16.
“Se-la-mat ma-kan, Pak Gu-ru~! Se-la-mat ma-kan, te-man-te-man~!”
Kemudian, mereka semua menyantap bekal masing-masing. Wonwoo memerhatikan anak-anak di kelasnya. Mereka makan dengan riang gembira. Ada yang sedang berusaha keras menusuk daging goreng tepungnya menggunakan garpu plastik. Ada yang menyuap nasi dan berjatuhan ke meja (Wonwoo menghela napas, mencatat dalam ingatan untuk meminta ibu Yena mengajari lagi anaknya di rumah). Beberapa mengobrol dengan teman sebelahnya, memamerkan bekal buatan ibu atau mainan yang dibelikan ayah mereka.
Pandangan Wonwoo terus berjalan hingga pada akhirnya berhenti di sosok tertentu. Sosok yang menunduk sambil merengut menatap kotak bekal yang masih diikat kain di atas mejanya. Wonwoo, ikut mengernyitkan alis, mendekati sosok tersebut.
“Kok nggak dimakan?” ia berjongkok di samping bangku anak itu agar pandangan mata mereka sejajar. Kim Gyuri menoleh, lalu menggeleng.
”....Makanan Ri nggak enak ya?” tanyanya lagi.
Kembali, sebuah gelengan.
“Boleh Pak Guru buka kotak bekalnya?”
Anak itu terdiam cukup lama, sepertinya sedang berpikir masak-masak, sebelum kepalanya kini mengangguk. Wonwoo tersenyum tipis, lalu tangannya bergerak untuk membuka bebatan kain warna stroberi. Sebuah kotak makan kecil yang tidak kalah lucunya pun muncul. Kemudian, ia membuka tutupnya.
“Wow...”
Nasi kepal dibentuk seperti panda. Sosis mirip gurita lengkap dengan mata dan mulutnya. Ada daging ayam tanpa tulang digoreng tepung. Telur gulung isi bayam. Tomat ceri. Buah anggur berwarna hijau. Salad kentang dengan saus mayones dan potongan kecil wortel juga timun. Perpaduan warna serta harumnya masakan membuat Wonwoo meneguk ludah diam-diam.
Bohong kalau Wonwoo bilang dirinya tidak iri melihat makanan seenak ini (apalagi fakta menyedihkan kalau biaya makan siang para staff dipotong lagi demi kelancaran operasional) tepat di depan batang hidungnya. Rasanya ingin ia guncangkan Kim Gyuri di bahu, menyadarkan anak itu bahwa bisa makan selezat ini adalah salah satu kebahagiaan dunia yang akan menjadi langka ketika anak itu dewasa nanti, namun ia tahan karena ingat statusnya sebagai guru. Alih-alih, Wonwoo berdeham, menelan lagi liurnya sebelum jatuh memalukan.
“Kayaknya enak tuh. Yok makan?” senyumnya terkembang. “Ato Ri mau makan sama-sama Pak Guru? Biar Pak Guru bawa makanan Bapak dan makan di samping Ri?”
Usapan lembut secara konstan di kepala anak perempuan itu membuatnya mengangguk pelan. Wonwoo menghela napas. Ia beranjak untuk mengambil jatah makan siangnya sendiri lalu duduk bersila di samping Gyuri. Kebetulan, meja kecil di sana kosong. Pandangan Kim Gyuri jatuh ke piring makan Wonwoo yang, mohon maaf, cukup mengenaskan. Hanya berupa nasi yang sedikit lembek karena Jihoon menambahkan banyak air ke beras mereka, sepotong kecil daging ayam entah bagian mana, dua keping tahu ditumis dengan sayuran kubis dan wotel. Sudah. Itu saja.
Sungguh bergizi, ejek Wonwoo dalam hati.
Menyadari anak itu menatap piringnya, Wonwoo memaksakan tersenyum. “Makanan Bapak nggak semewah bekal Ri nih,” ucapnya sok ringan, padahal malu juga diperhatikan begitu oleh anak kecil. Seperti ketahuan miskinnya. “Yok makan?”
Kim Gyuri balik menatap bekalnya sendiri. Cukup lama sampai Wonwoo membiarkannya, menyuap nasinya sendiri dan mulai makan. Ketika anak itu bergerak, garpu plastiknya menusuk salah satu ayam goreng tepung yang berbentuk bulat lucu dan disusrukkannya ke depan mulut Wonwoo.
“Aa,” ucapnya.
“Eeeehhh...Nggak usah, itu kan makanan Ri—”
“Aaaaaa.”
Keras kepala.
Wonwoo menahan decakan lidah, berusaha tersenyum manis. “Bener nih nggak apa-apa? Bapak bagi ya?” anak itu bergeming. Wonwoo pun mau tak mau menyerah. “Aa...”
Kres.
Oh.
Oh.
Kunyahan yang pelan berubah menjadi lebih cepat. Tiap kunyahan membuat bola mata Wonwoo kian membulat. Enak. Enak sekali. Seolah ia baru makan makanan layak setelah dua puluh dua tahun ia hidup di dunia. Seolah, selama ini, makanan yang masuk ke tubuhnya adalah sampah (sorry not sorry, Ji). Wonwoo masih terkagum-kagum ketika daging ayam itu hilang begitu saja ke dalam perutnya.
Ketika ia sadar, Kim Gyuri sedang meringis lebar.
”........Siapa yang masakin bekalnya Ri?”
“Papa,” Gyuri menyuap nasi dengan telur goreng isi bayam.
“Papa,” ulang Wonwoo. “Papa Ri pinter masak ya?”
Anggukan datang sebagai jawaban.
“Terus, kalo Papa Ri bisa bikin makanan seenak ini, kenapa Ri kemarin-marin nggak mau makan?”
Tangan Gyuri berhenti menyuap.
Wah, gawat, batin Wonwoo.
“Pak Guru, tuker,” anak itu mulai merengek. “Tuker. Makanan Ri buat Pak Guru ajah. Ri makan itu.”
Dia salah bicara.
“Eh, jangaann...makanannya nggak enak. Makanan Ri lebih enak, makan itu aja ya?”
“Tuuukkkeeeerrrrrrrr!”
Wonwoo menghela napas. Kepalanya mulai pening.