa. Serba salah, Soonyoung celingak-celinguk ke keduanya.

Dalam hitungan detik, Wonwoo menjauhi mereka, pergi ke lorong lain, sementara Jihoon tersenyum, menerima bungkusan potongan ikan dari Soonyoung, seolah pertengkaran barusan tidak pernah ada.