15.
“Cowok lo?”
“Mm.”
Di atas kepala mereka, bulan purnama seakan berbinar-binar. Langit cerah tanpa arakan awan membuat bumi langsung benderang. Bayangan Wonwoo dan Seungcheol yang sedang duduk bersisian di ayunan di taman depan blok perumahan mereka berwarna hitam pekat meski dunia sudahlah gelap. Seungcheol mengayun pelan sesekali, sementara Wonwoo diam saja, menjulurkan kakinya yang panjang.
“Lo inget Kim Soyoung?”
Wonwoo perlahan mengangguk.
“Waktu itu Shua bilang kan? Kakak kembar Kim Soyoung. Kim Mingyu.”
Dagu Wonwoo terangkat. Ia melihat punggung lelaki yang dimaksud abangnya itu, jauh dari mereka, sedang duduk sendirian di atas perosotan. Sengaja, atas permintaan Seungcheol, untuk memberi waktu bagi kedua bersaudara itu berbicara. Mingyu memutuskan untuk menyibukkan diri dengan bermain game online sehingga telinganya juga teredam oleh earphone.
“Soyoung nembak gue pas gue kelas 2 SMA, terus dia tau. Dia datengin gue buat ngancem kalo gue nggak boleh bikin nangis adeknya ato dia bakal gebukin gue,” Seungcheol mendengus. “Anak ingusan mau gebukin gue... Ya gue bales lah. Gue bilang ke dia kalo gue nggak ada niat bales perasaan adeknya.
Dia nanya ke gue kenapa. Gue bilang kalo gue nggak tertarik pacaran sama orang yang gue nggak kenal.”
Seungcheol menghembuskan napas putih. Ujung hidung Wonwoo mulai memerah.
“Terus, ya...nggak taulah. Tiba-tiba aja si kembar ini ada di sekitar gue sama Joshua. Mereka lebih muda dari kita setahun, jadi ya nggak bisa sesering itu ketemu, tapi ada aja momennya, nggak tau gimana, kita semua ketemu dan nongkrong bareng.”
Wonwoo menyusut ingus supaya tidak keluar dari hidungnya. Sebuah dunia Seungcheol dan Joshua yang, lagi-lagi, ia tidak termasuk di dalamnya. Lingkaran khusus bagi mereka berdua saja.
Lingkaran yang, nampaknya, dengan mudah dimasuki lelaki besar itu bersama adiknya.
“Pas gue kelas tiga, Soyoung dateng ke gue. Dia nanya ke gue gimana kalo ada orang yang gue kenal udah lama bilang kalo dia suka sama gue. Gue pikir maksud dia itu dirinya sendiri kan. Tadinya gue mau nolak lagi, tapi tetau si bego itu...,” abangnya itu tersenyum, sedikit tersipu. “...dia dateng dengan muka merah banget dan maksa mau nyeret Soyoung pergi. Mereka berantem. Joshua nonton. Gue...spikles. Terus dia pegang bahu gue dan mastiin kalo apapun yang Soyoung bilang barusan ke gue, gue nggak perlu dengerin.”
”...Cowok lo,” Wonwoo menyusut ingus lagi. “Tolol ya Bang.”
“I know,” kekehnya. “Dia sama sekali nggak tau kalo persis di situ, gue nyadar siapa yang dimaksud Soyoung. Mungkin...dari situ, gue akhirnya ngeliat dia...”
“Hmm...”
Bunyi rantai ayunan yang kurang pelumas memenuhi malam tersebut saat Seungcheol mengayunkan kakinya pelan-pelan.
Kriit. Kriit.
“Yang nembak...?”
“Dia,” Kriit. “Pas gue mau lulus, dia dateng dan ngasih kancing kedua dia ke gue. Nyuruh gue simpen baek-baek ato buang sekarang juga. Pas gue kayak bingung gitu, dia bilang, sambil mukanya merah banget, kalo hati dia nggak bisa dia kasih ke gue, jadi simboliknya pake kancing aja. Jadi, gue mau terima 'hati' dia ato enggak.”
