narrative writings of thesunmetmoon

18.

#soonwoo

“Jadi anak yang namanya Jeon Wonwoo itu yang nendang dia karena makanannya jatoh semua gegara bolanya dia?”

Joshua duduk di sofa. Di pangkuannya, ada kepala Soonyoung yang lagi berusaha mejamin mata, terlalu letih dari seluruh kejadian hari itu. Ada kompresan dingin di atas perutnya. Joshua tanpa sadar terus mengelusi kepala Soonyoung dengan lembut, sementara ia menginterogasi dua junior Soonyoung yang duduk berseberangan dari mereka.

“Iya, Kak,” tegas Seokmin.

“Jeon Wonwoo ini kenapa?” Joshua menyelidik lagi. “Kenapa dia bisa seenak udelnya aja nendang-nendang orang yang dia nggak kenal?”

Seungkwan mengangkat bahu. “Nggak tau juga sih, Kak,” akunya. “Aku pernah denger kalo dia tuh anak broken home gitu. Di rumahnya nggak ada bonyok gitu deh, jadi ada sekrup lepas dari otaknya kali ya. Terus ya...dia pelit setengah mati.”

“Dia nggak punya temen ya?”

“Sebaliknya, Kak,” lanjut Seokmin, mengambil alih. “Dia temennya banyak. Nggak paham juga kenapa mereka mau temenan sama anak pelit dan kasar begitu. Dipelet kali ya. Mukanya ganteng-ganteng lusyu gitu sih, Kak...”

Seokmin berhenti pas dia ngeliat mimik yang dibuat Seungkwan padanya.

“Apa.”

“Selera lo tuh ya, rusak banget. Jeon Wonwoo banget??”

“Ets, dia ganteng, anyink. Nggak usah sok denial lu. Kemaren sapa yang ngeces liatin Wonwoo kesibak rambutnya sama angin, padahal lakinya lagi duduk di sampingnya??”

“Oke. Firstly, gue nggak ngeces. Secondly, Vernon jauh jauh jauhhhhh lebih ganteng dari si Jeon Jeon itu!”

“Tapi lu tetep ngeces kan?”

“Si bangsad—”

“Hoi, udah,” Joshua angkat bicara, merasa perlu meredakan suasana sebelum semakin di luar kontrol. Dalam hal itu, ia dan Soonyoung memang mirip. Keduanya menyukai keteraturan, menyukai kendali dalam tangannya. Mungkin karena itulah mereka bisa tetap akrab selama belasan tahun lebih. “Jadi itu doang yang kalian tau soal si Jeon ini?”

“Hmm, apa lagi ya...”

“Aku cuma tau dia pelit banget banget sih, Kak, terus juga suka meres orang, termasuk temen-temennya sendiri....”

Joshua menaikkan sebelah alis. “Meres orang? Maksudnya gimana?” kini ia menoleh ke Seokmin.

“Iya. Jadi misalnya temennya butuh bantuan, dia pasti matokin harga gitu deh, Kak. Ya emang nggak ada salahnya sih ngebisnisin gitu, bukan urusanku juga sih dia cari uang gimana, tapi maksudku, kek, gimanaaaa gitu. Masa sama temen pinjem catetan aja bayarrrr.”

“Hmm,” Joshua mengangguk-angguk. Imaji yang dia bangun akan Jeon Wonwoo sungguh menarik. Ganteng, tapi pelit, pemeras dan kasar. Ringan tangan, itu pasti. Buktinya kini menjadi ungu di perut Soonyoung.

Soonyoung.

“Hosh?” pelan, Joshua berbisik. Anak itu bergeming. Napasnya tenang dan teratur, tanda bahwa ia akhirnya terlelap. Joshua menghela napas lega.

“Oke, noted,” ia dengan hati-hati menaikkan kepala Soonyoung dari pangkuannya, kemudian segera mengangkat anak itu ke dalam gendongan. Walau pipi Soonyoung tembam bagai hamster gemas, tubuhnya cukup ramping untuk dapat digendong Joshua dengan mudah. “Trims ya, kalian. Sori, gue tidurin dia dulu di kamarnya. Dia butuh istirahat.”

Seokmin segera berdiri, disusul Seungkwan. “Oh, iya, Kak, sori. Iya, Bang Nyong butuh bobo. Sori kita jadi ganggu nih,” buru-buru, mereka mengambil tas dan tetek bengek lainnya.

“Kita pamit ya, Kak.”

“Oke. Trims sekali lagi yah. Pulangnya ati-ati. Mau gue suruh sopir sini anter kalian?”

“Eng-enggak usah, Kak—”

Terlambat. Joshua sudah memanggil pak supir yang dimaksud, yang datang tergopoh-gopoh dan siap melaksanakan perintah. Seokmin dan Seungkwan lantas berterima kasih. Di mobil, mereka berdiam diri cukup lama, sampai pada akhirnya, Seokmin memecah keheningan,

“Itu tadi seriusan bukan pacarnya Bang Nyong ya???”

Yang dijawab Seungkwan hanya dengan menaikkan bahu, lagi.