narrative writings of thesunmetmoon

164.

#gyuhaooffice

Ada sesuatu dari rumah sakit yang sanggup meninggalkan kesan berbeda-beda bagi tiap pengunjungnya. Seseorang mungkin membenci rumah sakit karena orang yang penting baginya wafat di sana. Seseorang mungkin bersikap apatis, sekadar tempat berobat.

Bagi Xu Minghao beda lagi.

Bau alkohol yang samar-samar senantiasa menguar di lorong panjangnya. Warna beige yang hangat dan nyaman. Lantai yang meredam berisik sepatu. Orang batuk. Rengekan anak bayi. Pasien di tempat tidur yang didorong dua suster dari UGD. Bebunyian, beraneka ragam, riuh-rendah menjadi musik latar yang cukup morbid, jika dipikir baik-baik.

Kesibukan tiap entitas di sana seolah tidak memedulikan yang lain selain lingkaran-lingkaran kecil berisikan pasien, keluarga dan tenaga medis terkait. Ada sesuatu di tempat itu yang justru mengingatkannya bahwa kesehatan adalah harta yang paling mahal, jauh melebihi kekayaan apapun.

Secara gamblang, boleh dibilang, Xu Minghao menyukai rumah sakit. Bahkan ketika di sampingnya terduduk Kim Mingyu, kesadarannya timbul-tenggelam, dengan masker menutupi separuh wajahnya dan Bye Bye Fever ditempel ke keningnya, sebagai usaha Minghao untuk sedikit meredakan kepayahan Mingyu sebelum membopongnya (setengah mati) ke rumah sakit ini.

Tiga pasien lagi, barulah giliran mereka. Punggung Mingyu semakin merosot di duduknya. Matanya berkunang-kunang akibat demam tinggi, maka ia pun memejamkan mata. Batuk berdahak terdengar dari belakang masker. Napasnya memburu, sementara keringat mengucur deras, meresap ke kaus dan celana training yang sudah dua hari ia kenakan (untunglah Minghao masih sanggup memaksanya memakai jaket karena AC rumah sakit cukup dingin pagi itu).

“Gyu...,” nadanya lembut dan tatapnya khawatir. Ketika lelaki itu tidak mengindahkannya, entah terlalu mengambang untuk menangkap suaranya atau sedang berusaha menjaga kesadaran, Minghao mengulurkan tangan untuk menyentuh sisi leher Mingyu. Kemudian, perlahan, dibawanya kepala lelaki itu agar bersandar ke pundaknya.

Sebuah reaksi datang, berupa kepala yang berusaha menyamankan posisinya di pundak tersebut dan erangan rendah, lebih terdengar bagai rengekan. Lelaki besar itu mengerut, menumpangkan beban tubuhnya ke Minghao seutuhnya. Terlalu lemas untuk menahan diri. Tangan Minghao yang masih menangkup kepala itu tanpa sadar bergerak mengelusi rambutnya yang awut-awutan.

“Tidur gih,” bisiknya. Perlahan tapi pasti, napas Mingyu mulai agak teratur. Sedari tadi, mata lelaki itu terpejam terus. Minghao pun ikut menyenderkan pipinya ke ubun-ubun Mingyu. “Nanti kalo giliran kita, gue bangunin. Gyu tidur aja ya...”

Suara yang lembut...

Elusan yang lembut...

Tidak ada lima menit, Kim Mingyu sudah tertidur.