narrative writings of thesunmetmoon

150.

#woncheolidol

“Aaah.....,” hela napas puas setelah ia menenggak tuntas gelas pertamanya.

“Oi, oi...bukan Dom Perignon juga sih yang dibuka....”

“Nggak apa kan, sesekali. Jangan pelit ah,” Joshua mencubit pipi si Om. “I will pay you back with my body if it's not enough.”

Si Om hanya mendengus geli sebelum menjentik dahi Joshua.

“Jangan bandel, inget Hao,” selorohnya. “Kamu ini, sengaja banget ya di depan dia nempel-nempel ke saya. Biasanya juga saya pelok sedikit, langsung nabok.”

Tch!” decak Joshua, kesal. Ia menjauh lalu meneguk gelas keduanya.

Sesuai perkataan si Om, pada dasarnya hubungan mereka berdua seperti dua ikat benalu; saling memakan untuk kepentingan bersama. Ia tidak segan berpura-pura mesra dengan lelaki paruh baya itu, selama mereka mengincar tujuan yang sama: menang.

Bahkan Jihoon, bahkan Wonwoo, tidak tahu, bahwa mereka adalah partner in crime. Joshua sering membantu Vernon dalam menjalankan bisnisnya. Dunia entertainment, bagaimanapun kerasnya menjual mimpi dan cinta, adalah dunia yang kotor di baliknya, penuh duri dalam onak.

Bisa dibilang, Joshua adalah pion. Namun, berbeda dari pion biasa, dia mendapatkan timbal balik yang sepadan. Apapun yang ia inginkan, sang CEO mengabulkannya.

Tiap dia membuka kaki untuk mengorek informasi, atau ancaman skandal, atau apapun yang bisa memajukan nama agensi, dia mendapatkan apa yang dia mau. Segala yang ia simpan dengan hati-hati, di balik kedok member gentleman boygroup yang baru debut.

Suatu hari, Joshua datang ke kantor Vernon dengan membawa permintaan yang mengejutkan:

Ia menginginkan Xu Minghao.

Vernon sempat menolak. Tidak akan ada hasil yang baik keluar dari menginginkan member grupmu sendiri. Bila terjadi hal yang tak diinginkan, bukan hanya satu orang, tapi seluruh grup akan retak.

Namun, Joshua keras kepala. Ia bergeming. Lengan melipat di dada.

Dia mengulanginya kembali, bahwa dia menginginkan Xu Minghao.

Joshua sadar sepenuhnya, bahwa anak yang masuk paling belakangan ketika mereka siap didebutkan itu selalu melihat ke arahnya. Menatapnya, dengan pandangan seakan ia siap menghancurkan dunianya demi Joshua. Hal ini membuatnya senang. Bergairah.

Ia ingin menyaksikannya. Apakah benar Minghao akan membuang segalanya demi dia? Apakah dia setinggi itu derajatnya dalam hati Minghao?

Maka, ia menebarnya. Jaring itu. Perangkap yang ia jalin dengan hati-hati, dipintal dalam rentangan tahun, halus dan beracun, melewati keheningan malam demi malam,

sampai pada akhirnya,

(“Josh. Buka pintu.”)

(“Apa sih, Hao, gue mau cabut nih. I need to get laid—mmph.”)

Kupu-kupu yang cantik itu pun tertangkap.

Joshua menggoyangkan gelasnya. Keletak es batu berbunyi. “Menurut Om, dia bakal bereaksi apa ya kalo saya tidur di kamar Om malam ini?” kekehnya rendah.

Vernon menghela napas. “Buat apa sih kamu susah-susah dapetin dia, kamu sakitin gini?” jujur, ia sendiri tidak paham dengan jalan pikiran Joshua

Mungkin, tidak akan ada yang benar-benar paham. Entah jenius, entah gila.

“Om,” Joshua tersenyum ganjil. “Kupu-kupu kalo sayapnya dipotek, dia nggak akan bisa terbang kan?”

Diteguknya gelas ketiga.

“Dia bakal jadi milik tangan yang motek sayapnya, selamanya.”