168.
“Eh, dikasih tau aja! Gue pasti, emm, bisa, cuma perlu belajar...”
Right. Kwon Soonyoung si tajir dan semua ketidak tahuannya akan dunia orang biasa.
“Lo ke sini. Sebelom masak, selalu cuci tangan dulu. WOI YANG CIPOKAN, KALO NGGAK MAU BANTU, BISA MINGGIR??”
Ciuman terlepas. Tawa santai terlantun. Mingyu mengecup sekali lagi bibir pacarnya, sebelum kembali berkutat dengan seluruh daging yang siap digoreng (karena, tentu saja, mana punya pemanggang daging, si Jeon). Jeonghan menyingkir, memberikan tempatnya untuk Soonyoung mencuci tangan, walau yang disebut terakhir masih salah tingkah.
Kelar mencuci tangan, Jeon Wonwoo menyuruhnya mendekati rice cooker. Ia mengeluarkan tempat nasi dari bagian dalam. “Jangan nyuci beras di sini, nanti rusak. Buka laci bawah tuh, ada baskom merah,” perintahnya, yang langsung dituruti Kwon Soonyoung.
Baskom merah, oke.
“Nah, masukin berasnya. Terus tuang sampe gue bilang 'op'.”
Beras yang dimaksud berada dalam kemasan sebanyak 2 kg. Soonyoung meraup pakai cangkir kecil dan memasukkannya ke baskom. Sampai kemudian Wonwoo bergumam, “Op”. Dia pun berhenti. “Oke. Lo cuci sana.”
“G-gimana...?”
“Lo masukin aer, terus lo aduk-aduk pake tangan,” sabar, Won. “Kalo nemu kulit beras, kotoran ato kutu, lo buang. Jadi nggak asal aduk doang.”
“Hah...? Ada kutunya...?” mendadak paras Soonyoung pucat pasi.
“Nggak usah manja, kutunya kecil kok,” 😑 “Dah sana lo cuci dulu. 2-3 kali aja. Jangan sampe bersih banget airnya, nanti gizinya nggak ada.”
Kwon Soonyoung pun sibuk mencuci beras. Bunyi srok-srok-srok kencang terdengar. Wonwoo diam-diam melirik ke samping, memperhatikan gerak tangan Soonyoung. Bused. Ngaduknya pake emosi apa gimana, pantes aja kenceng bener bunyinya.
“Udah.”
“Udah?” Soonyoung membeo. Tidak yakin karena air bekas adukannya begitu putih.
“Terus buang airnya tapi lo saring pake tangan...sini, liat gue,” karena lebih mudah dipraktekkan daripada pakai kata-kata, ia mengambil alih baskom itu. Tangannya tidak sengaja menyentuh tangan anak Kwon. Untungnya, anak Kwon refleks melepaskan pegangan dan mundur sedikit sehingga Wonwoo bisa lebih leluasa. Ia pun menuang air ke telapak tangannya, menahan beras tumpah dari baskom. “Sekalian lo liatin ada kotoran ato beras jelek ato kulit gabah nyasar ato kutu beras. Kalo rada lolos-lolos dikit berasnya, biarin aja. Emang nggak bakal bisa bener-bener nggak tumpah berasnya, tapi jangan sampe tumpah semua juga. Nih, lo cobain.”
“Ntar tumpah...”
“Coba.”
Belom nyoba, udah bilang nggak bisa. Kesel.
Ragu-ragu, Soonyoung pun mengikuti ajaran Jeon Wonwoo. Tentu tidak seyakin dirinya ketika menumpahkan air tajin ke telapak tangan, tapi untuk usahanya agar tidak buyar ke bak cuci piring...yah, bolehlah.
“Ini...airnya sampe abis? Takut jatoh berasnya...,” asli, cuci beras itu susah ya...Nyong baru tau... 😢
“Nggak pa-pa, nggak usah sampe abis airnya. Terus lo masukin lagi air, lo cuci lagi. Cucinya itu tangan lo bentuk gini,” Jeon Wonwoo merapatkan jari-jemari, membuat seperti kerucut. “Terus aduknya gini. Diputer. Ke kanan. Terus ke kiri. Oke?”
“Ng, oke...”
“Oke. Cobain,” ia kembali menginspeksi gerakan tangan Soonyoung sampai air berwarna putih lagi. “Op. Lo tiris berasnya.”
Kwon Soonyoung kembali menadahi beras yang airnya ia buang perlahan.
“Inget, liatin kotoran dan temen-temennya itu. Mata dipake.”
Kwon Soonyoung membuka matanya sampai belo. Ada beberapa beras jelek ia buang. Juga batu kecil dan satu kulit gabah. Syukurnya, tidak ada kutu di beras itu.
“Op.”
Refleks, Soonyoung berhenti menuang dan menarik kembali baskom itu. Wonwoo mengambil baskom dari tangannya untuk mengecek hasil kerja anak Kwon di dapur.