”...” 😶
”...” 🤭
”...Buh-” 😶💨
Wonwoo auto membekap mulutnya. Cekikikan, tapi berusaha menahan sebisanya. Hanya seluruh tubuhnya yang gemetaran sebagai bukti bagaimana ngakaknya anak itu saat ini. Seungcheol lebih santai. Ia ikut ketawa ringan, paham sepenuhnya kenapa Wonwoo tertawa begitu, karena ia pribadi juga merasa betapa konyolnya kejadian saat itu.
Betapa indahnya.
Setelah beberapa saat berlalu dan Wonwoo bisa mengendalikan dirinya lagi, anak itu bertanya.
“Gue baru tau lo suka cowok, Bang.”
“Gue juga baru tau kok.”
“Hmm,” Kriit. “Bonyok tau?”
Di sini, jawaban Wonwoo adalah keheningan.
“Oke. My lips are sealed.”
“Thanks, Bro, appreciate it.”
Seungcheol mengulurkan kepalan tangan, yang dibalas dengan tubrukan kepalan tangan Wonwoo.
“Kalo ada apa-apa, cerita ke gue, Bang.”
“Mm,” Seungcheol mengangguk. “Lo juga ya. Inget, lo punya gue. Gue nggak akan kemana-mana.”
“Oke.”
“Lo balik?” Seungcheol kemudian berdiri, membiarkan ayunannya masih terus bergerak sendiri.
“Entaran.”
“Bilang Mama gue nganterin Mingyu ya.”
“Jangan nginep lo,” kekehnya.
Seungcheol hanya mengedipkan sebelah mata dengan bercanda. Wonwoo memerhatikan abangnya itu mendekati Mingyu di atas perosotan, berbicara padanya. Lelaki besar itu melompat turun dengan mudah, lalu melingkarkan lengan di sekitar bahu Seungcheol, menariknya ke dalam separuh pelukan. Bro hug yang inosen bagi mata dunia yang tidak mengetahui faktanya.
Wonwoo masih memerhatikan kedua sosok itu berjalan, menjauh dan menjauh, tertelan kegelapan malam.
Anak itu mendongak, menatap langit bertaburkan bintang di sekeliling bulan. Saat ia bernapas, uap putih muncul kembali, memberikan warna di latar hitam kebiruan. Jika boleh jujur, ia masih mencerna informasi barusan, masih belum bisa membalutkan pengakuan abangnya ke sekeliling kepalanya dengan sempurna. Wonwoo seolah dihisap kembali ke pemikirannya mengenai lawan jenis dan apa menariknya membicarakan soal cewek, dan bagaimana sekarang abangnya, kakak kandungnya, memilih cowok.
Aneh ya?
Kita pikir kita bakal bisa langsung menerima kalau ada suatu kejadian, sampai suatu kejadian itu benar-benar datang dan menimpa orang terdekat kita, dan kita baru sadar kalo hal itu nyata.
Wonwoo yakin dirinya tetap akan melihat Seungcheol sebagai Seungcheol. Rasa sayang pada abangnya tidak akan pernah berubah. Wonwoo yakin mereka sekeluarga akan baik-baik saja. Mungkin perlu waktu baginya melihat Mingyu sebagai partner Seungcheol. Selama ini, ia hanya melihat Seungcheol bersama Joshua dan-
Matanya mengerjap.
Joshua.
Anak itu mengambil rantai ayunan yang dingin di bawah sentuhannya. Bulan yang kini agak meredup, beristirahat sejenak dari tugasnya memantulkan sinar ke bumi, mencuri perhatian Wonwoo.
”.....Inget janji lo ke gue buat bahagia.”
Bisikan yang, Wonwoo harap, terbawa angin sampai ke belahan dunia sana.