narrative writings of thesunmetmoon

18.

#cheolhao

Under 18, leave 🔞⛔


Konser yang dikiranya dibawakan oleh band indie atau musisi Barat, atau bahkan penyanyi sariosa sekalipun, meruntuhkan segala imej Seungcheol yang Minghao buat dalam benak.

Ia pernah membayangkan Seungcheol memasuki bar kopi kuno Florian di kota Venesia. Dilatarbelakangi keriuhan suara penggiling bijih kopi dan mesin pembuat buih susu, ia bercakap dengan bartender sambil memesan cappuccino di pagi hari, memasukkan gula, menenggaknya, lalu meninggalkan satu-dua keping koin di samping cangkir kosong sebagai tips, hanya untuk mengulanginya lagi di siang dan sore hari dengan pesanan berbeda.

Mungkin sesekali Seungcheol mengunjungi museum di Roma atau pergi menonton opera. Dengan mantel sewarna daun musim gugur, sepatu bots lelaki itu akan menginjaki dedaunan kering di hamparan trotoar sambil menghela napas, menciptakan uap putih di udara. Hidungnya yang mancung itu akan memerah karena udara dingin.

Semua yang didambakan Minghao untuk dialaminya sendiri suatu hari nanti, entah kapan.

“Kpop?”

Seungcheol meringis.

“Boyband kpop? Really?“

Alis lelaki itu berubah menjadi kernyitan. Jelas ia bisa mendengar nada meremehkan dari Minghao. Ia tidak mengindahkan bucket besar isi berondong jagung di pangkuannya ketika ia mendadak mendorong Minghao, membuat lelaki itu terjungkal dari sofa di ruang tengah sebuah apartemen tiga kamar milik Choi Seungcheol.

“Kalo lo mau sok edgy dan mandang rendah kpop, get the fuck out of here, you cunt,” geramnya. Masa bodoh dengan Minghao yang mengusap pinggangnya, korban kekerasan rumah tangga hari ini, sambil berusaha naik lagi ke sofa. “Let me indulge in my pretty, talented boys than your sorry excuse of a man.”

Diakhiri dengan dengusan kesal, Seungcheol membuang muka, kembali menatap layar smart TV frameless yang terpasang di dinding. Minghao memandangi bagaimana lelaki itu mengerutkan alis. Ngambeg. Bibirnya yang merah merona menjuntai makin menggemaskan. Pipinya menggembung sebelah. Siang itu, dia mengenakan sweatshirt besar warna bulu tikus, celana pendek cargo dan kacamata bulat berbingkai hitam. Ia menaruh berondong jagung di meja kopi untuk memeluk bantal persegi sementara kedua kakinya naik ke atas sofa.

Imut. Dada Minghao berdesir hangat. Rasanya menyenangkan, melihat lelaki tampan bertingkah laku seperti anak kecil. Mau tak mau, Minghao menarik sebuah seringai.

“Sori, sori,” ujarnya, ketika ia sudah kembali ke samping Seungcheol. “Jangan ngambeg dong, kan abis ini mau......” Sengaja ia tidak melanjutkan. Alih-alih, tangannya membuat gestur menggesek sesuatu.

Seungcheol mendecak, memasang tampang jijik. “Get the fuck out,” terlalu terperangah oleh tindakan tak tahu malu lelaki di sebelahnya. Dari sedikit korespondensinya dengan Minghao, ia tahu lelaki itu frontal, tak suka sugar coating, tapi tidak ia sangka separah ini. “Xu Minghao. I will not let my dick come near you anywhere if you behave like this.”

Mendengar itu, Minghao malah tertawa. Dengan santai, ia merebahkan lagi punggungnya ke sandaran sofa. Satu lengan diangkat untuk memeluk bagian belakang leher Seungcheol. “Iya, maaf,” ucapnya lagi, kali ini lebih serius. Dengan senyuman di wajah, ia menatap mata Seungcheol. “Beneran. Sori. Gue cuma nggak nyangka aja.” Lalu, ia menatap grup kpop di layar. “But honestly speaking, gue gimana bisa enjoy kalo gue nggak tau itu siapa aja? Di mata gue mukanya kayak sama semua. Belom lagi nggak ngerti ngomong apa.”

Seungcheol mendengus. “Ada subtitlenya kok. Ini lagi lagu, jadi emang nggak ada. Nanti pas bagian mereka ngobrol juga muncul,” jelasnya. “Ini grup tuh namanya Seventeen.”

“Let me guess. Ada tujuh belas personil?”

“Wrong. Tiga belas,” ia memutar bola mata.

“Banyak banget njir...kagak ambruk itu stage tiap mereka perform?” kaget juga Minghao mengetahui itu.

Kali ini, Seungcheol terkekeh. “Pernah kok, mereka bikin jebol ubin stage pas dance break,” dia memberitahu Minghao. “Sampe dibikin meme gitu sama netizen. Kocak lah.”

“Hee...,” di depannya, seorang member menyanyi dalam nada tinggi. Matanya tertutup, nampak menghayati lirik yang ia senandungkan. Lagu pun naik intonasinya, mengiringi suara semua member yang bernyanyi di saat bersamaan. Sejenak, ia dan Seungcheol tidak berkata apapun.

Baru ketika lagu selesai dan layar menghitam, Minghao bergumam, “Suaranya bagus.”

