173.
Siapa yang pernah bilang ya, kalau semua orang kasmaran itu bego? Kaki di kepala, kepala di kaki.
Entah siapa, tapi yang pasti, Seungcheol tidak akan lupa bagaimana ia merampas jaket dari belakang pintu kamarnya, menuruni tangga dengan berisik sampai-sampai ibunya bertanya ada apa. Ia hanya bilang pada ibunya kalau ada barang yang ketinggalan di tempat Josh dan ia perlu mengambilnya untuk kuliah nanti. Lalu, ia menstarter mobilnya.
Choi Seungcheol memang tidak sekaya Kwon Soonyoung, namun ia bisa dibilang hidup enak tanpa harus khawatir kelaparan maupun kekurangan seumur hidupnya. Terus terang, kelakuannya di masa lalu tidak terlalu putih. Ada noda di sini dan di sana, superior karena rupa dan harta yang berlimpah. Belum lagi ia anak kesayangan tim basket sekolahnya. Pongah. Di atas angin.
Sampai suatu hari, ia bertemu Jeon Wonwoo dan berubahlah semua hidupnya selama ini.
Jika dipikir, apabila ia tidak bertemu dan berteman dengan Jeon Wonwoo, dan tidak mulai menjaganya seperti anaknya sendiri, ia mungkin tidak akan mengenal seseorang bernama Hong Jisoo. Tidak akan naksir senyuman manis dan wawasannya yang luas. Tidak akan terpukau oleh lidah setajam silet, tetapi jujur dan tak bercabang. Hong Jisoo yang melindungi Kwon Soonyoung seperti ia melindungi Jeon Wonwoo.
Di jam segini, tidak ada lima belas menit, ia sudah sampai di kediaman pribadi Kwon Soonyoung. Melintasi hutan luas dalam properti keluarga Kwon tengah malam begini cukup membuat bulu kuduk berdiri, namun pemikiran akan chat terakhir dari Joshua membuat kepalanya penuh. Begitu sampai, ia parkir di depan anak tangga pintu depan, mematikan mobilnya dan mengabarkan pada Joshua bahwa ia sudah datang.
Dalam lima menit, pintu depan membuka. Keluarlah sosok Joshua. Rambut berantakan karena berlari. Bibirnya yang merah agak membuka. Ia membaluti dirinya dengan jubah tidur yang dipakai asal-asalan. Segera, Seungcheol turun dari mobil. Begitu ia menemukan kekasihnya, Joshua tersenyum manis sekali dan berlari kencang menuruni anak tangga demi anak tangga.
“Shua,” mulainya, ketika lelaki itu jaraknya tinggal selemparan lengan. “Kenap—”
Seungcheol tidak bisa meneruskan kalimatnya karena lengan Joshua mengalungi lehernya, menariknya ke dalam ciuman. Sentakan napas adalah tanda keterkejutan yang nyata. Ia merasakan hangat terlebih dahulu, barulah kesadaran bahwa Joshua tengah menciumnya meresap ke dalam pikiran. Ia pun serta merta memeluk pinggang kekasihnya dan menelengkan kepala, mencari cara untuk memperdalam lagi ciuman mereka.
Bibir Joshua semanis senyumannya, itu yang Seungcheol dapat simpulkan. Tubuhnya pas dalam dekapan Choi Seungcheol. Ciuman mereka adalah kecupan berkali-kali yang dilepas dengan bunyi nyaring sebelum disatukan kembali. Joshua menggigit bibir bawahnya sendiri, meringis persis di depan bibir Seungcheol. Terlalu bahagia. Terlalu mabuk oleh asmara.
(Karena, apa yang bisa menjelaskan perbuatan impulsif ini, selain cinta? Joshua bukan orang yang memberi ciuman di bibir dengan mudah. Seungcheol bukan orang yang akan melesat jika dipanggil dadakan. Tapi, nyatanya, mereka berdua ada di sini, berciuman seolah esok hari takkan datang.)
“Shua...,” desah Seungcheol, sibuk menarik napas. Hidungnya menempel di hidung Joshua.
“I should've done this a month ago...,” memperjelas maksudnya, lelaki itu mencium lagi bibir Seungcheol. “What have I missed...”
Meringis, Seungcheol menjilat bibir, meneguk ludah, lalu menangkup kedua pipi Hong Jisoo. Parasnya nampak bahagia.
“We can do it forever from now on, if you want...”
And why wouldn't he want that?