151.
Bunyi jarum jam memenuhi hampa di antara kedua insan. Seungcheol meneguk ludahnya, kemudian, akhirnya, membungkuk mengambil tas yang terjatuh.
“Gue pinjem sofanya ya, Won,” memutar badan, ia berjalan dan membanting badan ke sofa. Empuk dan panjangnya pas. Yang kurang hanya bantal dan selimut. “Eh, di sini ada extra pillow sama selimut nggak ya? Kalo nggak ada, gue mintain ke hotelnya aja kah—”
Wonwoo ternyata sudah berdiri di depannya. Lengan mengulurkan bantal dan selimut.
Seungcheol tersenyum. “Thanks,” diulurkannya tangan untuk mengambil, namun ia kalah cepat. Wonwoo keburu melempar bantal ke pangkuan Seungcheol, melebarkan selimut, lalu rubuh, tubuhnya pada sofa, kepalanya pada bantal, sementara selimut ia tarik sampai menutupi bahunya.
Semua terjadi begitu cepat hingga Seungcheol perlu dua menit untuk sadar apa yang Wonwoo lakukan.
“W-w-won-”
“Bawel,” ditariknya lagi selimut itu, terus, sampai menutupi kepala. “Mo tidur.” Sampai yang tersisa hanya juntai rambut Wonwoo yang mulai acak-acakan.
”.........”
Tak bisa berkata-kata, Seungcheol menghela napas. Menyerah. Ia membetulkan posisi duduknya agar lebih enak. Wonwoo pun bergerak, agak merubah posisi bantal dan kepalanya. Tubuhnya menghadap samping, sehingga Seungcheol bisa mengusap kepalanya jika ia mau.
..............
.....baik.
“Kamu capek ya, Won?”
“Mm.”
“Tidur di kasur aja yuk? Biar lebih enak. Di sofa nanti pegel.”
“Nggak,” kepala batu. “Di sini aja.”
“Bandel banget Meong, dibilangin juga,” kekeh Seungcheol.
“Gue orang! Bukan kucing!” selimut dibuka agar ia bisa protes ke lelaki itu, yang malah menghadiahinya dengan tawa lepas.
“Kalo orang, bobonya di kasur dong, Won,” ditepuk-tepuknya lembut kepala Wonwoo. “Kalo tidur di pangkuan orang mah, meong dong.”
Tangan Seungcheol terus saja mengelusnya.
”......ya udah.”
“Ya udah...apa?”
“Ya udah, jadi meong aja, nggak pa pa...,” malu, Wonwoo kembali menarik selimut. Telinganya memerah lagi. Seungcheol harus menahan diri mati-matian untuk tidak menunduk dan mengecup telinga itu.
Imut. Imut banget. Kenapa sih, ya Tuhan, kenapa Jeon Wonwoo harus seimut ini?
”.....Jangan gemes-gemes ah, Won, ntar gue sayang lho...”
Tuhan...
Telinga Wonwoo makin memerah. “.....emang itu kok tujuan gue....,” gumaman pelan dari balik selimut.
Jantung Seungcheol berdetak tak beraturan. Padahal ia tinggal menunduk untuk bisa mengecup kepala itu. Ini sudah jelas. Lampu hijau yang kelewat nyata.
Jeon Wonwoo, lelaki di tiap foto kameranya, yang juga ia tempelkan posternya di dinding kamar kosannya. Yang ia tonton selama ini di Youtube. Yang ia halukan di Twitter acapkali melihat unggahan foto terbaru. Yang ia tuliskan AU bersama member lainnya. Yang ia rela menabung susah payah agar bisa melihatnya sekilas di atas panggung.
Jeon Wonwoo, yang awalnya ia kira dingin dan kaku, tidak menarik karena sering diam di belakang saja. Yang kemudian, seiring berjalannya waktu, semakin nyaman sebagai idol dan mulai menampilkan keluwesan di depan kamera.
Yang mudah sekali tertawa, yang jahil, yang cukup ringan tangan ketika bercanda, yang penyayang kucing, yang baik hati dan senang menggunakan kata-kata tak biasa. Yang imut dan menggemaskan. Yang bisa berubah 180 derajat menjadi seksi dan flirty di atas panggung.
Jeon Wonwoo, yang keras kepala dan manja. Yang suka tiba-tiba marah tanpa alasan jelas. Yang jutek dan pencemburu.
Jeon Wonwoo, yang kepalanya merebah di bantal di atas pangkuan Seungcheol, dengan telinga memerah dan jelas menginginkan Seungcheol untuk menciumnya, untuk jatuh cinta padanya lebih dalam lagi.
(“Emangnya boleh, Om, pacaran, saya sama Won?”)
(“Boleh aja, kenapa enggak? Tapi, kamu harus berhenti jadi fansitenim dan jadi fans Hit.”)
Seungcheol menggigit bibir bawahnya.
...cobaan macam apa lagi sih ini, ya Tuhan...
“Tidur, Won,” tangannya kembali mengelus lembut kepala itu, menyisiri sela-sela rambut hitamnya dengan jari-jemari, berharap sentuhannya dapat membuat Wonwoo lebih rileks. “Tidur yang nyenyak.”
Napas Wonwoo menjadi lebih teratur, lebih nyaman.
“Tidur,” Seungcheol tersenyum. “Meongku.”