Yang tentunya langsung disambut baik oleh Seungcheol. Lelaki itu mulai menjelaskan panjang lebar, ditambah beberapa trivia dalam fandomnya. Melihat Seungcheol nampak ceria, Minghao jadi tersenyum dibuatnya. Tanpa sadar, mereka duduk semakin berdekatan. Di suatu momen, Seungcheol tergelak, mendongakkan kepala ke belakang dan kemudian bersandar di lengan Minghao. Tentu saja Minghao membiarkannya.

“Kalo lo?”

Layar sedang menyorot podium yang dipenuhi cahaya warna warni yang, menurut Seungcheol, adalah lightstick yang dinyalakan (entah benda apa itu, mungkin sama seperti yang Seungcheol sempat genggam di tangan kanannya?), ketika pertanyaan itu muncul.

“Hah?”

“Lo suka apa?”

Minghao mengangkat bahu sambil lalu, “Seks?”

Seungcheol mendengus lagi. “Yang laen lah, masa cuma lendir-lendiran aja lo doyannya??” digeplaknya bahu Minghao main-main. “Maksud gue tuh yang lo lakuin kalo lagi wiken, gitu.”

“Hmmmm,” ia nampak berpikir. “Gue suka ke museum?”

“Oh?” angkat sebelah alis. “Art gallery gitu?”

“Yeah. Museum sih, lebih sering, daripada galeri pameran individu gitu, but yeah...”

“Hoo...selain itu?”

“Uh...gue suka belanja baju.”

“Ah,” ia langsung paham. “Bener juga. Lo kan stylist.”

“Yeap. Ga harus beli sih. Nyobain baju gitu gue suka, karena bisa eksperimen gaya. Tapi gue lebih milih pergi sama orang lain, soalnya tiap bentuk tubuh itu ada batasannya. Kalo cuma gue sendiri, ada style yang nggak bisa gue cobain karena nggak cocok sama badan gue,” Seungcheol sejenak memandangi tubuh Minghao, sebelum kembali ke matanya. “Dulu gue sering pergi bareng Gyu. Dia juga suka belanja baju. Kalo sama dia, gue bisa cobain lebih banyak style karena badan Gyu tinggi dan padet. Proporsinya pun beda dari gue. Yang nggak bisa gue coba, gue cobain ke dia, vice versa.”

Seungcheol ber-oooo.

“Also, seks di ruang gantinya juga exciting.”

Andai Seungcheol lagi minum, mungkin ia sudah menyemburkan air kemana-mana.

“W-wha-”

“Iya, soalnya kan nggak boleh berisik, kudu cepet-cepet juga. Biasanya sih Gyu buka risleting aja kalo udah kayak gitu. He would fuck me against the mirror,” menerawang. “Kinda miss that feeling, tbh.”

Ketika Minghao menoleh, ia menemukan wajah Seungcheol yang memerah. Ringisan jahilnya pun muncul.

“Hayo, ngebayangin ya?”

Jakun Seungcheol bergerak ketika ia menelan ludah.

“Bayangin yang mana nih? Bayangin kita ngeseks di ruang ganti? Ato bayangin lo as gue yang didorong Gyu ke cermin, hmm?”

Ia mengeluarkan bunyi tertahan.

“Ato...,” Minghao tidak bisa berhenti menggoda lelaki itu. Sangat menggemaskan. “...lo bayangin gue sama Gyu bareng-bareng pake lo di ruang ganti itu? Gyu di belakang, gue di depan lo? Nyesep gue pake mulut seksi lo ini?”

Saat sentuhan ibu jari terasa di bibir bawahnya yang kering, Seungcheol tanpa sadar menjilatnya. Lidahnya menyapu jari Minghao, yang kemudian ditangkap dan ditekan. Mulut dipaksa membuka.

“It's been awhile for this mouth to be used good, hmm?“

Seungcheol tak kuasa mengerang. Minghao maju, perlahan, perlahan, sampai ia bisa menjulurkan lidah untuk menjilat ibu jarinya di bibir bawah Seungcheol. Sahutan dan salam perpisahan terdengar dari layar TV. Lagu yang ceria. Para member berlarian, tersenyum, tertawa, saling merangkul bersama.

“Nggak nonton sampe abis?”

Wajah Minghao kini persis di depan wajahnya. Ibu jarinya diangkat agar Seungcheol bisa menjawab. Bersamanya, liur Seungcheol menempel di sana, terhubung oleh benang liur, yang diputuskan Minghao dengan menjilat benang itu dari ibu jarinya. Bagian depan celana Seungcheol berdegup menyaksikannya.

Susah payah, ia menelan ludah dan menjawab dalam suara serak, “Besok ada siaran ulangnya...”

Hal berikutnya yang ia tahu, tubuhnya didorong ke sofa, ada tubuh lain di atas tubuhnya, mulut lain membekap mulutnya. Wajah tersenyum bias idolanya nampak sebesar layar, tetapi ia lebih sibuk membalas ciuman basah yang semakin memanas itu. Tangan Minghao dengan sigap menyusup ke balik sweatshirtnya, merabai seenaknya kulit mulus di sana, dari perut hingga putingnya. Tidak sampai sepuluh menit, ia sudah ditelanjangi bulat-bulat.

Lenguhan keluar dari bibir merahnya yang membengkak. Cipratan keringat menuruni punggung. Bulirnya berkumpul di ujung hidung dan sisi kening. Dari seluruh pengalaman Seungcheol akan hubungan seksual, baru kali ini ia bersenggama persis di depan batang hidup grup kpop idolanya dan ia kira ia tidak bisa lebih terangsang dari ini.