17.
Mingyu mengambil tangan Joshua yang berhenti membelainya dan menggenggamnya. Hangat.
“Will it be perfect enough for you, Joshua? Kalo iya, gue bakal berusaha jadi begitu,” ucapnya mantap.
Joshua merapatkan bibir. Matanya membelalak, merasa tersudut karena belakangnya dinding dan di depannya Mingyu, menghalangi jalurnya untuk kabur. Dia bingung. Kebingungan itu tidak luput dari Mingyu, yang kemudian melepas tangan Joshua untuk mundur.
“Ah...,” wajahnya tampak kecewa. Tidak enak. “Sori...jangan-jangan gue salah baca lampunya ya? Sori, gue...gue kira lo juga...”
Mendadak, tangan Joshua menangkap pergelangan tangan Mingyu, menghentikan langkahnya. Mingyu melihat tangannya, lalu ke paras Joshua.
”....juga?” tanya lelaki itu.
Pipi Mingyu tersipu.
“S-sori gue pikir...gue pikir lo juga....,” dia tidak mampu mengucapkannya. “Lo...lo selalu bantuin gue, selalu ada di situ buat gue..I just...I can't help it, you know? M-maksud gue...”
Masih tersipu, Mingyu menatap mata Joshua.
“Gue nggak bisa nggak jatuh cinta sama lo, Shua...”
.
.
.
Di depan matanya, wajah Joshua merah padam. Mingyu terkejut. Kedua alisnya naik. Perlahan, senyuman terkembang.
“Joshua...”
“I-i-ini-bukan-”
Meski ia menunduk, meski ia berusaha menutupi wajah dengan kedua lengan, meski ia berusaha menghalau Mingyu yang mengulurkan tangan padanya, toh pada akhirnya, Mingyu mampu menangkup wajahnya dan mendekat. Senyuman penuh geligi setia terpampang.
“Lo sayang sama gue juga, hyung...?”
Diam. Menolak menjawab. Hanya mengerutkan alis. Padahal, wajahnya merona manis. Keras kepala, Joshua yang ia cintai. Imut banget.
“Hyung...,” Mingyu berbisik ke telinganya. Jantung Joshua terus berdebar kencang.
Deg, deg, deg.
“Boleh gue cium...?”
Deg.
.
.
.
”....sar...”
“Hyung?”
Ketika Mingyu menelengkan kepala, ia menemukan Joshua mengernyit kesal. Pipi memerah dan setitik tangis di matanya. Ia marah, tetapi juga malu.
“Dasar! Kim Mingyu sialan! Jangan mendadak gini dong!”
Buk! Buk! Buk!
“Aduh, aduh, aduh!!”
Dipukulinya lelaki itu, sambil tangis turun lebih banyak.
“Padahal...padahal gue udah nyerah...padahal gue pikir lo nggak bakal liat gue lebih dari abang aja...padahal...pa—”
“Hyung...”
Mingyu menggenggam tangannya. Joshua mengusap tangis dengan tangan satunya, menunduk, terisak. Sekarang dia benar-benar menangis, membuatnya semakin merah padam.
Jantungnya berdegup lagi ketika Mingyu mengecup keningnya.
“Sori...gue buta selama ini...,” bisiknya. “Gue sayang sama lo, Shua.”
Joshua sesengukan.
“Please be my boyfriend...?”
”........mmm.”
Kemudian, dirangkulnya lelaki itu. Lega bercampur senang. Kim Mingyu akhirnya mengetahui kenapa ia merasa nyaman dan ingin bermanja pada lelaki dalam rengkuhannya itu. Kenapa ia selalu ingin berada di dekatnya dan kenapa ia sedih ketika Joshua menjauhinya. Akhirnya ia paham dan ia senang perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.
Joshua sendiri banjir oleh tangis. Hati yang ia pendam setahun lamanya. Hati yang sudah ia relakan karena tahu bahwa Mingyu takkan pernah membalas cintanya. Hati yang mendadak mekar indah dan penuh oleh kelopak bunga.
Pelukan terlepas hanya untuk Mingyu membelai wajahnya penuh sayang.
“Lo hebat banget, hyung, lo bahkan bisa benerin hati gue...”
Joshua meringis.
“Nggak lah, kita sama-sama benerin hati masing-masing...”
Mingyu tersenyum. Joshua membalasnya, sebelum bibir mereka bertemu dengan lembut. Sekali, lalu kedua.
Dan,
mereka tertawa bersama.