166.
“SPADAAA~“
Wonwoo mendecakkan lidah. “Woi,” pintu depan pun dibuka. “Jangan kenceng-ken—”
Berhenti.
Begitu pintu ia buka, ada Mingyu yang meringis sampai taringnya kelihatan, ada Jeonghan yang tersenyum simpul, dan ada anak Kwon yang salah tingkah, cemas membayang di wajahnya yang menunduk. Wonwoo membuka mulut, menutupnya, membuka, lalu menutupnya lagi. Tidak habis pikir kenapa anak Kwon itu bisa ada di situ, di depan rumahnya.
“Eh, uh, anu, Jeon Wonwoo—”
“Dia temen lo, Bang?” Mingyu seenaknya menyelempangkan lengannya yang besar berotot ke bahu Soonyoung. “Dari tadi celingak-celinguk aja depan pintu lo, jadi gue ajak masuk! Ayok masuk, Temennya Bang Won!”
Kemudian, seperti biasa, tetangganya sejak kecil itu masuk begitu saja, lenggang kangkung tanpa dosa. Rasanya Wonwoo ingin menyeret dan membuang anak itu keluar karena sudah mengundang Kwon Soonyoung tanpa persetujuan si empunya rumah. Jeonghan lah yang membuatnya mengurungkan niat itu, alih-alih ia mengepalkan tangan sampai urat nadinya tercetak jelas.
“Sori ya, nanti gue bilang deh ke Gyu...,” nadanya permisif. Jelas meminta maaf akan perbuatan pacarnya yang lebih muda itu. Senyumnya juga tulus tanpa niat terselubung. Jika ada satu hal yang Wonwoo rasa Mingyu bisa banggakan dalam hidupnya, mungkin itu adalah hokinya karena mendapat pacar seperti Yoon Jeonghan.
Wonwoo mendengus kesal, namun menggeleng perlahan. Lelaki itu menepuk bahunya dua kali, sebuah gestur berterima kasih, lalu melewati Wonwoo masuk ke rumah, meninggalkannya bersama Kwon Soonyoung yang masih berdiri diam di situ, terlalap keraguan.
“Eng, Jeon Wonwoo...,” anak itu memulai, mengusrek sepatu kanan ke sepatu kiri dengan arah pandang mengikuti, enggan bertemu tatapan Wonwoo. Kedua tangannya ke belakang. Seperti murid yang dihukum guru sekolahnya lalu menyesal. “Sori, gue...nggak ada maksud dateng gini, cuma...Josh lagi pacaran terus di rumah sepi...terus lo katanya nggak kemana-mana, jadi gue pikir...”
“Lo tau dari siapa rumah gue di sini?”
Kwon Soonyoung mendadak beku. Deja vu. Terulang lagi dirinya, melangkahi batas yang dibuat Jeon Wonwoo terhadapnya. Nomor rekening, lalu alamat. Kwon Soonyoung, hardiknya dalam hati. Kenapa nggak ada satu pun yang bisa lo lakuin bener, sih, sekali aja? Kenapa sih?
“Eh...eh...uh...”
Skak mat. Mati. Nggak bisa jawab. Nggak ada jawaban. Takut. Takut. Padahal baru saja Jeon Wonwoo menoleransi dirinya. Baru saja mereka bisa ngobrol lebih santai. Sekarang runyam semua. Sekarang mereka akan kembali ke titik nol, even worse mungkin bakal minus—
Wonwoo menghela napas. “Ayo buru masuk, gue mau masak,” lalu ia menjauh dari pintu, membalikkan badan.
Kwon Soonyoung berdiri di situ, mengerjap heran.