“Masih ketinggalan satu batu,” diambil, lalu dibuangnya. “But so far so good.”
”...Beneran?” suara Soonyoung terdengar takjub.
“Hmm,” Wonwoo bergumam. Ia pun meniriskan sisa air dari baskom. “Lumayan. Tuh kan lo bisa nyuci beras. Apa-apa tuh dicoba dulu.” Dia menoleh ke Soonyoung. “Jangan belom dicoba, udah bilang nggak bisa.”
Soonyoung menarik napas, lalu mengangguk cepat-cepat, “Ung!”
“Yaudah. Sekarang, lo masukin berasnya ke mangkok rice cooker ini. Beras yang nempel di baskom lo kasih air dikit, goyangin baskom, terus lo tuang.”
Beras pun berpindah.
“Oke. Sekarang, lo kasih air. Airnya itu segini nih,” Jeon Wonwoo meletakkan jari telunjuk di permukaan beras. “Isi sampe ruas jari pertama. Yang ini.”
“Segini?” Soonyoung pun mengikutinya.
“Iya. Segitu.”
Air mengisi dan, dengan cepat, melebihi ruas jari pertama. Buru-buru Soonyoung mematikan keran lalu membuang air sedikit demi sedikit sampai persis tingginya seruas jari telunjuk di atas permukaan beras.
“Oke sip. Nih,” jeruk nipis yang sudah dipotong dua diberikan oleh Jeon Wonwoo. “Peres jeruknya di atas sendok, biar bijinya jatoh ke sendok. Pelan-pelan aja.”
Kwon Soonyoung pun mengangguk. Ia berhati-hati memeras jeruk itu di atas sendok sesuai instruksi. Sebagian besar biji jatuh ke sendok, sementara airnya menetes, menjadi satu dengan air beras. Ada beberapa biji yang loncat dan ikut nyemplung, sehingga Kwon Soonyoung menghabiskan beberapa saat memunguti biji-biji itu menggunakan sendok.
“Udah!” serunya.
Phew! Soonyoung menyeka jidatnya ketika semua biji jeruk sudah disingkirkan.
“Oke. Terus kita angkat,” Wonwoo mengangkat tempat nasi. “Kita lap.” Dilapnya hingga kering total. “Terus kita taro ke dalem rice cooker.”
Jantung Soonyoung deg-degan.
“Oke.”
“G-gue boleh tutup?” matanya yang menatap Jeon Wonwoo berbinar-binar.
“Gih.”
Kwon Soonyoung pun menutup rice cooker sampai berbunyi klik! Wonwoo menghidupkan tombol di stop kontak.
“Jeglekin ke bawah itunya,” tunjuknya ke arah tombol di bagian depan rice cooker.
Ketika Soonyoung menekannya hingga berbunyi, dan lampu menyala di bagian cooking, ia pun terdiam.
“Dah.”
“U-udah?”
“Iya. Udah. Lo udah kelar masak nasi. Tinggal tunggu mateng.”
“Jadi ini gue tungguin nih...?”
Wonwoo menahan diri untuk tidak ketawa. “Ya enggak!” ampun deh. “Ntar kalo mateng, dia ngejeglek ke atas sendiri. Palingan lo harus buka terus aduk-aduk, tapi nggak perlu lo tungguin!”
“Ooooh...” 😯
Bulet.
“Berarti gue udah...eh, gue barusan udah masak nasi...?”
Mingyu dan Jeonghan yang dari tadi meringis memerhatikan mereka akhirnya angkat bicara.
“Iya, udah masak nasi,” Jeonghan menepuk-nepuk pundak Soonyoung. Siapa sangka, anak terkaya di kampus mereka secara random masak nasi di dapur seorang Jeon Wonwoo. Kalo Jeonghan cerita ke temen-temennya di kampus juga, pasti tidak ada yang percaya. “Hebat, hebat.”
“Baru kali ini gue liat Bang Won ngajarin orang...”
“Maksud lo apa?” Wonwoo memicingkan mata ke arah Mingyu. “Lo lupa siapa yang ngajarin lo matematika, hah?” 😒
“Maksudnya Gyuuu tuuuuh,” capek banget emang ngomong sama Bang Won, Gyu salah mulu 😟 “Bang Won jarang-jarang ngajarin orang sabar gini. Biasanya tetau disambit pake pulpen lah, apa lah.”
“Oh gitu? Mau gue sambit sekarang apa gimana?” kebetulan, piso dapur deket nih 🙂
“BUKAN GITU, BANG, AHELAH CAPEK GUE!” 😭🙏
Jeon Wonwoo baru saja mengajarinya mencuci beras dan memasak nasi. Soonyoung memandangi tangannya sendiri.
(“Kalo lo bisa belajar milih ikan yang bagus, bisa tau cara cuci baju, lo bisa idup sendirian. Lo bisa kasih makan badan lo sendiri. Bisa ngurus diri lo sendiri. Nggak perlu bergantung sama siapa-siapa.”)
Ternyata, dia bisa.