177.
Ketika matanya membuka, langit-langit gelap lah yang pertama ia lihat. Kepalanya kopong. Tetesan infus dan bunyi bip-bip teratur terdengar. Bau yang asing. Kasur yang asing. Ruangan yang asing.
Gagal.
Ia gagal.
Lagi.
Entah iblis membencinya atau justru malaikat terlalu menyayanginya hingga Joshua bisa lolos dari maut dua kali, setelah dengan sengaja ia mencari. Memang, kata orang, ketika dicari, orang itu takkan menemukan. Justru ketika tak diduga, itulah saatnya ia akan disapa oleh sang pencabut nyawa.
Joshua yang sudah menceburkan diri ke danau yang dilewati sampan Charon, berenang langsung ke sisi sebelah sana.
Joshua yang diangkat lagi, lalu dibuang balik ke dunia manusia olehnya.
Kepalanya sakit. Tapi, sakit itu tidak sebanding dengan sakit pada hatinya. Joshua berbaring diam di sana. Perlahan, langit-langit yang ia pandang semakin kabur dan barulah ia sadar kalau tangisnya telah turun.
Untuk apa ia dikembalikan?
Padahal yang ia inginkan hanya tidur dengan tenang dan tidak pernah terbangun lagi. Bunga atau api, kemanapun ia ditendang, tidak masalah. Yang penting bukan di sini, di dunia fana ini. Tidak ada lagi yang ia lakukan dan butuhkan dari dunia ini.
Tak ada lagi yang memerlukan keberadaannya di sini.
Ketika mainan usang sudah selesai melaksanakan tugasnya, melaksanakan tujuan ia diciptakan, maka ia harus dihancurkan untuk membuat mainan baru yang masih bagus.
Jika begitu, kenapa?
Kenapa?
Kenapa ia tidak dibiarkan membuka jalan untuk mainan baru?
Ia, yang dengan sukarela melentingkan badan ke jurang.
Untuk apa dia dibiarkan hidup...?
Hidup pun tidak ada apa-apa baginya, jadi untuk apa...?