179.
Jeonghan menangkup wajah itu. Ia sudah menyerah untuk mencoba menghapus segala jejak basah di pipi Joshua ketika mata yang sama terus saja mengucurkan tangis tanpa tanda-tanda akan berhenti.
Tidurnya tadi tidak tenang dan jelas tidak nyaman di kursi di sisi ranjang rumah sakit. Ia bangun mendadak karena merasa ada pergerakan di tangan yang digenggamnya. Benar saja, ketika ia membuka mata, Joshua tengah memandang langit-langit. Tak sadar ada dirinya di sana.
Dan dia menangis.
Jeonghan tidak tahu kenapa tangannya mengulur untuk mengusap bulir air mata dari sana. Juga tidak tahu apa yang harus ia katakan atau lakukan untuk meredakan tangis itu.
Namun, Joshua mungkin tidak ingin dihentikan. Maka, Jeonghan membiarkannya menangis, membiarkannya mengeluarkan semua yang anak itu tahan, entah seberapa banyak, seumur hidupnya.
Nyusahin. Ngerepotin. Terlalu banyak yang lo tahan di bahu lo. Terlalu banyak yang lo bawa jadi beban lo.
Lo bakal jadi momok dalam hidup gue.
Jangan nangis.
Jangan nangis, Bangsat...
Jeonghan mendekat, semakin dekat. Badan atasnya membungkuk sampai ia bisa menyentuhkan keningnya ke kening Joshua, tidak peduli seberapa berantakan wajah anak itu oleh tangis dan ingus.
”...Sorry...”
Lengannya kemudian melingkari tubuh Joshua. Dirasakannya anak itu membenamkan wajah ke pundaknya. Sesengukan. Napas yang memburu di telinganya.
Pelukan Jeonghan mengerat.
”...I'm sorry, Joshua...”